Skema Power Wheeling: Dicabut Pemerintah, Ditagih DPR 

Power wheeling tuai pro-kontra

Jakarta, IDN Times - Skema power wheeling dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Terbarukan (EBT) memicu pro-kontra baik dari kalangan akademisi, pakar, maupun DPR.

Power wheeling berkaitan dengan skema penyaluran listrik atau penjualan setrum langsung ke konsumen oleh pembangkit listrik yang dibangun oleh perusahaan swasta.

Skema ini banyak menuai kritik karena dinilai akan berdampak pada jumlah pelanggan PLN, pasokan listrik PLN, tarif listrik, hingga beban keuangan negara.

Meski menuai kritik, beberapa anggota Komisi VII DPR RI masih menilai klausul tersebut penting untuk dimasukkan ke dalam RUU EBT.

Baca Juga: Duh, Skema Power Wheeling Dinilai Bisa Bikin Tarif Listrik Mahal

1. Mengenal skema power wheeling

Skema Power Wheeling: Dicabut Pemerintah, Ditagih DPR Infografis Skema Power Wheeling (IDN Times/Aditya Pratama)

Lebih rinci, skema power wheeling memberikan akses bagi perusahaan Independent Power Producer (IPP) untuk membangun pembangkit listrik. Kemudian, pembangkit listrik swasta itu bisa menjualnya kepada publik melalui jaringan distribusi dan transmisi PLN.

Skemanya ialah menggunakan open source, sehingga perusahaan swasta harus membayar ongkos (fee) yang ditetapkan Kementerian ESDM. Namun, di dalamnya ada ketentuan Take or Pay (ToP). Di saat listrik yang dihasilkan pembangkit swasta tak terserap atau oversupply, maka PLN harus menyerapnya.

Menurut Anggota Komisi VII DPR, Yulian Gunhar dari fraksi PDIP, skema itu menambah beban untuk PLN.

“PLN harus menanggung beban ToP jika listrik yang disediakan swasta tidak terserap atau oversupply. Di mana setiap tambahan pembangkit sebesar 1 GW akan mengakibatkan tambahan beban ToP rata-rata sebesar Rp2,99 triliun,” tutur Gunhar yang dikutip dari keterangan resmi beberapa waktu lalu.

Baca Juga: Masih Alot di DPR, Skema Power Wheeling Tuai Petisi Penolakan

2. PLN berpotensi menanggung beban Rp21 triliun karena oversupply pasokan listrik

Skema Power Wheeling: Dicabut Pemerintah, Ditagih DPR Potret pembangunan PLTA Batangtoru pada September 2018 lalu. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Ekonom Drajad Wibowo mengatakan, saat ini negara sedang menghadapi tantangan kelebihan pasokan atau oversupply listrik karena masih dalam tahap pemulihan ekonomi.

Dia mengatakan, hingga tahun 2025, potensi over supply listrik bisa mencapai 9,5 gigawatt (GW). Belum lagi adanya skema ToP tersebut.

Menurut Drajad, ada potensi beban akibat oversupply yang bisa mencapai Rp21 triliun, bahkan bisa meningkat hingga Rp28,5 triliun jika pemerintah meloloskan skema power wheeling dalam RUU EBT.

"Justru dengan adanya skema power wheeling bisa mengganggu PLN dalam menyalurkan oversupply listrik ini. Tentu keuangan PLN terbebani, yang ujungnya akan minta PMN lagi dari Kementerian Keuangan," ujar Drajad.

Baca Juga: Ada Ancaman Beban PMN di Klausul RUU EBT

3. Pelanggan PLN akan tergerus dan tarif listrik bisa naik

Skema Power Wheeling: Dicabut Pemerintah, Ditagih DPR Ilustrasi listrik (ANTARA FOTO/Rahmad)

Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi mengatakan skema tersebut juga akan menggerus permintaan pelanggan organik PLN hingga 30 persen, dan pelanggan non-organik hingga 50 persen.

Fahmy mengatakan, penurunan jumlah pelanggan PLN tersebut dapat memperbesar kelebihan pasokan PLN, dan juga menaikkan harga pokok penyediaan (HPP) listrik.

"Dampaknya, dapat membengkakkan beban APBN untuk membayar kompensasi kepada PLN sebagai akibat tarif listrik PLN di bawah HPP dan harga keekonomian," urainya.

Bahkan, Fahmy mengatakan skema tersebut berpotensi merugikan rakyat sebagai konsumen, dengan penetapan tarif listrik yang diserahkan pada mekanisme pasar. "Dengan power wheeling, penetapan tarif listrik ditentukan oleh demand and supply, pada saat demand tinggi dan supply tetap, tarif listrik pasti akan dinaikkan," tutur Fahmy.

4. Pemerintah cabut skema power wheeling dari RUU EBT

Skema Power Wheeling: Dicabut Pemerintah, Ditagih DPR Ilustrasi aktivitas geothermal (Burkni Palsson)

Pada Selasa, (24/1) lalu, Menteri ESDM, Arifin Tasrif memastikan skema power wheeling sudah dicabut oleh pemerintah dari Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU EBT. Meski begitu, penyediaan EBT akan tetap dilaksanakan dan diatur dalam RUU tersebut.

"Kan sudah jelas, posisi pemerintah sudah jelas, tidak ada (skema) power wheeling (dalam RUU EBT), tetapi adalah kewajiban untuk menyediakan energi baru dan bersih ke dalam sistem. Itu kewajiban, itu harus dilaksanakan," kata Arifin kepada awak media di kompleks DPR RI.

Kembali ke Drajad, dia mengatakan penyediaan listrik EBT akan efektif apabila pemerintah mampu menekan tarif listrik EBT.

Drajad menuturkan saat ini harga listrik batu bara hanya sekitar 3-5 sen dolar AS per kWh. Sementara untuk EBT, harganya mencapai 6-7 sen dolar AS/kWH untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), dan 7-8 sen dolar AS/kWh untuk listrik biomassa. Bahkan, untuk geotermal di mana Indonesia memiliki sumber panas bumi terbesar kedua di dunia, harganya lebih tinggi lagi, antara 7-13 sen dolar AS/kWh, dan umumnya di kisaran 11-12 sen dolar AS/kWh.

"Persoalan utama EBT adalah seefisien apapun pembangkitnya, harga listrik EBT tidak mungkin bersaing dengan listrik dari batu bara. Batu bara merupakan sumber energi yang sangat murah, tapi kotor dan tidak terbarukan," ujar Drajad.

Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal mengatakan, jika pemerintah ingin melibatkan swasta dalam sektor kelistrikan, bisa melalui pembangunan infrastruktur kelistrikan di pelosok.

Dengan skema investasi yang jelas, swasta bisa turut membantu negara dengan membangun akses listrik di wilayah pedalaman yang selama ini justru belum terjangkau baik oleh PLN maupun negara.

"Indonesia Timur itu kan masih banyak daerah-daerah yang masih terbatas suplai listrik. Walaupun kita lihat elektrifikasi kita udah 90 sekian persen, tapi pada kenyataannya kan di Timur terutama yang di daerah pelosok itu masih ada yang belum menikmati listrik. Nah sebaiknya swasta ini didorong membangun kepada daerah-daerah yang mungkin susah dibangun oleh PLN," ujar Faisal.

5. Wakil Ketua Komisi VII DPR RI minta skema power wheeling kembali dimasukkan ke RUU EBT

Skema Power Wheeling: Dicabut Pemerintah, Ditagih DPR Gedung DPR RI (IDN Times/Kevin Handoko)

Pada rapat kerja Komisi VII DPR RI dengan Menteri ESDM, Arifin Tasrif pekan lalu, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Maman Abdurrahman dari fraksi Golkar meminta pemerintah kembali memasukkan skema power wheeling dalam RUU EBT. Menurutnya, power wheeling adalah ruh dari RUU EBT.

"Saya dengar terakhir di DIM pemerintah tidak masuk power wheeling. Dan menurut kami, saya bisa mengatakan kami dan mungkin sebagian besar teman-teman komisi VII, tapi proses politik akan berjalan, justru ruhnya RUU EBT di power wheeling," kata Maman.

Dia mengatakan, perusahaan swasta turut berkontribusi dalam perekonomian Tanah Air. Oleh sebab itu, perlu diberikan ruang untuk pelaku swasta dalam sektor yang selama ini hanya digarap oleh BUMN.

"Kita sadar sekali bahwa keberadaan BUMN sangat memberikan kontribusi besar kepada bangsa dan negara kita. Namun di sisi lain ada peran swasta juga yang harus kita dorong dan kita optimalkan. Artinya EBT harus betul-betul memberikan solusi di dalam upaya meningkatkan pendapatan negara dan optimalisasi perkembangan industri EBT di negara kita," ujar Maman.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya