Duduk Perkara Anjloknya Harga Garam dan Solusi dari Pemerintah

Susi bilang ada kebocoran kuota impor garam, apa iya?

Jakarta, IDN Times- Masa panen garam dibayangi kekhawatiran akibat harga komoditasnya terjun bebas. Petani di sejumlah daerah, seperti di Cirebon dan Indramayu, mengeluh lantaran harga garam anjlok hingga Rp300 per kilogram. Padahal, beberapa bulan sebelumnya, setiap satu kilogram garam bisa dihargai sekitar Rp1.000-Rp2.000.

Keluh kesah petani garam kian menjadi-jadi akibat penyerapan pascapanen yang tidak optimal. Mereka gelisah bila perusahaan-perusahaan besar memenuhi kebutuhan garamnya dari kuota impor, bukan dari garam rakyat.

Menanggapi keluhan tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti menuding kebocoran kuota impor garam sebagai penyebabnya.

"Persoalan harga jatuh itu adalah impor terlalu banyak dan bocor. Titik. Itu persoalannya. Kalau diatur impornya di bawah 3 juta ton kayak tempo hari, harga di petani masih bisa Rp2.000, Rp1.500. persaoalannya impor terlalu banyak,” kata Susi di kantornya pada Kamis, 4 Juli lalu.

1. Harga garam yang anjlok memiliki kualitas K2 dan K3

Duduk Perkara Anjloknya Harga Garam dan Solusi dari PemerintahANTARA FOTO/YUSUF NUGROHO

Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Kemenko Maritim, Agung Kuswandono, angkat bicara soal polemik harga garam. Menurutnya, sudah hal yang wajar apabila garam diproduksi dalam jumlah besar, harganya sedikit menurun.

Kemudian, dia membantah tudingan Susi ihwal kebocoran kuota impor. Agung menjelaskan bahwa ada tiga kualitas garam yang diproduksi oleh para petani, yaitu K1 (kandungan NaCL 94-97 persen), K2 (kandungan NaCL 90-94 persen), dan K3 (kandungan NaCL di bawah 90 persen). Adapun garam yang harganya jatuh memiliki kualitas K2 dan K3.

“Saya tidak mengatakan itu (penyebab anloknya harga adalah impor garam). Kemenko Maritim juga gak ada datanya. Kalau ada tolong disampaikan. Yang jadi masalah itu bukan garam K1, harga turun karena kualitasnya K2 dan K3. Kalau boleh jujur, K2 dan K3 ini gak boleh diproduksi, karena SNI-nya itu 94 sekian persen (kandungan NaCL-nya),” kata Agung di kantornya, Jakarta Pusat.

Rata-rata, para pelaku industri menggunakan garam yang memiliki kandungan NaCL sekitar 96-97 persen. Bahkan, beberapa perusahaan multinasional memasang standar kandungan NaCL hingga 99,99 persen. Artinya, garam kualitas K2 dan K3 harus menjalani berbagai pengolahan ulang supaya meningkatkan kandungan NaCL-nya.

“Untuk itulah industri gak bisa pakai sembarangan garam. Bahasanya kan gini, masih untung garam K2 dan K3 itu dibeli. Karena itu (kualitasnya rendah), maka harganya pasti turun. Jadi gak bisa harga dan kualitas K2 dan K3 disamakan dengan K1,” tambahnya.  

Baca Juga: Garam di Indonesia Adalah yang Paling Tercemar Mikroplastik

2. Perusahaan harus membeli garam rakyat supaya dapat kuota impor

Duduk Perkara Anjloknya Harga Garam dan Solusi dari PemerintahANTARA FOTO/Dedhez Anggara

Kebutuhan garam nasional pada 2019 tidak jauh berbeda dari tahun sebelumnya, sekitar 4,2 juta ton. Sementara, industri garam nasional pada 2018 hanya mampu menghasilkan 2,2 juta ton. Melalui kegiatan eksistensifikasi (seperti penambahan lahan garam) dan intensifikasi (optimalisasi lahan), pemerintah mampu meningkatkan produksi 1 juta ton garam pada 2019.

Selain untuk memenuhi kebutuhan garam nasional, impor garam juga dimanfaatkan untuk memberikan kepastian bisnis. Pelaku usaha besar hanya ingin bekerja sama dengan penyedia garam yang memiliki catatan penyimpanan hingga dua tahun ke depan.  

“Mereka (pelaku usaha) akan selalu bertanya, kamu (penyedia garam) mampu menyiapkan bahan baku berapa banyak dan berapa lama. Kalau industri, hitungannya dua tahun harus memiliki simpanan garam. Kalau tidak, mereka akan lari ke tempat lain. Produsen garam ada India, ada Tiongkok, gak cuma Indonesia,” beber Agung.

Terkait penyerapan, Agung mengatakan bila pemerintah sudah memiliki kesepakatan dengan pelaku usaha soal kewajiban untuk membeli garam rakyat. Pada 2018, PT Garam menyerap 120 ribu ton. Sementara, 2,3 juta ton diserap oleh industri garam melalui perjanjian antara Kementerian Perindustrian dengan pelaku usaha.

Dia memaprkan, “dari penyerapan itu, hitung-hitungan tinggal sisa 100 ribu ton yang belum terserap. Mereka kalau gak menyerap garam rakyat, gak akan dapet kuota impor. Begitu regulasinya.”

3. Kemenperin bantah adanya kebocoran kuota impor

Duduk Perkara Anjloknya Harga Garam dan Solusi dari PemerintahANTARA FOTO/Dedhez Anggara

Selaras dengan Kemenko Maritim, Direktur Industri Kimia Hulu Kemenperin Fridy Juwono juga menjawab tudingan Susi tentang kebocoran kuota impor. Dia menjelaskan, dari kuota impor sekitar 2,7 juta ton, kesemuanya akan terpakai oleh pelaku industri hingga akhir 2019. Untuk aktualisasinya,1,2 juta ton telah diserap oleh Asahi Chemical, 580 ribu ton oleh Sulfindo Adiusaha.

“Dua itu saja sudah 1,7 juta ton, artinya 60 persen dari kuota“Belum lagi pabrik kertas serap 480 ribu ton. Sudah hampir 2,3 juta ton. Belum pabrik makanan dan minuman. Jadi kalau bocor itu bocor yang mana,” tambah dia.

Di Indonesia, ada lebih dari 400 industri yang memanfaatkan garam, mulai dari kimia, perminyakan, farmasi, pakaian, hingga aneka pangan. Jika ketersediaan garam terganggu, tidak menutup kemungkinan harga dari 400 produk industri itu bisa terganggu.

Kemenperin dituntut untuk memenuhi kebutuhan garam pada beberapa sektor industri yang tidak bisa ditolelir tingkat impuritasnya (kandungan sulfat, magnesium, dan kalsium). Di sisi lain, Fridy juga sadar bila industry memiliki standar bahan baku yang harus dipenuhi.  

“Farmasi dan kosmetik itu memerlukan garam yang non-impuritis, karena untuk kesehatan kita. Kalau bicara industri, kendalanya adalah standar. Nah garam K2 dan K3 itu jadi problem,” ungkap dia.

Guna memanfaatkan garam K2 dan K3, Kemenperin mendorong beberapa sektor industri yang tidak memerlukan garam kualitas tinggi. “Contohnya industri tekstil itu butuh garam untuk mengikat warna. Terus industri boiler, penyamakan kulit untuk (kebutuhan) lokal. Ke depannya kami berharap lebih banyak standar yang dipenuhi biar bisa menyerap lebih banyak.”

Duduk Perkara Anjloknya Harga Garam dan Solusi dari PemerintahIDN Times/Arief Rahmat

4. Kemenko Maritim akan usulkan garam masuk kebutuhan pokok

Duduk Perkara Anjloknya Harga Garam dan Solusi dari PemerintahIDN Times/Vanny El Rahman

Untuk menjaga pasokan serta mencegah anjloknya harga garam di kemudian hari, Agung hendak memasukkan kembali garam ke dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang penting.

“Dalam Perpres itu, garam dimasukkan sebagai kebutuhan pokok sama seperti susu, daging, cabai. Tapi dikeluarkan karena masyarakat Indonesia hanya mengkonsumsi 3,5 kilogram per tahun. Kedua, dia gak mempengaruhi inflasi,” ungkap Agung.

Namun, wacana ini belum disandingkan pada tingkat kementerian. “Baru pada tingkat deputi.” Agung berharap Kementerian KKP serta Kementerian Perdagangan bisa meloloskan rencana ini. Dua Kementerian tersebut akan dibantu oleh Kemenperin dan Badan Pusat statistik (BPS).

Pertimbangan lainnya adalah banyak petani garam yang mengeluh akibat anjloknya harga. Jika usulan ini diterima, Agung hendak mematok harga Rp1000 untuk setiap satu kilogram garam.

Dari segi kesehatan, regulasi di Indonesia mewajibkan garam konsumsi harus mengandung yodium. “Kenapa harus diberi yodium, karena Indonesia ini punya masalah stunting (cebol), bukan cuam fisik tapi juga daya pikirnya,” demikian tambah Agung soal pentingnya garam sebagai kebutuhan pokok.  

5. Memperbanyak pabrik produksi garam

Duduk Perkara Anjloknya Harga Garam dan Solusi dari PemerintahANTARA FOTO/Zabur Karuru

Solusi lain untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas garam adalah membangun pabrik produksi garam industri. Untuk mencapai swasembada garam, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) memperkirakan pemerintah harus menyiapkan setidaknya 40 ribu hektare lahan.

Menurut Eniya Lestiani Dewi selaku Deputi Bidang Teknologi, Informasi, Energi, dan Materil (TIEM) BPPT, program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (Pugar) yang digagas oleh Kementerian KKP dirasa belum optimal untuk meningkatkan kuantitas garam.

Pugar memanfaatkan 15 hektare untuk mengintegrasikan lahan tambak garam. Sementara, perempuan yang karib disapa Eni mengusulkan supaya integrasi lahan dengan pabrik diperluas menjadi 400 hektare.  

“Kalau (lahan intergasi tambaknya) hanya 100 hektare bisa, tapi skala pabriknya diperkecil. Pabrik garam industri itu kapasitasnya 40 ribu ton. Di sini rencana untuk swasembada garam, kita butuh 40 ribu hektare,” tutur dia.

Akibat keterbatasan pabrik, petani tidak bisa menjual garam olahan. Karenanya, apa yang mereka jual sebatas bahan baku. “Kalau garam itu diolah, nanti bisa tinggi lagi harganya.”

Dalam waktu dekat, pemerintah berencana untuk membangun satu pabrik di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Rencana ini sudah bergulir sejak tahun lalu, namun terhambat karena administrasi pertanahan. Bila tidak ada hambatan, pendirian pabrik akan dimulai pada Agustus nanti. Harapannya sejak Desember pabrik tersebut sudah bisa beroprasi.

“Besarannya Rp29 miliar untuk kapasitas 40 ribu ton, alokasinya dana APBN. Jadi saya ingin membuktikan kalau kita bisa membuat garam industri. Nanti kita rencakan juga pembangunan di Jeneponto dan Pati,” paparnya.

Baca Juga: Dulu Kritik Pemerintah soal Garam, Kini Jadi Sahabat Jokowi

6. Mengembangkan SDM petani garam

Duduk Perkara Anjloknya Harga Garam dan Solusi dari PemerintahIDN Times/Musthofa Aldo

Selain pembenahan regulasi dan optimalisasi teknologi, pemerintah juga berencana untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) para petani garam. Menurut Agung, hal ini penting supaya mereka sudah mulai menggunakan teknologi dalam proses intensifikasi lahan garam.

Agung juga berharap para petani tidak terburu-terburu untuk memanen. Sebab, jika usia tambak baru 4-7 hari, maka garam yang dihasilkan sebatas K2 atau K3.

“Teknologi terkini sudah kita pakai. Tapi ada masalah juga di bahan bakunya. Sama seperti tebu. Kalau belum masak sudah kita panen, tetap jadi gula. Tapi kualitasnya gimana. Garam juga gitu, rasanya tetap asin tapi kadar (NaCL-nya) hanya 80-90 persen.”

Pemerintah harus memberikan sosialisasi dan edukasi tentang pergaraman. Pemerintah juga harus memberikan pemahaman soal integrasi lahan tambak. Sebagaimana pernyataan Eni, salah satu tantangan untuk mengintegrasikan lahan seluas 400 hektare adalah menyatukan persepsi para petaninya.

“Karena mereka ada yang punya 1 hektare, ada yang punya 5 hektare. Nanti takut bagaimana kalau lahannya gak ada meja garamnya (istilah dalam pertanian garam),” imbuh Eni.

Agung menutup dengan pernyataan yang sama, “harus ada gerakan untuk mengarah ke sana (perubahan pola pikir para petani). Apalagi mindset yang tidak paham dengan NaCL, susah nantinya. Harus diangkat juga itu (rencana) 100-400 hektare BPPT, jangan cuma yang 15 hektare saja. ”

Baca Juga: Kebanyakan Impor, Harga Garam Lokal Drop Sampai Rp400 Per Kilo

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya