Curhat Mendag: Harga Pangan Naik Saya Salah, Turun Juga Salah

Mendag curhat kerap disalahkan saat harga pangan naik-turun

Jakarta, IDN Times - Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi bercerita dirinya selalu disalahkan ketika harga pangan naik, juga ketika harga pangan turun. Harga naik itu ketika terjadi paceklik, dan harga turun ketika panen raya.

"Sebagai Menteri Perdagangan, harga naik saya salah, harga turun saya salah, ketika panen harga hancur saya salah, ketika paceklik harga naik saya juga yang salah," kata Lutfi dalam acara Mid Year Economic Outlook yang digelar Bisnis Indonesia secara daring, Rabu (7/7/2021).

Ketika harga pangan strategis naik, masyarakat yang akan berteriak. Sebaliknya, ketika harga pangan turun karena panen raya, petani, peternak, dan juga nelayan yang berteriak.

Baca Juga: Mendag Lufti Pastikan Harga Pangan Stabil Jelang Idul Adha

1. Teknologi agrikultur jadi solusi menyeimbangkan harga

Curhat Mendag: Harga Pangan Naik Saya Salah, Turun Juga SalahIDN Times/Aldzah Fatimah Aditya

Untuk mengatasi naik-turun harga yang bisa merugikan masyarakat maupun petani, salah satu solusinya adalah mendorong perkembangan teknologi agrikultur atau agritech. Salah satu bentuk agritech yang ada di Indonesia adalah platform penjualan produk segar pertanian, seperti TaniHub, Sayurbox, dan sebagainya.

Dengan platform agritech, waktu penanaman komoditas pertanian bisa diatur, sehingga ketika panen tidak berbarengan untuk mencegah harga di tingkat petani anjlok.

"Nah di masa yang datang dengan artificial intelligence (AI), cloud computing, dan pemasaran akan lebih canggih melalui TaniHub, Sayurbox, ini kita dapat diatur," ujar Lutfi.

Sebaliknya, kita satu wilayah sudah panen, maka wilayah lain akan panen di waktu selanjutnya untuk menutupi kurangnya pasokan komoditas pertanian, sehingga mencegah harga naik.

2. Platform agritech juga bisa membantu industri perikanan Indonesia

Curhat Mendag: Harga Pangan Naik Saya Salah, Turun Juga SalahWarga menunjukan tambak yang dikeringkan maling untuk dicuri ikannya (IDN Times/Ervan Masbanjar)

Selain pertanian, platform agritech juga bisa mendorong pertumbuhan industri perikanan di Tanah Air. Lutfi mengatakan, ada satu platform agritech yang berfokus pada industri perikanan, yakni eFishery.

Dengan platform agritech, para petambak ikan atau udang bisa mengatur pola pemberian makan terhadap ikan atau udangnya.

"Kita tahu petambak ikan atau udang itu terjadi banyak sekali ketidakseimbangan. Misalnya makanan terlalu banyak, mengendap di dasar kolam, itu akan menyebabkan toxic, dan berdampak ikan tidak bisa tumbuh atau bahkan mati," ucap Lutfi.

Dengan teknologi dari platform agritech, maka petambak bisa memanen ikan atau udang dengan kualitas yang lebih baik.

"Dengan alat yang sebenarnya sederhana dari AI, dan ini adalah bagian dari hilirisasi ekonomi digital, itu bisa mengetahui apakah makanan cukup, lebih, atau kurang. Dengan begitu, mesin ini bisa dapat melihat kesehatan daripada kolam atau empang tersebut," tutur dia.

Selain itu, platform ini juga bisa menghubungkan nelayan atau petambak dengan financial technology atau fintech untuk memperoleh pembiayaan.

"Jika kolam atau empangnya sehat, mereka bisa memberikan pembiayaan melalui peer to peer lending, sehingga petambak bisa mendapat nilai tambah," kata Lutfi.

Tak hanya itu, platform agritech juga bisa memberikan kepastian kepada petambak atau nelayan terkait penjualan dari hasil tambak atau hasil melautnya.

"Dan mereka bisa kontrak atau off take dari hasil kolam tersebut. Ini memberikan nilai tambah yang luar biasa. Dan dengan alat yang sederhana, kita bisa melihat industri perikanan kita akan maju sangat luar biasa," ujar dia.

Baca Juga: 5 Aplikasi Belanja Sayur Online agar Tak Perlu Keluar Rumah

3. Masih banyak PR untuk kembangkan platform agritech

Curhat Mendag: Harga Pangan Naik Saya Salah, Turun Juga SalahIlustrasi internet (IDN Times/Arief Rahmat)

Namun, sebelum membahas potensi perkembangan platform agritech di Indonesia, masih banyak persoalan yang harus diselesaikan pemerintah. Mulai dari persoalan infrastruktur digital dan komunikasi, perlindungan konsumen digital, dan juga yang paling krusial jumlah tenaga kerja di bidang teknologi.

"Untuk mencapai hal-hal tersebut kita mempunyai syarat-syarat. Pertama adalah masalah SDM dan talenta. Jadi kalau kita lihat sekarang, ini bagaimana rasio antara pekerja teknologi ini dibandingkan dengan rasio daripada orangnya," ucap Lutfi.

Tak lupa juga dengan ekosistem inovasi digital, pelayanan publik, sebagainya. Sayangnya, kesiapan indikator-indikator penunjang tersebut di Indonesia masih kalah jauh dengan negara tetangga.

"Innovation ecosystem-nya juga masih sangat rendah, kalah dibandingkan Malaysia apalagi dengan Singapura. Kemudian government service-nya juga sama, kita masih jauh di bawah negara-negara lain," tutur Lutfi.

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya