[WANSUS] Ketum YLKI: Dampak Bongkar-Pasang Kebijakan Minyak Goreng

Pemerintah harus jaga pasokan minyak goreng

Jakarta, IDN Times - Kementerian Perdagangan (Kemendag) berulang kali mengubah kebijakan untuk menekan lonjakan harga minyak goreng, serta kelangkaan pasokan. Mulai dari operasi pasar, subsidi minyak goreng, kebijakan satu harga, dan kini ada Harga Eceran Tertinggi (HET), DMO, dan DPO.

Menurut Ketua Umum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, bongkar-pasang kebijakan minyak goreng ini menunjukkan pemerintah 'coba-coba', alias tidak memiliki konsep jelas untuk mengatasi persoalan yang dihadapi masyarakat.

Dia menegaskan, pada intinya masyarakat hanya membutuhkan ketersediaan minyak goreng, dan juga harga yang terjangkau.

"Ini menunjukkan pemerintah tidak mempunyai konsep yang jelas untuk mengatasi melonjaknya harga minyak goreng, dan juga mengatasi kelangkaan minyak goreng di akhir-akhir ini," kata Tulus dalam wawancara Top News IDN Times yang ditayangkan Rabu, (2/2/2022).

Tulus juga menyinggung penyelidikan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait indikasi kartel minyak goreng. Dia meminta Kemendag turut berpartisipasi dalam upaya pengungkapan kartel tersebut. Sebab, menurutnya hal tersebut penting untuk memperbaiki struktur industri minyak goreng dari hulu sampai hilir.

Selengkapnya, berikut wawancara khusus IDN Times dengan Ketua Umum YLKI, Tulus Abadi.

Baca Juga: Harga Minyak Goreng Mahal, Pemerintah Mengaku Salah

Bagaimana tanggapan YLKI atas perubahan kebijakan harga minyak goreng dari subsidi ke sistem HET?

[WANSUS] Ketum YLKI: Dampak Bongkar-Pasang Kebijakan Minyak GorengMinyak goreng (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Terkait kebijakan minyak goreng yang dilakukan oleh pemerintah, ini menunjukkan pemerintah tidak mempunyai konsep yang jelas untuk mengatasi melonjaknya harga minyak goreng, dan juga mengatasi kelangkaan minyak goreng di akhir-akhir ini. Jadi pemerintah dalam mengambil kebijakan publik, itu terlihat coba-coba, dan gamang terhadap kebijakan yang ditetapkan. Mulai dari operasi pasar, kemudian subsidi, dan sekarang menetapkan HET yang dipaksakan.

Kami sejak awal sudah menilai ini tidak akan efektif. Pertama, karena memang persoalannya bukan di hilir saja, tapi ada persoalan hulu. Sedangkan, persoalan hulu ini sama sekali tidak disentuh pemerintah.

Persoalan hulu itu apa? Adanya dugaan praktik kartel dan persainagn usaha tidak sehat oleh pedagang-pedagang besar. Nah, ini tidak diselesaikan. Dan tidak ada pernyataan resmi apapun terkait dengan dugaan praktik kartel dan sebagainya. Memang praktik ini membutuhkan waktu untuk diproses secara hukum. Apakah dengan proses KPPU, atau proses-proses perdata lainnya.

Tetapi, seharusnya pemerintah punya komitmen untuk mengendus adanya dugaan ini. Bukan malah defensif atau marah kalau saya serang soal isu tersebut. Itu terbukti dengan berbagai talk show saya dengan Dirjen di televisi, itu mereka marah dengan tuduhan-tuduhan praktik kartel. Nah, kenapa harus marah? Padahal memang akhirnya KPPU juga mengakui itu, bahwa ada praktik persaingan tidak sehat.

Nah, ini artinya ada yang disembunyikan, terkait dengan praktik persaingan tidak sehat, ataupun kartel, oligopoli, dan sebagainya. Jadi seharusnya pemerintah menyisir dari sisi hulu, dan juga hilir.

Nah, hilir ini yang saya tengarai, dari praktik selama ini memang apa yang ditetapkan pemerintah dengan HET, ini HET yang dipaksakan. Karena para pedagang pasar dan Aprindo juga mengatakan bahwa harga yang ditetapkan pemerintah dengan Rp14.000/liter, itu adalah harga yang tidak rasional. Makanya ada sinyal ini bukan HET yang sebenarnya, tapi harga pemaksaan pemerintah. Ini seharusnya pemerintah mengevaluasi apa yang dikeluarkan dengan kebijakan-kebijakan yang ada tersebut.

Harga minyak goreng di Malaysia hanya Rp8.500 per liter. Padahal, sama-sama produsen minyak kelapa sawit terbesar. Apakah kebijakan HET baru cukup adil atau bisa ditekan lagi?

[WANSUS] Ketum YLKI: Dampak Bongkar-Pasang Kebijakan Minyak GorengGubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (tengah) meninjau operasi pasar murah minyak goreng di Kecamatan Bekasi Selatan, Jawa Barat, Selasa (11/1/2022). (ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah)

Justru ini ironi. Karena kalau dibandingkan dengan Malaysia di satu sisi, lalu di sisi lain kita sebagai salah satu produsen terbesar di dunia dengan 43 juta ton per tahun, harusnya konsumen di Indonesia mendapatkan harga minyak goreng yang lebih murah, yang terjangkau. Karena apa? Karena komoditas utama yang dihasilkan adalah komoditas yang dihasilkan oleh perut Indonesia.

Kita sebagai eksportir. Kecuali kita sebagai importir yang mengikuti harga pasar. Nah ini kan kita sebagai eksportir, logikanya harganya lebih murah. Karena ini berasal dari budi daya tanaman di Indonesia.

Bagaimana penilaian YLKI atas kebijakan HET ini? Apakah bisa merata diterapkan di seluruh Indonesia?

[WANSUS] Ketum YLKI: Dampak Bongkar-Pasang Kebijakan Minyak GorengIlustrasi warga membeli minyak goreng kemasan saat operasi pasar murah (ANTARA FOTO/Arif Firmansyah)

Konsepnya harus dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu. HET itu kan di Jawa-Bali atau luar Jawa-Bali kan berbeda. Kecuali kemudian pemerintah menetapkan HET, subsidinya berbeda-beda di masing-masing daerah.

HET ini kan intervensi daripada subsidi tadi. Sama seperti misalnya pemerintah menetapkan harga BBM di seluruh Indonesia. Sepanjang dibeli di SPBU, maka harganya sama, dari Aceh sampai Papua. Tapi kalau di luar SPBU, harganya berbeda-beda.

Nah mestinya pemerintah juga punya formulasi-formulasi untuk membuat harga yang rasional bagi pelaku usaha dan konsumen. Nah itu yang harusnya menjadi catatan.

Baca Juga: Harga Minyak Goreng di Malaysia Rp8.500/liter, Mendag: Itu Disubsidi

Terkait keluhan masyarakat bahwa stok minyak goreng kosong di minimarket, sebenarnya apa yang salah? Kurangnya sosialisasi pada masyarakat, atau pengawasan di ritel-ritel?

[WANSUS] Ketum YLKI: Dampak Bongkar-Pasang Kebijakan Minyak GorengStok minyak goreng kelapa sawit kosong di Alfamart Kemanggisan 2, Jakarta Barat. (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Kalau saya diskusi dengan Aprindo dan juga asosiasi pedagang pasar tradisional, mereka mengakui ini terjadi karena pasokannya tidak ada, pasokannya sangat tipis. Di sini berarti ada persoalan volume pasokan minyak goreng.

Kalau memang pasokan ada, kan di ritel tidak perlu kosong, kalau ada pembelian dari konsumen. Lagipula konsumen mau borong berapa? Mungkin hanya 3 bungkus. Pengakuan yang ada dari peritel modern dan tradisional, mengatakan barangnya tidak ada. Stoknya terbatas. Yang kami beli pun terbatas. Sehingga kalau dibeli konsumen dalam jumlah banyak, cepat habis. Jadi inti persoalannya itu, barangnya tidak ada, atau volumenya minimalis dibandingkan hari-hari sebelumnya.

Dengan adanya kebijakan Domestic Market Obligation (DMO), harapannya apa dari YLKI untuk ketersediaan pasokan minyak goreng di dalam negeri?

[WANSUS] Ketum YLKI: Dampak Bongkar-Pasang Kebijakan Minyak GorengMinyak goreng satu harga, Superindo Daan Mogot pada Kamis (19/1/2022). (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Ini memang satu hal yang positif adanya DMO dan DPO. Ini saya kira satu instrumen untuk menetralisir dari sisi hulu. Tetapi menurut saya ini terlambat. Seharusnya, ini ditetapkan sejak kita menjadi pedagang besar sawit.

Sama seperti sektor batu bara dengana ada DMO dan DPO. Tapi kenapa ini aturan minyak goreng baru ditetapkan sekarang ini, setelah YLKI mendesak adanya DMO CPO. Nah ini saya kira di satu sisi menjadi solusi. Tetapi, untuk mengatasi saat ini, solusinya adalah solusi hilir. Pemerintah harus melakukan penegakan hukum baik di hulu maupun hilir. Jadi apabila ada pelaku atau distributor yang menimbul, maka harus ada penegakan hukum dari sisi perdata atau pidana misalnya.

Gunakanlah Undang-Undang perdagangan atau Undang-Undang perlindungan konsumen, karena minyak goreng adalah satu komoditas strategis dan penting. Jadi para pelaku usaha tidak boleh menimbun dengan jumlah yang melebihi batas rasio.

Bagaimana penilaian YLKI atas pengawasan Kemendag serta Satgas Pangan terkait ketersediaan minyak goreng ini? Apa saja yang perlu diberbaiki atau ditingkatkan?

[WANSUS] Ketum YLKI: Dampak Bongkar-Pasang Kebijakan Minyak GorengIlustrasi minyak goreng (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Harus ada sinergi yang kuat antara Kemendag, Satgas Pangan, dan juga Polri. Karena aspek-aspek pidana harus menggunakan tangan Polri. Dan periode-periode sebelumnya kan seperti itu.

Kenapa dalamn hal ini belum ada upaya-upaya yang sifatnya selain kebijakan, tapi aspek perdata atau pidana. Kenapa saat ini pemerintah seperti melempem di dalam upaya melakukan intervensi kebijakan?

Baca Juga: Ada Indikasi Kartel, KPPU Panggil Produsen Minyak Goreng Besok 

Apakah ada laporan-laporan dari konsumen dalam catatan YLKI terkait upaya-upaya penimbunan atau kartel minyak goreng?

[WANSUS] Ketum YLKI: Dampak Bongkar-Pasang Kebijakan Minyak GorengWarga antre saat operasi pasar minyak goreng kemasan murah di Pasar Alang-Alang Lebar Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (12/1/2022). (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi)

YLKI banyak menerima keluhan dari konsumen. Tapi konsumen itu mengeluh dari hilir. Di mana konsumen mendapatkan dampak harga yang mahal dan kelangkaan. Ini kalau menyangkut adanya dugaan kartel, ini kan dampaknya pada konsumen, apakah karena harganya mahal atau supply chain terganggu. Jadi kalau konsumen itu dari sisi hilir. Lalu, faktor hulu itu menyangkut struktur pasar yang tidak sehat. Jadi solusinya pemerintah harus menyisir struktur pasar itu.

Nah, struktur pasarnya, faktor hulunya belum disentuh. Dan pemerintah terkesan menutup-nutupi adanya dugaan praktik kartel dan persainagn tidak sehat. Padahal ini melanggar UU antimonopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Bagaimana koordinasi YLKI dengan BPKN Kemendag atau KPPU terkait indikasi kartel atau penimbunan?

[WANSUS] Ketum YLKI: Dampak Bongkar-Pasang Kebijakan Minyak Gorengilustrasi minyak goreng curah (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Utamanya ini KPPU, karena KPPU sebagai wasit dalam persaingan usaha tidak sehat. KPPU yang punya kompetensi untuk melakukan penegakkan hukum dari sisi keperdataan sebagaimana UU antimonopoli dan persaingan tidak sehat.

Bagaimana seharusnya pemerintah menangani persoalan minyak goreng, sehingga masyarakat tidak perlu lagi merasakan kelangkaan pasokan maupun kenaikan harga yang sangat tinggi?

[WANSUS] Ketum YLKI: Dampak Bongkar-Pasang Kebijakan Minyak GorengMinyak goreng satu harga, Alfamidi Rawa Belong, Jakbar pada Rabu (19/1/2022). (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Dengan adanya kebijakan DMO dan DPO ini sangat positif. Tapi harus diawasi dengan ketat. Karena DMO ditetapkan belum tentu dipatuhi pengusaha. Maka pemerintah harus melakukan sanksi pada pihak-pihak yang melanggar itu. Sama seperti kasus batu bara, ketika mereka melanggar DMO, pemerintah melarang ekspor batu bara. Walaupun kemudian dianulir atau dibolehkan lagi.

Ini juga harus seperti itu, kalau ada pelaku usaha CPO yang melanggar ketentuan DMO, maka juga harus diberikan sanksi, mulai dari larangan ekspor, atau bahkan pencabutan izin operasi dari usaha mereka. Dan juga ketika melanggar DPO. Jadi, ini kebijakan bagus walaupun terlambat.

Tetapi dari sisi hulunya, harus ada pengawasan yang kuat, sanksi yang kuat bagi pihak-pihak yang melanggar. Sedangkan, dari sisi hilir pemerintah harus mengawasi harga yang beredar di pasaran, dan pasokan minyaknya ada. Karena bagi konsumen yang utama adalah aksesibilitas minyak goreng itu tersedia, dan afordabilitas, harga yang terjangkau bagi konsumen. Dua hal ini tidak bisa dipisahkan.

Baca Juga: Kemendag Sebut Oligopoli di Industri Minyak Sawit Terjadi Sejak Lama

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya