Gakeslab Ungkap Biang Kerok RI Masih Impor Alat Tes PCR

Kapasitas produksi dalam negeri belum memadai

Jakarta, IDN Times - Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab), Randy Teguh mengatakan impor alat tes PCR masih dilakukan karena kapasitas produksi alat tes PCR di Indonesia belum menutupi kebutuhan.

Randy mengatakan biasanya pengadaan alat tes PCR dilakukan melalui e-katalog Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Di e-katalog tersebut, ada 52 produk reagent PCR yang tersedia. Ternyata, dari 52 produk tersebut, hanya 3 yang diproduksi di Indonesia.

"Otomatis belum mencukupi, makanya masih banyak impor. Karena kan kalau impornya 49 reagent, produksi dalam negerinya 3, apakah yang 3 ini mampu mengganti yang 49 itu?" kata Randy kepada IDN Times.

Baca Juga: RI Impor 203 Ton Alat Tes PCR per Agustus 2021, Terbanyak dari China

1. Kebutuhan alat tes PCR mencapai 200 ribu kit per bulan

Gakeslab Ungkap Biang Kerok RI Masih Impor Alat Tes PCRIlustrasi Tes Usap/PCR Test. IDN Times/Hana Adi Perdana

Saat ini, ada beberapa produsen dalam negeri yang bisa memproduksi 4 juta kit PCR per bulan. Namun, menurut Randy kebutuhan alat tes PCR per hari sekitar 100 ribu - 200 ribu kit. Artinya, kebutuhannya bisa mencapai 2,8-5,6 juta kit per bulan.

Belum lagi dengan syarat PCR yang kembali diterapkan di moda transportasi udara, dan juga akan diterapkan di semua moda transportasi menjelang Natal dan Tahun Baru (Nataru) nanti.

"Ya jadi artinya skrg 100 ribu - 200 ribu pemeriksaan PCR sekarang. Kalau nanti diputuskan pesawat harus PCR, bahkan hari ini beritanya seluruh moda transportasi harus diwajibkan PCR, tentu akan naik ya kebutuhannya," kata dia.

2. Harga tes PCR RI lebih mahal dari China, lebih murah dari Eropa

Gakeslab Ungkap Biang Kerok RI Masih Impor Alat Tes PCRilustrasi uji PCR (unsplash.com/CDC)

Dilihat dari sisi harga, harga alat tes PCR buatan Indonesia lebih tinggi dibandingkan produksi China, dan lebih rendah jika dibandingkan dengan produksi Eropa dan AS.

"Dari China ada yang lebih murah, bahkan lebih murah dari Bio Farma. Dan kami juga meyakini Bio Farma tidak semua bahan baku atau komponen dari dalam negeri, jadi harus impor. Otomatis kita sudah kalah di situ. Dan juga mungkin kapasitas produksi belum sama besar dengan China," ujar dia.

"Tetapi dengan beberapa teknologi dari Eropa dan Amerika, harga Bio Farma itu lebih baik. Tentu itu karena teknologinya relatif sudah tertinggal. Kalau dari Eropa dan Amerika itu kan teknologinya sudah lebih maju, otomatis lebih mahal," sambung Randy.

Namun, Randy menggarisbawahi perbandingan harga ini tidak berlaku secara umum, karena harus melihat jenis dan teknologi yang digunakan. "Makanya sebenarnya agak sulit untuk dibandingkan apple to apple," tutur dia.

Baca Juga: Gara-gara Produk Impor, Alat Tes PCR Buatan RI Kurang Dilirik

3. Alat tes PCR buatan RI kurang dilirik

Gakeslab Ungkap Biang Kerok RI Masih Impor Alat Tes PCRmBioCoV-19, RT-PCR Kit buatan BPPT dan PT Bio Farma (dok. Bio Farma)

Sebelumnya, Co-Founder sekaligus CEO Nusantics, Sharlini Eriza Putri mengatakan perusahaannya memiliki kapasitas produksi BioSaliva (alat tes PCR yang dikembangkan bersama PT Bio Farma) hingga 4 juta kit per bulan. Sayangnya, serapannya tak sampai 300 ribu kit per 3 bulan, artinya berkisar di bawah 100 ribu kit per bulan.

"Kapasitas bisa sampai 4 juta per bulan. Aktualnya jauh di bawah itu yang terserap. Bahkan bisa di bawah 300 ribu per 3 bulan," ujar Sharlini kepada IDN Times, Selasa (26/10/2021).

Menurut Sharlini, rendahnya serapan alat tes PCR buatan Nusantics karena sulit bersaing dengan produk impor.

Selain Nusantics, alat tes PCR yang dikembangkan oleh Pusat Teknologi Farmasi dan Medika (PTFM) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan PT Bio Farma juga kurang dilirik. Alat tes PCR yang merupakan inovasi BPPT itu pun sudah diproduksi secara massal oleh Bio Farma dengan merek mBioCoV-19 RT-PCR Kit.

Direktur PTFM, Agung Eru Wibowo mengatakan hingga saat ini serapan mBioCoV masih belum maksimal, meski pihaknya sudah melakukan sosialisasi dan promosi.

"Kami sih dari awal setelah produk itu siap kami sudah mengendorse ke pemerintahan, informasi, dimasukkan ke e-katalog. Tapi memang sepertinya belum maksimal, sudah dipakai di beberapa tempat, seperti di BNPB, Satgas juga sudah pengadaan, sudah dipakai juga, hanya saja ya belum maksimal," ucap Agung kepada IDN Times.

Baca Juga: Harga PCR jadi Rp275 Ribu, Gakeslab: Harusnya Ditetapkan Range

Topik:

  • Hana Adi Perdana

Berita Terkini Lainnya