Nestapa Petani Garam Cirebon: Kala Hidup Lebih Asin dari Garam

Persoalan harga garam seperti lingkaran setan tak berujung

Cirebon, IDN Times - Terik matahari menyengat kulit Tarsidi pada Kamis (25/7). Pukul 13.11 WIB, sang baskara saat itu tepat berada di atas kepalanya. Lelaki berusia 40 tahun itu berdiri di tengah hamparan tambak garam. Sejauh mata memandang, tak ada pohon rindang yang menghalau angin laut. Hawa panas pun datang bersamanya. Udara begitu gerah. Gersang.

Tempat Tarsidi mengais rezeki adalah Desa Rawaurip, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon. Berjarak sembilan kilometer dari PLTU II Cirebon. Kawasan ini menjadi satu dari lima sentra garam di Kota Udang. Sebab, jarak antara tambak garam dengan garis pantai terdekat hanya terpaut dua kilometer. 

Seolah tak merasakan suhu panas 31 derajat celcius, ayah dari empat orang anak itu masih gigih berkutat dengan tumpukan karung garam. Kendati mengenakan kaos lengan panjang dengan topi abu-abu, cucuran keringat yang bergeliat di sekujur tubuhnya tidak lagi terbendung.

Anjloknya harga garam tidak memberikan Tarsidi pilihan. Apakah ia harus menyerah kehilangan asa atau terus berjuang menyambung hidup sembari berdoa kepada sang pemilik semesta.

“Saya sudah hampir 20 tahun jadi petani garam. Tapi ya harganya anjlok, jadi nyari pekerjaan lain, buat tambahan dapur, ini sekarang jadi kuli bongkar muat,” kata Tarsidi kepada IDN Times.

Musim kemarau tahun ini disambut “senyum asin” para petani garam. Alih-alih meraup pundi-pundi rupiah, banyak dari mereka justru didekap amarah. Romantisme harga garam Rp2.500-Rp3.500 per kilogram dua tahun silam kini bak mimpi di siang bolong. Tahun ini, harganya tergelincir hingga Rp500 bahkan Rp300 per kilogram.

Jangankan berangan-angan memiliki rumah besar dengan tabungan berjuta-juta bakal persiapan hari tua, membayangkan meja makan dengan nasi dan lauk-pauk untuk hari esok saja sudah membuat Tarsidi pusing bukan kepalang.

“Tahun ini harganya kan murah banget, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari aja gak cukup. Kalau dibilang kurang ya pasti kurang. Akhirnya dicukup-cukupi. Wallahu’alam nanti (setelah musim kemarau berakhir) modal balik atau gak,” ungkapnya.

Anjloknya harga garam dan perdebatan di sejumlah kementerian

Nestapa Petani Garam Cirebon: Kala Hidup Lebih Asin dari GaramIDN Times/Reynaldi

Menyoal anjloknya harga garam bukan perkara mudah. Kabupaten Cirebon, berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2015, merupakan daerah penghasil garam terbesar di Indonesia. Pada tahun itu, produksi garam di Cirebon mencapai 435 ribu ton dengan luas lahan 3.858 hektare. Karenanya, tidak heran bila jatuhnya harga garam di Cirebon menjadi polemik nasional.

Hingar-bingar perkara garam di Cirebon mencuat sejak Juli lalu. Ironisnya, peristiwa serupa pernah terjadi pada 2017 silam. Pemerintah dianggap tidak belajar dari masa lalu. Para petani mengeluh karena penyerapan garam rakyat yang tidak optimal. Di sisi lain, Menteri KKP Susi Pudjiastuti menuding besaran kuota impor menjadi penyebab anjloknya harga garam.

Tidak mau dikambinghitamkan, Kementerian Perindustrian (Kemenperin), sebagai institusi yang mengeluarkan angka importasi, justru mempertanyakan keabsahan data yang menjadi dasar pernyataan Susi.

Sepanjang 2019, kebutuhan garam nasional diperkirakan mencapai 4,2 - 4,7 juta ton. Sementara, sentra produksi dalam negeri hanya mampu menghasilkan 2,2 juta ton. Atas pertimbangan itu, Kemenperin mengeluarkan angka impor sebesar 2,7 juta ton.

Direktur Industri Kimia Hulu Kemenperin, Fridy Juwono, menuturkan bila semua garam impor sudah terserap. Sekitar 1,2 juta ton diserap oleh Asahi Chemical, 580 ribu ton oleh Sulfindo Adiusaha, dan pabrikan kertas menyerap 480 ribu ton.

“Itu sudah hampir 2,3 juta ton. Belum pabrik makanan dan minuman. Jadi kalau bocor, itu bocor yang mana,” tanya dia.

Agung Kuswandono membantah pernyataan Susi dengan mengatakan tidak ada data soal kelebihan kuota impor. "Kalau ada datanya tolong disampaikan,” tutur Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Kemenko Maritim itu.  

Patut disayangkan, Kementerian Perdagangan (Kemendag) tidak banyak tampil di tengah hiruk-pikuk garam. Padahal, institusi inilah yang mengeluarkan izin impor berdasarkan angka yang direkomendasikan Kemenperin.

Baca Juga: Garam di Pamekasan Tembus Rp200 per Kilogram, Petani Menjerit

Kualitas garam dalam negeri tidak memenuhi standar pasar

Nestapa Petani Garam Cirebon: Kala Hidup Lebih Asin dari GaramIDN Times/Reynaldi

Lebih lanjut, Agung menyampaikan, duduk perkara anjloknya harga garam adalah kualitas garam dalam negeri yang tidak memenuhi standar pasar. Kualitas garam berdasarkan kandungan Natrium Clorida (NaCl) terbagi menjadi tiga, yaitu kualitas K1 dengan kandungan NaCl 94-97 persen, K2 NaCl 90-94 persen, dan K3 NaCl di bawah 90 persen.

Ketua Umum Ikatan Petani Garam Indonesia (IPGI) Mochamad Insyaf Supriyadi tidak menampik pernyataan tersebut. Sebagai petani garam kelahiran Desa Rawaurip, dia paham betul jika bahan baku garam atau air laut di Kabupaten Cirebon tidak mendukung untuk menghasilkan K1.

“Air laut di sini gak jernih, jadi gak bisa memenuhi kualitas K1. Di sini ya garam K3 yang diproduksi,” kata Insyaf kepada IDN Times.

Insyaf dulu mengelola 15 hektare tambak garam. Tetapi, karena usaha garam terbentur ketidakpastian harga, dia mulai beralih ke tambak udang. “Sekarang 10 hektare udang, hanya lima hektare yang garam,” ujarnya.

Pada 2017, garam K3 laku di pasaran senilai Rp2.500-Rp3.000 per kilogram. Tahun ini, garam K3 hanya terjual Rp300 per kilogram. Adapun garam K1 dihargai Rp550 per kilogram. Tergelincirnya harga garam memaksa Insyaf dan rekan-rekannya untuk melakukan pengolahan ulang demi meningkatkan kadar NaCl.  

“Bisa ditingkatin kadar garamnya. Melalui pencucian, penggilingan, dicuci lagi, dioven, itu kadar airnya sudah rendah banget. Tapi hanya tersisa 60 persen, 40 persennya loss,” jelas dia. Artinya, keluh keringat 1.000 kilogram garam yang dihasilkan hanya dihargai 600 kilogram.

Biaya produksi satu kilogram garam sekitar Rp600 per kilogram, sudah termasuk pengolahan dan peningkatan kadar NaCl-nya. Jika di pasar harga garamnya menjadi Rp1.000 per kilogram. “Dipotong uang jalan, petani jadinya cuma ambil keuntungan Rp100 per kilo,” sambung Insyaf.

Menuruti permintaan pasar atau tuntutan perut?

Nestapa Petani Garam Cirebon: Kala Hidup Lebih Asin dari GaramIDN Times/Reynaldi

Selain bahan baku, penyebab rendahnya kualitas garam adalah panen dini. Pemerintah sempat menyarankan supaya para petani memanen garam pada hari ke-10 atau ke-12. Semakin tua air laut yang dialiri ke meja garam (sebutan untuk tambak garam yang siap dipanen), maka tingkat salinitasnya semakin tinggi. Alhasil, kadar NaCl pun meningkat.  

Hanya saja, menunggu selama itu berdampak terhadap meja makan yang tidak dihiasi lauk-pauk. Para petani terpaksa memanen garam setelah hari ke-3, yang mana kualitasnya pasti K3. Mereka tidak punya pilihan. Uang hasil panen hari ini, digunakan untuk makan di hari esok.

“Kebutuhan ekonomi itu gak bisa ditunggu. Jadi dipaksa panen hari ke-2 atau ke-3. Terlalu lama menunggu 7-12 hari. Sementara perut mereka gak bisa menunggu selama itu,” tambah Insyaf.

Lelaki yang sudah menjual garam sejak SMP itu memberikan simulasi untung-rugi jika memanen pada hari ke-3 atau menunggu hingga hari ke-12. Rata-rata dua petani mengelola satu kopang yang terdiri dari 8-12 petak berukuran 2,7 x 8 meter. Untuk setiap delapan petak, terdiri dari lima petak untuk penuaan air dan tiga petak untuk meja garam.

Setelah air yang sudah tua dialiri ke meja garam, panen berlangsung setiap hari secara bergiliran. Biasanya satu petak meja garam dipanen dua hari sekali. Untuk dua kali panen, setiap petaknya bisa menghasilkan 1 ton garam.

“Kalau dulu pas harga Rp2.500-Rp3.000 per kilogram, satu petak itu bisa menghasilkan kotor Rp1,8 juta per empat hari. Kalau sekarang, dengan biaya produksinya, mereka hanya dapat Rp180 ribu per empat hari. Itu juga ada yang dibagi dua sama temannya,” papar dia.

Berdasarkan hitung-hitungan di atas, kalau mereka dipaksa menunggu hingga 10-12 hari, maka mereka kehilangan dua ton untuk satu petaknya. “Dengan proses recovery (pengolahan garam di pabrik garam), hitung-hitungannya lebih untung panen yang dua atau tiga hari sekali,” lanjutnya.

Dukungan pemerintah meningkatkan kuantitas dan kualitas garam terkesan setengah-setengah

Nestapa Petani Garam Cirebon: Kala Hidup Lebih Asin dari GaramIDN Times/Reynaldi

Insyaf pernah menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Cirebon periode 2009-2014. Sebagai sarjana hukum yang pernah menduduki parlemen tingkat kabupaten, dia mengerti betul bagaimana peran pemerintah untuk mendukung kuantitas dan kualitas produksi garam.

Dengan tegas, dia mengatakan pemerintah tidak memiliki keseriusan dalam hal ini. Program pemberdayaan usaha garam rakyat (Pugar) yang diinisiasi oleh KKP dianggap tidak optimal.

“Salah satunya, kami diberikan plastik geo membran. Tapi pemberiannya terlambat. Kami diberikan saat sudah memasuki masa panen. Belum lagi banyak pemberiannya yang tidak tepat sasaran. Ada yang diberikan kepada mereka yang bukan petani garam,” keluhnya.

Untuk diketahui, geo membran merupakan semacam plastik yang berguna untuk alas lahan tambak. Sehingga, garam yang dihasilkan lebih bersih dan lebih banyak karena tidak bercampur dengan tanah.

Belum berhenti di situ, Insyaf menyayangkan pemerintah yang tidak ketat dalam melakukan pengawasan. Sebab, dia masih sering menemukan garam konsumsi impor beredar di pasaran. “Kalau garam konsumsi seharusnya garam dalam negeri semua, gak boleh garam impor,” katanya.

Terkait mesin produksinya, di Desa Rawaurip hanya ada lima pabrik pengolahan garam. Harganya tentu tidak murah. Insyaf harus merogoh kocek sebesar Rp600 juta untuk membeli peralatan produksinya. “Saya beli sejak dua bulan lalu, karena pasar gak mau lagi menerima garam krosok (yang baru dipanen belum diolah). Itu pakai uang saya semua,” katanya.

Hearing atau pertemuan antara petani dengan pemerintah turut dikeluhkan Insyaf karena hanya menggugurkan kewajiban mendengarkan keluhan masyarakat. Sebatas formalistik tanpa hasil yang apik. “Karena petani yang diundang kadang tidak memiliki kapasitas untuk hearing,” jelas Insyaf.

Dugaan manipulasi laporan untuk mendapatkan kuota impor

Nestapa Petani Garam Cirebon: Kala Hidup Lebih Asin dari GaramIDN Times/Reynaldi

Catatan Agung, PT Garam, sebagai satu-satunya BUMN yang beroperasi di bidang pergaraman, telah menyerap garam dalam negeri sebesar 120 ribu ton. Sementara, 2,3 juta ton sisanya telah diserap oleh industri yang menggunakan garam. Ada lebih dari 400 industri yang memanfaatkan garam.

“Mereka kalau gak menyerap garam rakyat, gak akan dapat kuota impor. Begitu regulasinya,” terang Agung. Adapun garam yang diimpor harus garam industri, yang kandungan NaCl berkisar 94-99 persen.

Regulasi tersebut termaktub dalam Peraturan Menteri Perindustrian RI No 34 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Rekomendasi Impor Komoditas Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri.

Ada berbagai pertimbangan agar Kemenperin memberikan rekomendasi impor, mulai dari kemampuan penyerapan garam lokal, spesifikasi produk yang dihasilkan, hingga stok garam impor yang tersedia. Harapannya tentu supaya garam dalam negeri terserap sepenuhnya.  

Lantas, kenapa masih banyak garam yang menumpuk di gudang-gudang? Bahkan, stok garam tahun lalu masih ada yang belum keluar.

Insyaf menduga adanya manipulasi laporan pembelian garam. Sekalipun dalam Permenperin tertulis peran lembaga verifikasi untuk memastikan pembelian garam lokal, Insyaf mengungkapkan bila pemerintah tidak pernah mengecek pembelian hingga ke petani.  

“Ada indikasinya. Jadi mereka membeli hanya tahun pertama saja, tahun berikutnya tidak membeli tapi tetap dapat kuota impor. Jadi mereka menggunakan laporan pembelian yang sama untuk tahun yang berbeda. Karena perusahaan bisa saja membeli langsung dari petaninya, tanpa melalui koperasi misalnya,” tuturnya.

“Ini jadi masalah, pemerintah gak tahu kondisi lapangan. Pemerintah harusnya bisa mengecek kebenaran, dari gudang pembeliannya itu di mana, betul gak belinya pada tahun ini. Jangan sampai pemerintah percaya dengan dokumentasi yang diberikan oleh perusahaan. Kan bisa saja mereka kasih foto dan video yang gak benar,” lanjut Insyaf.

Modus lainnya adalah perusahaan membeli garam lokal namun barangnya tidak pernah diambil. Alhasil, terjadi penumpukan di gudang dan tidak jarang petani dituduh sebagai penimbun.

Dirjen Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kemenperin, Achmad Sigit Dwiwahjono membantah tudingan tersebut. Dia menegaskan, tidak ada praktik manipulasi laporan supaya perusahaan mendapat kuota impor tanpa menyerap garam lokal.

"Silakan ditelusuri kalau ada manipulasinya," kata dia melalui pesan singkat kepada IDN Times.

Baca Juga: KPPU Putuskan 7 Importir Garam Tak Terbukti Lakukan Kartel 

Pemerintah harus banyak berbenah soal garam

Nestapa Petani Garam Cirebon: Kala Hidup Lebih Asin dari GaramIDN Times/Arief Rahmat

Pemerintah melalui Menko Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, berharap Indonesia bisa swasembada garam pada 2021 nanti. Dia tidak menampik bila impor garam, berapa pun jumlahnya, adalah penyebab anjloknya harga garam lokal.

Akan tetapi, pemerintah memiliki banyak pekerjaan rumah untuk merealisasikan cita-cita tersebut. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) misalnya, memperkirakan kebutuhan 40 ribu hektare lahan tambak tambahan supaya swasembada garam terealisasi.

Insyaf juga menyarankan supaya tumpang tindih regulasi soal garam dibuat lebih efektif. “Ada data yang tidak sinkron antar kementerian. Data kebutuhan pasar dipegang Kemenperin, data petani garamnya ada di KKP, data perdagangannya ada di Kemendag. Kalau terus begini swasembada garam gak akan tercapai,” katanya.

Di samping itu, ia juga meminta supaya pemerintah tidak memaksa kualitas K1 sebagai standar garam. Sebab, tidak semua industri membutuhkan garam dengan tingkat NaCl 94 persen ke atas. “Tiap garam memiliki identiknya masing-masing. Kebutuhan industri juga beda-beda. Kan gak setiap industri harus menggunakan garam NaCl tinggi,” jelas dia.

Untuk menghasilkan garam industri, pemerintah seharusnya mendorong perusahaan supaya bermitra dengan para petani. Menurut Insyaf, pendekatan ini perlu supaya petani bisa berkembang dan kebutuhan industri juga terpenuhi.

Ketika Insyaf mendirikan IPGI, dia berharap supaya pemerintah bisa memberikan kepastian harga garam. Semangat itu kembali diwacanakan oleh pemerintah dengan memasukkan kembali garam ke dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.

Ironi garam di negeri maritim

Nestapa Petani Garam Cirebon: Kala Hidup Lebih Asin dari GaramIDN Times/Arief Rahmat

Tarsidi masih berkutat dengan garamnya. Dia mungkin tidak seberuntung Insyaf yang memiliki banyak lahan garam. Tarsidi harus menyewa lahan garam seluas setengah hektare dengan besaran Rp4 juta untuk sekali musim panen, dari Juli hingga Oktober.

Sedari pagi hingga sore, Tarsidi tidak memiliki waktu senggang. Bila tidak disibukkan dengan kegiatan kuli panggul, ia akan mengawasi tambak sewaannya. Bila masa panen tiba, ia akan mengeruknya dengan begitu telaten. Seraya menjaga tidak ada butir garam yang terbuang sia-sia. 

Sayangnya, banting tulang yang ia lakukan tidak sepadan dengan penghasilan yang ia dapatkan. “Tahun 2016, waktu harganya tinggi, sehari panen bersih bisa dapat Rp400 ribu. 10 hari bisa dapat Rp4 juta. Sekali masa panen bersih bisa dapat Rp25 juta. Lah sekarang, paling cuma Rp40 ribu per hari. Mana cukup buat dapur,” terangnya sembari mempersiapkan motor sebelum menuju tempat bongkar muat garam.

Di tengah keterbatasan pendidikan, Tarsidi hanya mengikuti jejak ayahnya. Lagi pula, ia juga tinggal di kawasan sentra garam. Berlabuh ke kota atau menjadi buruh pabrik bukan solusi di masa senjanya. Belum lagi keterbatasan skill yang dia miliki.

Tuntutan hidup di tengah ketidakpastian menjadi petani garam tidak ingin diwariskan kepada putra-putrinya. Dia tidak ingin anak-anaknya dipaksa bekerja di bawah terik matahari. Pun pendapatannya tidak jelas. Belum lagi kalau musim panen berakhir, dari mana lagi ia harus mencari pinjaman uang bila tabungan hariannya ludes. 

“Saya sih berharap pemerintah harus turun tangan, gimana pun caranya supaya harganya stabil. Kalau anjlok kayak begini, ya saya gak mau anak saya jadi petani garam lagi. Terserah mereka mau larinya ke mana. Kalau gak ada pilihan lain, barulah jadi petani garam. Turun-temurun istilahnya.”

Jika tidak ada lagi yang mau menjadi petani garam, maka garis pantai Indonesia sepanjang 54.716 kilometer tidak lebih dari sekadar “musibah” alih-alih anugerah.  

https://www.youtube.com/embed/QEDQys8wdMQ

Baca Juga: Duduk Perkara Anjloknya Harga Garam dan Solusi dari Pemerintah

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Anata Siregar
  • Dwi Agustiar
  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya