Indonesia Langganan Naik-Turun Kelas Sejak Era Soeharto

RI turun kelas jadi negara berpendapatan menengah ke bawah

Jakarta, IDN Times - Indonesia baru-baru ini turun kelas dari negara berpendapatan menengah atas (upper middle income) menjadi negara berpendapatan menengah bawah (lower middle income country). Kondisi tersebut tidak hanya terjadi di era pemerintahan Presiden Joko "Jokowi" Widodo, tapi juga pernah terjadi di era Presiden ke-2 Indonesia, Soeharto.

Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus, mengatakan pada 1996, Indonesia berhasil naik kelas dari negara berpendapatan rendah menjadi negara berpendapatan menengah ke bawah. 

Sayangnya, capaian itu tak bertahan lama, karena pada 1998 Indonesia kembali turun ke kelas menjadi low income country, dan bertahan di kelas tersebut sampai 2003.

"Sebenarnya tahun 1996-1997 kita sudah masuk ke lower middle income, tapi turun lagi di 1998. Jadi kita alami penurunan level bukan baru ini, tahun 1998 juga kita pernah turun dari lower middle income, ke low income sampai 2003," kata Heri dalam webinar INDEF, Selasa (13/7/2021).

Baca Juga: Indonesia Turun Kelas Jadi Negara Pendapatan Menengah Bawah

1. Indonesia baru naik kelas lagi di tahun 2004

Indonesia Langganan Naik-Turun Kelas Sejak Era SoehartoIlustrasi Uang. (IDN Times/Aditya Pratama)

Pada 2004, Indonesia baru naik kelas lagi ke lower middle income country. Status tersebut berhasil dipertahankan hingga 2018. Setahun berselang atau pada 2019, Indonesia dinobatkan sebagai negara berpendapatan menengah ke atas atau upper middle income country oleh Bank Dunia (World Bank). 

Namun, di 2020 Indonesia turun kelas lagi karena pendapatan per kapitanya hanya sebesar 3.870 dolar Amerika Serikat (AS). Sementara itu, untuk naik ke kelas upper middle income country, pendapatan per kapita di Indonesia harus mencapai 4.096-12.695 dolar AS.

2. Sempat senasib dengan Malaysia-Korsel, kini RI tertinggal jauh

Indonesia Langganan Naik-Turun Kelas Sejak Era SoehartoANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Heri mengatakan sebenarnya Indonesia pernah senasib dengan Korea Selatan (Korsel), Chile, dan Malaysia, yakni masih menjadi negara berpendapatan rendah sampai dengan 1977. Namun, ketiga negara itu kini sudah jauh menyalip Indonesia.

Berdasarkan data World Bank yang dipaparkannya, pada tahun 1978 Korsel, Chile, dan Malaysia berhasil naik kelas menjadi negara berpendapatan menengah ke bawah. Sementara, Indonesia masih bertahan sebagai negara berpendapatan rendah.

Lalu, pada 1988 Korsel naik kelas lagi menjadi negara berpendapatan menengah ke atas sampai 2001. Sejak 2002 sampai sekarang, Korsel sudah menginjak kelas sebagai negara berpendapatan tinggi alias high income country, dengan pendapatan per kapita sebesar 32.860 dolar AS di 2020.

Sementara itu, Chile baru naik kelas menjadi negara berpendapatan menengah ke atas pada 1995 sampai 2010. Kini, Chile sudah menjadi negara berpendapatan tinggi sejak 2011 dengan pendapatan per kapita 13.470 dolar AS.

Lalu, Malaysia yang memiliki sejumlah kesamaan dengan Indonesia sudah naik kelas menjadi negara berpendapatan menengah ke atas sejak 2003 sampai sekarang. 

Bahkan, menurut Heri pendapatan per kapita Malaysia di 2020 hampir mendekati kelas negara berpendapatan tinggi, yakni sebesar 10.610 dolar AS. Adapun klasifikasi yang ditetapkan World Bank untuk negara berpendapatan tinggi ialah pendapatan per kapita lebih dari 12.695 dolar AS.

"Malaysia juga demikian, 1978-2002 di lower middle income. Dan di 2003 sampai saat ini sudah upper middle income. Mereka hampir mendekati zona high income," ucap Heri.

Baca Juga: Ada Persoalan Semrawut, RI Terancam Masuk Middle Income Trap

3. Transformasi ekonomi yang tidak konsisten jadi 'biang kerok'

Indonesia Langganan Naik-Turun Kelas Sejak Era SoehartoIlustrasi kegiatan petani di area persawahan yang terendam air. ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah

Heri mengatakan Indonesia sulit keluar dari kelas negara berpendapatan menengah karena adanya inkonsistensi dalam transformasi ekonomi. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya jumlah pekerja Indonesia di sektor pertanian. Padahal, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, kontribusi sektor tersebut pada produk domestik bruto (PDB) lebih kecil dibandingkan jumlah pekerjanya.

"Hampir 30 persen (29,46 persen) tenaga kerja masih menumpuk di sektor pertanian. Sementara kontribusi sektor pertanian terhadap PDB 12,72 persen. Artinya kue ekonomi yang relatif sedikit diperebutkan banyak orang, jadi masing-masing kebagiannya sedikit," ujar Heri.

Di sisi lain, sektor industri yang jadi penopang PDB Indonesia memiliki jumlah pekerja yang lebih sedikit.

"Sektor industri masih jadi penopang meski trennya turun, kisaran 19,7 persen terhadap PDB. Namun tenaga kerja di sektor industri jauh lebih rendah, 14,09 persen. Jadi industri sebagai penopang utama ekonomi, namun tenaga kerjanya masih menumpuk di sektor pertanian," ucap dia.

Apalagi melihat subsektor informasi dan komunikasi yang memberikan kontribusi 3,89 persen terhadap PDB, tapi jumlah pekerjanya hanyalah 0,73 persen.

"Tenaga kerjanya sedikit, tapi kuenya besar. Jadi potongan kuenya masing-masing besar. Nah di sinilah terjadi ketimpangan. Ada yang kuenya kecil diperebutkan banyak orang, ada yang kuenya kecil diperebutkan sedikit orang. Ini faktor kita masih terjebak di dalam kelas menengah," tutur Heri.

Baca Juga: Pandemik di RI: Kemiskinan Naik, Orang Super Kaya Bertambah

Topik:

  • Hana Adi Perdana

Berita Terkini Lainnya