Utang RI Naik Rp3.963 Triliun di Pemerintahan Jokowi, Buat Apa Saja?

Pemerintah klaim kelola utang dengan hati-hati

Jakarta, IDN Times - Sejak 2014 utang pemerintah melonjak signifikan. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, selama 7 tahun pemerintahan Presiden Joko "Jokowi" Widodo, utang pemerintah naik Rp3.963,76 triliun. Dipakai untuk apa saja utang tersebut?

Utang atau sumber pembiayaan APBN sendiri digunakan untuk menutupi kekurangan atau defisit APBN. Dari data Kemenkeu, sejumlah pos-pos dalam belanja pemerintah turut mengalami kenaikan sejak 2014.

Misalnya belanja pegawai yang meningkat 73 persen sejak 2014 sampai 2021. Lalu, belanja barang yang tumbuh 105,2 persen. Setelah itu, belanja modal tumbuh 67,5 persen, pembayaran bunga utang tumbuh 180 persen, belanja perlindungan sosial 64 persen, belanja subsidi minus 55 persen, dan belanja lainnya tumbuh 1.554 persen.

Menurut Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Yustinus Prastowo belanja barang difokuskan untuk barang yang bersifat produktif, termasuk untuk penanganan pandemik COVID-19.

"Di sisi lain, jika dilihat berdasarkan fungsinya, alokasi belanja untuk program-program prioritas juga terus mengalami tren kenaikan," kata Yustinus kepada IDN Times, Kamis (21/10/2021).

Baca Juga: 76 Tahun Merdeka, Indonesia Harus Hadapi Jeratan Utang Ribuan Triliun

1. Klasifikasi jenis belanja pemerintah

Utang RI Naik Rp3.963 Triliun di Pemerintahan Jokowi, Buat Apa Saja?Ilustrasi APBN (IDN Times/Arief Rahmat)

Sebelum membahas perkembangan belanja pemerintah pusat lainnya, perlu dipahami terlebih dahulu klasifikasi beberapa jenis belanja pemerintah pusat.

Pertama, belanja pegawai adalah kompensasi dalam bentuk uang maupun barang yang diberikan kepada pegawai negeri, pejabat negara, dan pensiunan serta pegawai honorer yang akan diangkat sebagai pegawai lingkup pemerintahan baik yang bertugas di dalam maupun di luar negeri sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan dalam rangka mendukung tugas dan fungsi unit organisasi pemerintah.

Belanja pegawai digunakan untuk memberi gaji dan tunjangan pada ASN, gaji dokter pegawai tidak tetap, gaji dan tunjangan pejabat negara, untuk uang makan PNS, lauk pauk TNI/Polri, untuk memberi uang tunggu dan pensiun PNS dan pejabat negara, belanja asuransi kesehatan PNS, uang lembur PNS, belanja pegawai honorer yang mendukung tugas pokok dan fungsi unit organisasi pemerintah, pembayaran tunjangan sosial bagi PNS, pembayaran uang vakasi, pembayaran tunjangan khusus PNS, belanja pegawai transito, dan pembayaran uang duka wafat/tewas.

Kedua, belanja barang untuk pembelian barang dan/atau jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan/atau jasa yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan, serta pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat di luar kriteria belanja bantuan sosial serta belanja perjalanan.

Ketiga, belanja modal untuk pembayaran perolehan aset dan/atau menambah nilai aset tetap/aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi dan melebihi batas minimal kapitalisasi aset tetap/aset lainnya yang ditetapkan pemerintah.

Keempat, belanja bunga utang yakni pembayaran kewajiban atas penggunaan pokok utang, baik utang dalam negeri maupun utang luar neger.

Pembayaran bunga utang meliputi bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN), bunga Obligasi Negara, Imbalan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), Bunga Pinjaman Program, Bunga Pinjaman Proyek, dan bunga Utang Luar Negeri melalui penjadualan kembali pinjaman; Pembayaran kewajiban pemerintah atas diskon SPN dan diskon Obligasi Negara; pembayaran Loss on Bond Redemption; pembayaran diskon SBSN; dan denda yang merupakan pembayaran imbalan bunga atas kelalaian pemerintah membayar kembali pengembalian kelebihan pajak (restitusi), pengembalian kelebihan bea dan cukai serta imbalan bunga atas pinjaman perbankan dan bunga dalam negeri jangka pendek lainnya.

Kemudian, belanja subsidi yakni alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga untuk memproduksi, menjual, mengekspor, atau mengimpor barang dan jasa, yang memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat dijangkau oleh masyarakat. Belanja subsidi terdiri atas subsidi energi dan non energi.

Lalu, ada belanja perlindungan sosial yakni transfer uang atau barang yang diberikan oleh pemerintah pusat/daerah kepada masyarakat guna melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial.

Selanjutnya, belanja lain-lain yakni pengeluaran negara untuk pembayaran atas kewajiban pemerintah yang tidak masuk dalam kategori belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, belanja bunga utang, belanja subsidi, belanja hibah, dan belanja bantuan sosial serta bersifat mendesak dan tidak dapat diprediksi sebelumnya.

2. Alokasi belanja subsidi terus mengalami penurunan

Utang RI Naik Rp3.963 Triliun di Pemerintahan Jokowi, Buat Apa Saja?Infografik pertumbuhan belanja pemerintah pusat periode 2014-2021. (IDN Times/Aditya Pratama)

Dibandingkan pos belanja lainnya, belanja subsidi mengalami penurunan yang cukup dalam. Dalam data Kementerian Keuangan, jika dibandingkan dengan 2014, maka alokasi belanja subsidi justru minus 55 persen.

Namun, jika dilihat alokasinya, hanya subsidi energi yang mengalami penurunan hingga minus 68 persen. Sementara itu, belanja subsidi non energi masih tumbuh 30 persen.

Dari data Kemenkeu, pada 2014 pemerintah mengalokasikan Rp350,3 triliun untuk belanja subsidi energi. Kemudian, pada 2015 alokasinya turun menjadi Rp137,8 triliun. Pada 2016 turun lagi menjadi Rp94,4 triliun, dan di 2017 menjadi Rp89,9 triliun. Kemudian, di 2018 naik lagi menjadi Rp153,5 triliun. Lalu, di 2019 turun lagi menjadi Rp136,9 triliun, dan di 2020 hanya sebesar Rp95,6 triliun. Di 2021, alokasi belanja subsidi energi naik lagi menjadi Rp110,5 triliun.

Menurut Yustinus, penurunan belanja subsidi energi terjadi dikarenakan harga bahan bakar minyak (BBM) juga mengalami penurunan. Sementara itu, menurutnya pos belanja lainnya justru naik.

"Subsidi turun karena harga BBM turun. Jadi perlu dilihat holistik, anggaran pendidikan, kesehatan, bansos, infrastruktur naik signifikan," kata dia.

Berdasarkan data, sejak 2017 utang bertambah hingga Rp2.998,6 triliun atau naik 175 persen. Begitu juga dengan anggaran untuk pendidikan naik Rp129 persen atau Rp2.409,6 triliun. Lalu, anggaran untuk kesehatan naik 215 persen atau Rp709,7 triliun, anggaran infrastruktur tumbuh 169 persen atau Rp1.887,7 triliun, dan anggaran perlindungan sosial yang dimulai sejak 2015 tumbuh 375 persen atau Rp1.910,6 triliun.

Baca Juga: Utang RI Naik Terus, BPK Khawatir Pemerintah Tak Sanggup Bayar

3. Utang pemerintah pada 2020 naik drastis karena pandemik COVID-19

Utang RI Naik Rp3.963 Triliun di Pemerintahan Jokowi, Buat Apa Saja?Ilustrasi Utang (IDN Times/Arief Rahmat)

Berdasarkan data, lonjakan utang pemerintah tertinggi terjadi pada 2020, yakni hingga Rp1.296,56 triliun atau 27,13 persen menjadi Rp6.074,56 dibandingkan 2019.

Menurut Yustinus, lonjakan utang pada 2020 dikarenakan pemerintah melakukan kebijakan extraordinary untuk penanganan pandemik COVID-19.

"Saat itu, pemerintah meluncurkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebagai upaya penanganan pandemik serta bentuk keberpihakan pada masyarakat rentan dan pelaku usaha untuk dapat bertahan," tutur dia.

Dia melanjutkan, pandemik COVID-19 membuat APBN bekerja keras untuk menggerakkan roda perekonomian.

"Di saat penerimaan tertekan akibat pelemahan ekonomi, belanja negara justru terus ditingkatkan, utamanya bidang kesehatan dan jaring pengaman sosial melalui program PEN. Sama halnya dengan banyak negara di belahan dunia lain, penambahan utang karena adanya kebijakan countercyclical di masa pandemik merupakan suatu keputusan yang paling bijak dalam menyelamatkan nyawa dan perekonomian," ucap Yustinus.

Lebih lanjut, dia mengatakan belanja barang yang ditetapkan dalam APBN 2021 telah direalisasikan untuk membeli 94,5 juta dosis vaksin senilai Rp14,48 triliun, biaya perawatan 453,2 ribu pasien COVID-19 senilai Rp30,1 triliun, bantuan bagi 11,8 juta pelaku usaha mikro senilai Rp14,21 triliun, dan dana BOS bagi 7,6 juta siswa sekolah senilai Rp8,2 triliun.

4. BPK khawatir pemerintah tak sanggup bayar utang

Utang RI Naik Rp3.963 Triliun di Pemerintahan Jokowi, Buat Apa Saja?Ilustrasi Utang. (IDN Times/Aditya Pratama)

Pada 22 Juni lalu, Badan Pemeriksa Keuangan merilis Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020.

Dalam ringkasan eksekutif LHP atas LKPP yang dibacakan oleh Ketua BPK, Agung Firman Sampurna, BPK mencatat terdapat defisit anggaran sebesar Rp947,70 triliun atau 6,14 persen dari PDB (produk domestik bruto) pada 2020. Sementara itu, realisasi pembiayaan (pengadaan utang) tahun 2020 mencapai Rp1.193,29 triliun atau sebesar 125,91 persen dari nilai defisit anggaran.

Dengan demikian, ada sisa utang yang tak terpakai di tahun 2020 yakni sebesar Rp245,59 triliun atau yang disebut dengan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA).

Dengan kondisi tersebut, BPK menyatakan pengadaan utang di 2020 telah melampaui batas yang direkomendasikan oleh International Monetary Fund (IMF) alias Dana Moneter Internasional.

"Indikator kerentanan utang tahun 2020 melampaui batas yang direkomendasikanIMF dan/atau International Debt Relief (IDR)," tutur Agung.

Pertama, dilihat dari rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen, melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35 persen.

Kedua, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6-6,8 persen, sedangkan dan rekomendasi IMF sebesar 7-10 persen.

Ketiga, rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369 persen melampaui rekomendasi IDR sebesar 92-167 persen, dan rekomendasi IMF sebesar 90-150 persen.

Bahkan, BPK khawatir kemampuan pemerintah untuk membayar utang-utang tersebut jadi menurun.

"Tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga melampaui pertumbuhan PDB dan Penerimaan Negara yang memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga uang," ucap Agung.

5. Jokowi klaim pemerintah kelola utang dengan hati-hati

Utang RI Naik Rp3.963 Triliun di Pemerintahan Jokowi, Buat Apa Saja?Presiden Joko Widodo (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Menanggapi LHP atas LKPP tahun 2020 tersebut, Presiden Joko "Jokowi" Widodo mengklaim pemerintah mengelola utang secara hati-hati dan terukur. Dia juga mengatakan, utang pemerintah berasal dari sumber pembiayaan yang aman.

"Defisit anggaran dibiayai dengan memanfaatkan sumber sumber pembiayaan yang aman. Dilaksanakan secara responsif, mendukung kebijakan countercyclical dan akselerasi pemulihan sosial ekonomi. Dikelola secara hati-hati kredibel dan terukur," ujar Jokowi seperti yang dikutip dari Youtube Sekretariat Presiden, Jumat (25/6/2021).

Selain itu, menyoroti porsi utang pemerintah yang mencapai 40,84 persen terhadap PDB per Agustus 2021, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Nathan Kacaribu menilai utang tersebut masih dalam posisi aman

"Nah utang, tentunya aman. (Rasio utang) Kita naik dari 29 persen ke 39 persen di tahun 2020. Mungkin akan naik sedikit ke 41 persen atau 42 persen, tetapi setelah itu kita akan melakukan fiscal dispilin yang kemudian akan membawa defisit kita di bawah level tiga persen dan itu akan membuat level utang kita nggak akan naik lagi," tutur Febrio, dalam Taklimat Media, Jumat (1/10/2021).

Baca Juga: Pemerintah Mengklaim Porsi Utang Masih Aman meski Terus Meningkat

Topik:

  • Hana Adi Perdana
  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya