Syarat PCR-Antigen Dihapus, Rupiah Tekuk Dolar AS Pagi Ini

Rupiah dibuka pada level Rp14.392,5 per dolar AS

Jakarta, IDN Times - Nilai tukar atau kurs rupiah menguat terhadap mata uang dolar Amerika Serikat (AS) pada pembukaan perdagangan hari ini, Selasa (8/3/2022).

Kurs rupiah dibuka menguat 22 poin ke level Rp14.392,5 per dolar AS pada perdagangan pagi ini.

Mengutip Bloomberg, hingga pukul 09.05 WIB, kurs rupiah masih menguat 21 poin ke level Rp14.393,5 per dolar AS.

Sebelumnya, pada penutupan perdagangan kemarin, Senin (7/3/2022), kurs rupiah melemah 28 poin atau 0,19 persen ke level Rp14.414 per dolar AS.

Baca Juga: AS-Eropa Bakal Larang Impor Minyak Rusia, Rupiah Jatuh ke Rp14.414

1. Pencabutan syarat antigen dan PCR bagi pelaku perjalanan domestik bikin rupiah berotot

Pengamat pasar keuangan, Ariston Tjendra mengatakan keputusan pemerintah yang akan mencabut syarat tes antigen dan PCR untuk pelaku perjalanan domestik membawa sentimen positif terhadap nilai tukar rupiah hari ini.

"Dari dalam negeri, sikap pemerintah yang semakin melonggarkan kebijakan di masa pandemi, yang terbaru soal tes PCR dan antigen, bisa mendukung penguatan rupiah," kata Ariston kepada IDN Times.

2. Pergerakan rupiah berpotensi loyo hari ini

Meski begitu, dia memprediksi pergerakan nilai tukar rupiah berpotensi melemah hari ini. Perang Rusia dan Ukraina masih menjadi membayangi pergerakan nilai tukar rupiah/

"Potensi pelemahan rupiah ke kisaran Rp14.450, dengan support di kisaran Rp14.380," ujar Ariston.

Baca Juga: Jerman Tolak Ajakan AS Larang Impor Minyak dan Gas dari Rusia 

3. Aset berisiko masih dibayangi sentimen negatif

Aset berisiko seperti mata uang rupiah masih dibayangi sentimen negatif karena perang antara Rusia dan Ukraina masih belum usai. Kenaikan harga komoditas akibat potensi gangguan pasokan dari Rusia dan Ukraina membuat orang-orang beralih ke aset aman. Dia mengatakan, kenaikan harga komoditas itu dapat memicu inflasi tinggi di berbagai negara.

"Kekhawatiran pasar terhadap kenaikan inflasi yang tinggi karena naiknya harga komoditas termasuk komoditas energi akibat potensi gangguan suplai dari Rusia dan Ukraina mendorong para pelaku pasar keluar dari aset berisiko dan masuk ke aset aman seperti dolar AS dan Emas," ujar Ariston.

Lebih lanjut, Ariston menilai potensi inflasi tinggi itu akan mengganggu pertumbuhan aset berisiko.

"Kenaikan inflasi bisa menekan pertumbuhan ekonomi ke depan dan tentunya ini akan menekan pertumbuhan aset berisiko," ucap Ariston.

Topik:

  • Hana Adi Perdana

Berita Terkini Lainnya