BI Tak Mau Buru-Buru Naikkan Suku Bunga Acuan, Kenapa?

BI bakal fokus kurangi quantitative easing

Jakarta, IDN Times - Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo mengatakan pihaknya akan tetap mempertahankan suku bunga acuan rendah, yakni 3,5 persen. Level itu akan dipertahankan sampai adanya tanda-tanda inflasi naik.

"Kebijakan sukbung rendah sekarang 3,5 persen akan tetap kami pertahankan sampai terdapat tanda-tanda awal kenaikan inflasi," kata Perry dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) yang disiarkan melalui YouTube BI, Rabu (24/11/2021).

Baca Juga: Bank Indonesia Prediksi Ekonomi 2022 Tumbuh 5,5 Persen

1. BI bakal kurangi 'suntikan dana' ke perbankan

BI Tak Mau Buru-Buru Naikkan Suku Bunga Acuan, Kenapa?Ilustrasi Uang. (IDN Times/Aditya Pratama)

Untuk sementara waktu, BI akan fokus pada pengurangan penyaluran likuiditas (quantitaive easing) kepada perbakan secara bertahap. Hal ini dilakukan seiringan dengan pemulihan ekonomi dari dampak COVID-19.

"Kelebihan likuiditas di perbankan yang sangat besar pada saat ini akan kami turunkan secara bertahap dan sangat hati-hati agar tidak mengganggu kemampuan perbankan dalam penyaluran kredit dan pembelian SBN untuk pembiayaan APBN," ucap dia.

Baca Juga: BI Pertahankan Suku Bunga Acuan di Level 3,5 Persen

2. Penambahan likuiditas perbankan dari BI tembus Rp863 trilun

BI Tak Mau Buru-Buru Naikkan Suku Bunga Acuan, Kenapa?Ilustrasi Uang. (IDN Times/Aditya Pratama)

Per 16 November lalu, BI menambah likuiditas di perbankan sebesar Rp137,24 triliun. Dengan demikian, BI telah menambah likuiditas perbankan sebesar Rp863,8 triliun, terhitung sejak 2020. Angka itu besarnya 5,3 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Adapun kondisi likuiditas perbankan pada Oktober 2021 sangat longgar, tercermin pada rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) mencapai 34,05 persen. Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) tercatat 9,44 persen secara year on year (yoy).

Likuiditas perekonomian juga meningkat, tercermin pada uang beredar dalam arti sempit (M1) dan luas (M2) yang tumbuh meningkat masing-masing sebesar 14,6 persen (yoy) dan 10,4 persen (yoy). Pertumbuhan uang beredar tersebut terutama didukung oleh peningkatan ekspansi fiskal dan kredit perbankan.

Meski begitu, BI akan tetap mempertahankan kebijakan makorprudensial tahun depan untuk mendorong kredit perbankan pada sektor-sektor prioritas.

"Bersinergi dengan KSSK, antara lain rasio pembiayaan inklusif makroprudensial untuk mendorong UMKM. Forum pengawasan bank terpadu antara Bank Indonesia, OJK, dan LPS yang sekarang sudah berjalan akan terus kami perkuat untuk memastikan stabilitas sistem keuangan," tutur Perry.

Baca Juga: Jokowi: Investasi Jadi Jangkar Pemulihan Ekonomi saat Defisit APBN

3. BI beli SBN pemerintah Rp143,4 triliun tahun ini

BI Tak Mau Buru-Buru Naikkan Suku Bunga Acuan, Kenapa?(IDN Times/Aditya Pratama)

Pandemik COVID-19 membuat belanja negara melonjak. Bahkan, pemerintah menetapkan belanja negara pada APBN 2022 mencapai Rp2.714,2 triliun. Adapun defisit APBN pada 2022 dipatok 4,6 persen terhadap PDB.

Dalam membiayai APBN untuk memenuhi bengkaknya belanja negara tersebut, BI berperan membeli surat berharga negara (SBN). Perry mengatakan pada 2020 BI telah membeli SBN hingga Rp473,4 triliun. Adapun sepanjang 2021 ini, BI telah membeli SBN hingga Rp143,3 triliun,

"Ditambah juga Rp215 triliun APBN 2021 untuk kesehatan dan kemanusiaan karena COVID-19. Demikian juga untuk APBN 2022 Rp224 triliun dengan suku bunga rendah. Dengan pendanaan BI, pemerintah bisa memfokuskan pemulihan APBN untuk pemulihan ekonomi," kata Perry.

Secara keseluruhan, dia memastikan arah kebijakan BI ialah untuk pemulihan ekonomi dari dampak COVID-19, alias pro-growth.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya