Menjadikan Petani Profesi Idaman Millennial: Impian vs Realitas

Jokowi ingin petani menjadi profesi yang menjanjikan

Jakarta, IDN Times - Hadimiarto, seorang petani berusia 67 tahun, mengaku kerap menanggung rugi ketika menjual beras hasil panennya. Dalam 5 tahun terakhir, hasil panen petani di Desa Tunjungmuli, Kecamatan Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah (Jateng) ini, terus menurun drastis.

Belakangan, dia hanya bisa memperoleh 3 hingga 3,5 kuintal gabah setiap kali panen. Dalam 1 tahun, biasanya dia memanen padi dua kali. Untuk setiap kilogram gabah kering yang dia panen, Hadimiarto mendapat Rp4.500.

Dengan demikian, dia kini hanya bisa mendapatkan sekitar Rp1.200.000-Rp1.575.000 setiap kali panen jika gabah itu dijual. Padahal, setiap kali musim tanam dia harus mengeluarkan modal Rp2 juta. 

"Jelas rugi banget kalau mau dihitung-hitung. Cuma kan saya karena sawah sendiri, jadi senang saja mengolah sendiri. Habis panen lihat gabah. Padahal kalau mau diitung-itung ya rugi," tutur Hadimiarto kepada IDN Times.

Oleh sebab itu, dia lebih memilih memanfaatkan hasil panennya untuk konsumsi pribadi. "Buat dimakan sendiri saja (hasil panen), kadang itu juga gak cukup," lanjut dia.

Kenyataan ini jelas kontras dengan wacana besar soal pertanian yang disampaikan Presiden Joko "Jokowi" Widodo pada 6 Agustus lalu. Dalam pidatonya, Jokowi optimistis bahwa petani bisa menjadi profesi yang menjanjikan. Dengan begitu, harapan Jokowi, semakin banyak generasi muda bisa menjadi petani. 

"Saat ini total petani Indonesia sebanyak 71 persen berusia 45 tahun ke atas. Sedangkan yang di bawah 45 tahun sebanyak 29 persen," kata Jokowi.

Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah membenarkan saat ini jumlah petani di Indonesia masih didominasi generasi tua. Profesi petani disebut belum menjadi impian para pemuda-pemudi di negara ini. Padahal, pemerintah memiliki target untuk mencetak 2,5 juta petani millennial di 2024.

Realistiskah impian menjadikan petani menjadi profesi dambaan anak muda Indonesia?

Baca Juga: Jokowi Mau Profesi Petani Menjanjikan, Pengamat: Jangan Hanya Jargon!

1. Petani bukan profesi dambaan anak muda

Menjadikan Petani Profesi Idaman Millennial: Impian vs RealitasPresiden Joko Widodo saat menghadiri secara virtual Pelatihan Petani dan Penyuluhan serta pengukuhan 2.000 Duta Petani Milenial/Duta Petani Andalan (DPM/DPA) di Pusat Pelatihan Manajemen dan Kepemimpinan Pertanian Ciawi, Jawa Barat, Jumat (6/8/2021). (Dok. BPMI Setpres)

Menyambut harapan Jokowi, Menteri Pertanian (Mentan), Syahrul Yasin Limpo, sempat menyebut sektor pertanian Tanah Air adalah sektor yang sangat menjanjikan karena Indonesia memiliki kondisi alam yang mendukung produktivitas pertanian.

"Pertanian itu given dari Tuhan yang mengaruniakan alam dan musim yang baik," ucap Syahrul.

Keyakinan Mentan tak tanggung-tanggung. Dia menyebut sektor pertanian sudah pasti menjanjikan. Sektor pertanian berurusan dengan 'perut' masyarakat sehingga sangat dibutuhkan dalam keseharian masyarakat.

"Pertanian itu dibutuhkan hari ini, besok dan kapan saja dalam kondisi apa saja. Sebab pertanian itu bukan hanya makanan saja, tapi juga lapangan kerja dan menyentuh relung-relung negara dan pemerintahan, serta menghadirkan dimensi yang kuat seperti rasa gotong royong dan mengajak aspek sosial lain untuk berkembang baik," papar Syahrul.

Bicara soal potensi, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) sepakat dengan Pak Menteri bahwa potensi sektor pertanian itu sangat besar karena sumber daya alam (SDA) Indonesia yang melimpah. Namun, di era kemajuan teknologi, sektor pertanian membutuhkan inovasi berbasis teknologi agar bisa meningkatkan produktivitasnya. 

Apakah pemerintah siap memfasilitasi itu?

Urusan teknologi dan inovasi, millennial dikenal sebagai jagonya. Pemerintah tampaknya sadar negeri ini membutuhkan petani muda agar dapat menggenjot teknologi di pertanian. Untuk itu, pemerintah menargetkan untuk mencetak 2,5 juta petani millennial di 2024.

Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut ialah dengan menciptakan satu data pertanian. Selain itu, ada juga program pelatihan wirausaha pertanian untuk 1 juta petani millennial yang diselenggarakan oleh Kementerian Pertanian (Kementan).

Meski demikian, upaya-upaya itu dinilai jauh dari cukup untuk menarik minat millennial. KRKP mencatat sejumlah faktor yang menyebabkan petani bukanlah profesi dambaan anak muda. Faktor penghasilan, kepemilikan lahan, sarana dan prasarana, tingkat pendidikan, hingga jenis kelamin menjadi penyebab profesi ini dianggap 'sulit'. 

Said Abdullah mengatakan pemerintah harus benar-benar fokus dalam menangani sejumlah faktor yang dia sebutkan di atas untuk menjadikan petani sebagai profesi dambaan pemuda-pemudi Indonesia.

"Gak cukup dengan gerakan atau kampanye anak muda. Ini harus lebih struktural. Komitmen politik negara lewat pemerintah, kalau mau benar-benar. (Tapi) bukannya tidak baik ada gerakan atau kampanye petani millennial ini," ucap Said kepada IDN Times, Minggu (15/8/2021).

2. Petani belum sejahtera

Menjadikan Petani Profesi Idaman Millennial: Impian vs RealitasIlustrasi pertanian (IDN Times/Rochmanudin)

Di tengah potensi alam bagi sektor pertanian yang disebut menjanjikan oleh pemerintah, sebagian besar petani di Indonesia masih belum memperoleh kesejahteraan. Rendahnya penghasilan petani menjadi tolok ukur utama hal ini.

Ini juga yang menjadi faktor utama yang menyebabkan anak muda tak menjadikan petani sebagai profesi impian mereka. Dengan rendahnya penghasilan petani, lebih banyak anak muda dari pedesaan memilih untuk menjadi perantau di perkotaan agar mendapat pekerjaan dengan upah yang lebih layak, seperti menjadi buruh pabrik.

"Sampai sekarang juga kebijakan terkait pendapatan dan perbaikan kualitas hidup petani itu belum baik juga," ujar Said.

Pengalaman Hadimiarto dalam 5 tahun terakhir bisa menjadi salah satu contohnya. Modal untuk mengolah sawah jauh lebih besar dari penghasilan petani Purbalingga itu dalam sekali panen. Pendapatan maksimalnya hanya mencapai Rp1,5 juta dengan asumsi harga gabah kering panen (GKP) Rp4.500 per kilogram.

Padahal, GKP di daerah Hadimiarto sudah sesuai dengan ketentuan pemerintah. Dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 24 tahun 2020, harga pembelian pemerintah (HPP) untuk GKP di tingkat petani ialah sebesar Rp4.200/kg, dan di tingkat penggilingan sebesar Rp4.250/kg. Harga GKP di tingkat petani memang jauh lebih rendah dari harga beras yang dijual di pasaran jauh lebih tinggi.

Minimnya penghasilan Hadimiarto, menurutnya, disebabkan oleh produktivitas padi di sawahnya yang menurun dalam 5 tahun terakhir. Penyebabnya, serangan hama yang lebih banyak dibandingkan 5 tahun lalu.

Untuk mengatasi hama itu, dia harus membeli banyak pestisida. Padahal, untuk membeli pupuk saja biayanya cukup tinggi. Tak hanya itu, menurutnya kualitas bibit juga menurun, sehingga berdampak pada produktivitas sawahnya.

"Sekarang itu banyak hama gak kayak dulu. Dulu modal bibit serantang, bisa dapat 1 kuintal beras. Gak cuma hama wereng, tapi hama tikus juga. Bibit juga pengaruh," kata Hadimiarto.

Dengan kondisi seperti itu, dia berharap pemerintah harus meningkatkan pemberian fasilitas pupuk, atau setidaknya menetapkan harga pupuk yang terjangkau bagi petani.

Dia juga meminta pemerintah meningkatkan bantuan perbaikan irigasi sawah, dan menekan impor komoditas pangan. Dia mengatakan hal-hal tersebut bisa meningkatkan daya saing para petani.

"Penginnya sih kita dapat pupuk gratis, atau gak harga pupuk lebih murah. Bantuan irigasi biar pengairan sawah lebih muda, dan jangan impor beras agar petani bisa jual beras," kata Hadimiarto.

3. Petani gurem masih dominasi sektor pertanian, berapa upahnya per bulan?

Menjadikan Petani Profesi Idaman Millennial: Impian vs RealitasPetani kebun tomat di PPU (IDN Times/Ervan Masbanjar)

Salah satu faktor yang menyebabkan penghasilan petani lebih rendah dibandingkan profesi lain adalah kepemilikan lahan. Berdasarkan hasil survei pertanian antarsensus (Sutas) 2018 yang dirilis BPS, sebanyak 15.809.398 atau 58,07 persen dari total 27.222.773 rumah tangga usaha pertanian (RTUP) adalah RTUP gurem. 

Apa itu RTUP gurem? Berdasarkan informasi BPS, RTUP atau petani gurem adalah petani yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektare (ha).

Pada Juni lalu, BPS mencatat upah nominal buruh tani sebesar Rp56.794  per hari atau naik 0,15 persen dari upah buruh tani di bulan Mei yang sebesar Rp56.710/hari. Sementara itu, upah riil buruh tani pada Juni ialah Rp52.694/hari, naik 0,5 persen dari upah riil buruh tani pada Mei yang sebesar Rp52.431/hari.

Upah riil adalah upah nominal dibagi Indeks Konsumsi Rumah Tangga (IKRT). Menurut BPS, IKRT menunjukkan proksi perubahan biaya hidup (proxy of cost living) di perdesaan, dan menggambarkan tingkat inflasi di perdesaan.

Apabila seorang petani bekerja tanpa libur selama 30 hari dalam 1 bulan, dia hanya memperoleh penghasilan Rp1.580.820 per bulan. Angka itu jauh di bawah garis kemiskinan per rumah tangga miskin yang rata-rata adalah sebesar Rp2.121.637 per rumah tangga miskin/bulan yang dicatat BPS per Maret 2021 lalu.

Apabila buruh tani tersebut sudah berumah tangga, misalnya ada empat orang dalam satu keluarga, maka pendapatan keluarga buruh tani tersebut hanyalah Rp395.205 per kapita per bulan. Angka itu juga berada jauh di bawah garis kemiskinan pada Maret 2021 yang sebesar Rp472.525 per kapita per bulan.

Baca Juga: Upacara di Sawah, Petani Madiun Berharap Pemerintah Jaga Harga Gabah 

4. Petani masih menghadapi ancaman produk impor

Menjadikan Petani Profesi Idaman Millennial: Impian vs RealitasAncaman produk impor dalam pertanian (IDN Times/Aditya Pratama)

Selain hidup dengan upah yang kecil, petani juga harus menghadapi produk impor yang memiliki daya saing tinggi. Menurut Said, ancaman produk impor semakin nyata dengan hadirnya Undang-Undang (UU) nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Pemerintah sendiri memang mengubah beberapa ketentuan dalam UU nomor 18 tahun 2012 tentang pangan. Adapun perubahan yang disorot oleh sejumlah pihak ialah ketentuan impor sebagai cadangan pangan nasional.

Dalam pasal 1 ayat (7) UU 18/2021, tertulis ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional serta impor apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan. Namun, ketentuan itu diubah dalam UU Cipta kerja yang berbunyi sebagai berikut:

"Ketersediaan Pangan adalah kondisi tersedianya Pangan dari hasil produksi dalam negeri, Cadangan Pangan Nasional, dan Impor Pangan," bunyi perubahan pasal 1 ayat (7) tersebut dalam UU Cipta Kerja.

Perubahan itu disoroti, karena ketentuan impor pangan tak lagi diikuti syarat hanya bisa dilakukan apabila hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional tak mencukupi kebutuhan.

"Dengan mengubah term di UU Cipta Kerja, kita juga gak paham, sampai sekarang belum jelas apa variabelnya? Ya jadi kan hanya dipandang setara saja bahwa boleh langsung impor," tutur Said.

Kemudian, UU Cipta Kerja juga mengubah sejumlah poin mengubah ketentuan dalam UU No 18 Tahun 2012. Dalam UU Cipta Kerja, pemerintah mengubah ketentuan pasal 14 UU 18/2012 dengan menambah opsi impor sebagai sumber penyediaan pangan prioritas. 

Pasal 14
(1) Sumber penyediaan pangan berasal dari produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional.
(2) Dalam hal sumber penyediaan pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum mencukupi, pangan dapat dipenuhi dengan impor pangan sesuai dengan ketentuan.

Pasal tersebut diubah dalam UU Cipta Kerja menjadi:

Pasal 14
(1) Sumber penyediaan Pangan diprioritaskan berasal dari: 
a. Produksi Pangan dalam negeri; 
b. Cadangan Pangan Nasional; dan/atau 
c. Impor. 
(2) Sumber penyediaan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan kepentingan Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil melalui kebijakan tarif dan non tarif.

Pemerintah juga mengubah ketentuan pasal 15 dengan menghapus kalimat mengutamakan produksi pangan dalam negeri untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan yang tertuang dalam UU 18/2012.

Pasal 15
(1) Produksi Pangan dalam negeri digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi Pangan.
(2) Dalam hal Ketersediaan Pangan untuk kebutuhan konsumsi dan cadangan Pangan sudah tercukupi, kelebihan Produksi Pangan dalam negeri dapat digunakan untuk keperluan lain.

Dalam UU Cipta Kerja:

Pasal 15
(1) Pemerintah mengutamakan Produksi Pangan dalam negeri untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi Pangan. 
(2) Dalam hal Ketersediaan Pangan untuk kebutuhan konsumsi dan cadangan Pangan sudah tercukupi, kelebihan Produksi Pangan dalam negeri dapat digunakan untuk keperluan lain.  

Pemerintah juga mengubah ketentuan pasal 36 dan 39 dalam UU 18/2012. Adapun bunyi kedua pasal tersebut dalam UU 18/2012 sebagai berikut:

Pasal 36
(1) Impor Pangan hanya dapat dilakukan apabila Produksi Pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri. 
(2) Impor Pangan Pokok hanya dapat dilakukan apabila Produksi Pangan dalam negeri dan Cadangan Pangan Nasional tidak mencukupi.
(3) Kecukupan Produksi Pangan Pokok dalam negeri dan Cadangan Pangan Pemerintah ditetapkan oleh menteri atau lembaga pemerintah yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang Pangan.

Berikut perubahan yang dilakukan pemerintah dalam UU Cipta Kerja:

Pasal 36
(1) Impor Pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. 
(2) Impor Pangan Pokok dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan cadangan pangan nasional. 
(3) Impor Pangan dan Impor Pangan Pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dengan memperhatikan kepentingan Petani, Nelayan, Pembudidaya Ikan, serta Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil.

Lalu, pada pasal 39, pemerintah mengubah ketentuan impor pangan yang pada UU 18/2012 berbunyi:

Pasal 39
Pemerintah menetapkan kebijakan dan peraturan Impor Pangan yang tidak berdampak negatif terhadap keberlanjutan usaha tani, peningkatan produksi, kesejahteraan Petani, Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil.   

Diubah dalam UU Cipta Kerja dengan menghilangkan frasa "yang tidak berdampak negatif" menjadi: 

Pasal 39 
Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan dan peraturan Impor Pangan dalam rangka keberlanjutan usaha tani, peningkatan kesejahteraan petani, Nelayan, Pembudidaya Ikan, serta Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil.  

"Kalau itu (UU Cipta Kerja) jadi kenyataan (di lapangan), agak susah juga bermimpi anak muda mau ke sektor pertanian kalau produk luar masuk jadi lebih kencang dengan UU itu, kan jadi legal," kata Said.

5. Sederet PR pemerintah kalau mau generasi millennial pilih petani sebagai profesi

Menjadikan Petani Profesi Idaman Millennial: Impian vs RealitasIlustrasi petani menanam padi di area persawahan. ANTARA FOTO/Arnas Padda

Said mengatakan ada dua hal utama yang harus dikerjakan pemerintah untuk mendorong minat generasi muda menjadi petani, yakni akses terhadap lahan pertanian yang memadai, dan juga pendapatan yang layak dari harga yang menguntungkan.

"Walaupun Pak Jokowi misalnya pertanian itu menjanjikan, tetapi selama dua hal ini tidak bisa ditunjukkan ke publik, terutama kepada anak muda saya kira jadi berat juga. Apalagi kalau ini hanya jadi jargon," kata Said.

Dalam memperluas akses petani terhadap lahan, menurut Said reforma agraria perlu dilakukan.

"Kalau jawabannya sekarang wajar (hampir) 60 persen itu (petani) gurem, data 2018. Berarti kan harus ditingkatkan. Reforma agraria itu harus dilakukan, mandat UU itu harus dilakukan," ucap dia.

Di sisi lain, Jokowi pernah berjanji mencetak 1 juta ha lahan pertanian baru di awal pemerintahannya, yakni pada 2014 lalu. Dia meminta janji itu ditepati oleh Jokowi. "Dan Pak Jokowi kan punya janji atau komitmen politik walaupun dalam pelaksanaannya masih sangat berat, target berapa juta itu," tutur dia.

Selanjutnya, pemerintah harus meningkatkan daya saing petani Tanah Air agar bisa menjual hasil panennya dengan harga yang layak. Caranya dengan memperlancar pemberian subsidi pupuk, penyediaan bibit pertanian yang unggul, membatasi impor komoditas pangan yang bisa diproduksi di dalam negeri, dan sebagainya.

Oleh sebab itu, dia meminta pemerintah tak hanya fokus dalam meningkatkan produksi pertanian seperti yang dijalankan selama ini. Menurutnya, hal paling utama adalah meningkatkan kualitas hidup atau pendapatan petani.

"Orientasi pembangunan pertanian di Indonesia, terutama tanaman pangan, itu kan orientasinya hanya meningkatkan produksi, bukan meningkatkan pendapatan petani. Jadi target peningkatan produksi berapa juta ton, tidak pernah kita lihat misalnya target peningkatan pendapatan petani 1 tahun ke depan jadi Rp2,5 juta per bulan, tidak pernah kita dengar itu," ujar dia.

Jika pemerintah tidak dapat memenuhi itu semua, cita-cita menjadikan petani sebagai profesi yang menjanjikan untuk millennial, hanya sebatas impian.

Baca Juga: Tenang, Pemerintah Tak Impor Beras Setahun ke Depan

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya