Pahit Manis Ekspor Benih Lobster di Tengah Polemik Aturan Menteri Edhy

Manis bagi konglomerat, pahit bagi rakyat

Jakarta, IDN Times - Serba sulit. Begitulah yang dirasakan Nanda Ahmad, salah satu pengekspor lobster di Lombok dalam memanfaatkan aturan baru Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan mengeluarkan (Permen KKP) nomor 12/2020 sebagai antitesis bagi Permen 56/2016 yang merupakan langkah politik menteri sebelumnya, Susi Pudjiastuti, untuk melarang ekspor benih lobster.

Permen 12/2020 memang memungkinkan pengusaha dalam negeri untuk mengekspor benur atau benih lobster. Tapi bukan berarti peluang ini datang tanpa persoalan.

“Ya bisa dibilang butuh Rp300 juta untuk memulai budi daya benih lobster, dan pemerintah gak ada memberi bantuan kepada kami,” keluh Nanda kepada IDN Times.

Untuk mendapat kuota ekspor, Permen tersebut mensyaratkan sejumlah hal, salah satunya adalah pengekspor harus bisa membudi dayakan benur. Jangankan bagi mereka yang baru terjun di bisnis lobster, Nanda sekalipun yang sudah bertahun-tahun mengekspor lobster ukuran besar kesulitan untuk memenuhi persyaratan yang telah diatur.

“Kalau baca peraturannya, kelihatannya menguntungkan pembudi daya kecil, kenyataannya berat banget (untuk memenuhi persyaratan). Dengan syarat harus punya rencana budi daya lima tahun ke depan, harus ada surat rekomendasi, harus punya daftar nelayan, kita yang kecil gak akan bisa memenuhi syaratnya,” tutur dia.

Praduga Nanda bila aturan tersebut menguntungkan pengusaha besar terbukti ketika Majalah Tempo melaporkan perusahaan apa saja yang mendapatkan kuota ekspor. Sementara, Nanda yang berupaya mendapat izin justru menemui jalan buntu di DKP daerah.

“Kemarin sempat heboh di Lombok, ketika permen baru keluar, ternyata sudah ada yang disetujui. Kita orang daerah belum dapat bimbingan teknis, orang dinas juga gak tahu, katanya belum sampai aturan di kita. Eh tahu-tahunya malah udah ada yang ekspor. Ya kita cukup tahu, kalau begini berarti di pusat ada yang main, karena semua acc di dari sana,” paparnya.

1. Potensi lahirnya kartel benur lobster

Pahit Manis Ekspor Benih Lobster di Tengah Polemik Aturan Menteri EdhyInfografis mengenai ekspor benih lobster (IDN Times/Arief Rahmat)

Tak hanya itu persoalannya. Nanda juga khawatir kebijakan ini akan menciptakan kartel-kartel benur lobster. Pasalnya, nelayan tangkap tidak memiliki pilihan selain menjual benur kepada pengusaha besar. “Karena nelayan ibarat freelance, tinggal jual sesuai kuota. Yang pembudi daya kecil karena gak dapat izin ekspor, akhirnya mereka hanya bisa jual ke perusahaan besar.

Ditambah lagi, dia sama sekali tidak melihat keberpihakan pemerintah terhadap rakyat kecil melalui Permen yang ditandatangani pada Mei 2020 itu. "Kemarin sempat ada wacana membentuk koperasi nelayan, tapi ya itu, karena kita melihat ‘mainannya’ kayak begini, kami jadi takut kalau nanti gak bakal di-acc,” tutur Nanda. 

Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) pada Desember 2019 mencatat, penyelundupan ekspor benur yang melibatkan sindikat internasional telah merugikan negara senilai Rp300 hingga Rp900 miliar setiap tahunnya.

Terlepas dari kerugian negara akibat ekspor benur ilegal, penting juga untuk melihat bagaimana sebenarnya dampak Permen 56/2016 terhadap nilai ekspor secara keseluruhan?

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), tren ekspor lobster ternyata selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada 2015, nilai ekspornya hanya US$7,09 juta. Angkanya meningkat dua kali lipat hingga US$14,85 juta pada 2016. Memasuki 2017, nilainya mencapai US$17,23 dan melonjak drastis hingga US$28,45 juta pada 2018. Indonesia bahkan menempati urutan ke-12 sebagai negara dengan jumlah ekspor lobster terbesar.

Melalui Permen 56/2016, lobster yang boleh ditangkap harus memiliki berat minimal 200 gram. Periode penangkapannya pun harus memperhatikan masa bertelurnya. Dengan kata lain, Susi hendak menjual lobster ketika sudah memiliki nilai tambah.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim, juga mengkritisi kecilnya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) hasil ekspor benih lobster. Jika rujukannya adalah PP 75/2015, maka negara hanya mendapatkan Rp250 per 1.000 benih lobster.

“Sekalipun ada pelimpahan benih lobster, kalau diekspor misalnya 100 ribu ekor benih, PNBP-nya kurang dari Rp34 ribu. Vietnam (negara tujuan eksportir) bisa untung berkali lipat dalam waktu enam bulan,” kata Halim kepada IDN Times. 

Jika awal Juli lalu sudah ada tiga perusahaan yang melakukan ekspor, yaitu PT Aquatic SSLautan Rejeki, PT Tania Asia Marina, dan PT Royal Samudera Nusantara, sebanyak 134.119 benur, maka PNBP yang diterima hanya Rp33.529.

Halim turut mewanti-wanti dampak sosial-budaya terhadap masyarakat pesisir. Saat ini, alih profesi sedang terjadi, nelayan yang dulunya menangkap ikan lebih memilih menangkap benih lobster. Begitu pula masyarakat yang dulunya bertani, mulai ada yang mendaftar menjadi nelayan tangkap benur.

“Dampaknya bisa menimbulkan ketidakpastian, karena akan terjadi kelangkaan benih. Harganya juga tidak pasti di pasar. Orang juga tidak mau budi daya, karena tidak sebanding dengan waktunya. Dampak jangka panjangnya, ini bisa meningkatkan kemiskinan dan bisa menjadi sumber konflik (masyarakat pesisir),” tambah dia.

Baca Juga: Polemik Izin Ekspor Benih Lobster, Edhy Prabowo: Saya Siap Diaudit 

2. Untung-rugi ekspor benih lobster bagi Indonesia

Pahit Manis Ekspor Benih Lobster di Tengah Polemik Aturan Menteri EdhyIlustrasi lobster (IDN Times/Saifullah)

Ekspor benur bukan kebijakan pertama Menteri KKP, Edhy Prabowo, yang bertentangan dengan kebijakan Menteri KKP Kabinet Kerja I, Susi Pudjiastuti. Edhy juga mengizinkan kembali penggunaan cantrang yang sebelumnya dilarang oleh Susi. Kini, Permen 12/2020 menjadi antitesis bagi Permen 56/2016 yang merupakan langkah politik Susi untuk melarang ekspor benih lobster.

Edhy memiliki tiga alasan besar di balik keputusan Permen 12/2020. Pertama, kelangsungan hidup benih bening lobster di alam yang sangat rendah. Menurut dia, merujuk keterangan para ahli, persentasenya kurang dari 0,1 persen atau dari 20 ribu benih bisa jadi hanya satu lobster yang bertahan hidup. Sebaliknya, budi daya lobster meningkatkan persentase kelangsungan hidup hingga lebih dari 30 persen.

Kedua, Edhy mengklaim Permen 56/2016 mematikan mata pencaharian masyarakat pesisir karena larangan budi daya dan menangkap lobster. Belum lagi nelayan yang dikriminalisasi karena ketahuan secara sembunyi-sembunyi menangkap benih lobster.

Terakhir, politikus Partai Gerindra itu hendak menutup kerugian yang diterima negara akibat ekspor benih lobster ilegal. Data KKP dari 2015 hingga Juli 2019, pemerintah berhasil menggagalkan 263 kasus penyelundupan dan menyelamatkan 9.825.677 benur dengan total nilai mencapai Rp1.373.371.140.000.

Melihatnya dari kaca mata yang berbeda, Dekan Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Padjadjaran (Unpad), Yudi Nurul Ihsan, menilai Permen 12/2020 adalah kebijakan yang progresif. Menurutnya, Edhy memberikan kesempatan yang dulu tidak diberikan oleh Susi kepada nelayan, yaitu budi daya lobster. Kemudian, di tengah pandemik COVID-19, kebijakan seperti ini bisa jadi solusi jangka pendek untuk menghadapi krisis ekonomi. 

“Saya sih berpikirnya positif ya, kebijakan ini mendorong masyarakat untuk budi daya lobster. Budi daya kan gak mungkin langsung berhasil, pasti ada prosesnya. Nah kebijakan ini untuk menyemarakkan semangat budi daya. Kalau sudah berkembang, baru nanti ekspor benihnya dihentikan,” papar dia kepada IDN Times.

Yudi menyambung, “kelangsungan hidup budi daya bisa sampai 30-35 persen, tapi budi daya kita belum teruji, tapi itu peluang. Di zaman bu Susi nangkapnya saja gak boleh karena ada Permen 56/2016, jadi kita tertinggal teknologi untuk budi daya, jauh dibanding Vietnam. Industri budi daya jadinya mati.”

Tetapi, Yudi juga memberikan sejumlah catatan supaya kebijakan ini bisa bermanfaat bagi nelayan dan bangsa Indonesia beberapa tahun mendatang.

“KKP juga harus mendorong riset tentang budi daya lobster di universitas. Riset tentang pakan, media budi daya, karena lobster itu sangat sensitif. Sehingga riset bisa diaplikasikan gak jadi pajangan perpustakaan saja. Harus ada juga insentif kepada pembudi daya, sehingga mereka mau bergerak ke sana dan tentunya ada bantuan modal. Kemudian, pemerintah juga harus menyiapkan pasarnya supaya bisa mengendalikan harga,” terangnya.

3. Kewajiban melepasliarkan 2 persen dari panen dinilai sebagai solusi

Pahit Manis Ekspor Benih Lobster di Tengah Polemik Aturan Menteri EdhyHumas Pemprov Lampung

Ketua Asosiasi Nelayan Lobster Indonesia (ANLI), Rusdianto, melihat Permen 12/2020 mengatur tiga hal, yaitu budi daya, pelepasliaran ke alam, dan penangkapan sekaligus ekspor benih lobster. Menurutnya, aturan ini merupakan titik temu untuk menengahi perbedaan kepentingan antara pembudi daya dengan nelayan tangkap.

“Makanya saya katakan Permen itu masuk semua, pembudi daya dan nelayan akan sejahtera,” kata Rusdi saat dihubungi IDN Times.

Permen ini juga dinilai baik untuk mengoordinasikan nelayan tangkap di berbagai daerah. Sebab, perusahaan harus memiliki nelayan binaan supaya mendapat kuota ekspor. Nantinya, mereka akan didaftarkan sebagai nelayan tangkap benih di bawah naungan Ditjen Perikanan Tangkap, KKP.

“Nelayan harus memiliki kartu nelayan sebagai tanda izin dari DKP dan KKP, memiliki naungan organisasi. Jadi nelayan bisa sejahtera karena Permen ini mengharuskan perusahaan menggandeng nelayan, harus buat MoU kalau kerja sama. Ini juga bagus untuk pengawasan (menghindari eksploitasi dan penangkapan ilegal),” tambah dia. 

Terkait pelepasliaran, kata Rusdi, Permen ini sudah berada pada jalur yang tepat karena mensyaratkan 2 persen dari hasil panen dikembalikan ke alam. Dengan demikian, semakin banyak benur yang diekspor, maka semakin banyak lobster yang dikembalikan ke alam.

4. Permen dinilai sarat kepentingan politik

Pahit Manis Ekspor Benih Lobster di Tengah Polemik Aturan Menteri EdhyMenteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Edhy Prabowo saat melakukan Kunjungan Kerja ke Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tegalsari, Kota Tegal. IDN Times/ Muchammad

Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, memiliki argumen yang berbeda. Dia melihat aturan ini sebagai akal-akalan Edhy untuk menguntungkan kolega politiknya.

“Gak bisa Edhy bilang kalau ada tiga (perusahaan) temannya yang (mendapat izin ekspor benur) sebagai kebetulan. Gak ada kebetulan dalam mengeluarkan kebijakan. Permen ini adalah putaran kolusi yang ujungnya adalah kepentingan politik,” terang Susan kepada IDN Times.

Ada tiga hal yang melandasi Susan sebelum tiba pada kesimpulan bahwa Permen 12/2020 tidak berpihak kepada rakyat. Pertama, lemahnya pengawasan. Dalam Permen tersebut, dijelaskan bahwa pengawasan oleh DKP bersama kepolisian dan kejaksaan dilakukan penangkapan benih hingga pelepasliaran. Artinya, pihak pengawas menghitung dengan detail jumlah dan berat lobster yang ditangkap, jumlah dikembalikan, dan lokasi pelepasliarannya.

Secara harfiah, aturannya terkesan sangat tegas. Namun, Susan pesimis pengawasan seperti itu bisa dilakukan secara optimal.

“Ada berapa sih orang DKP di daerah? Saya baru-baru ini ke Jerowaru, di sana hanya ada dua orang penyuluh (DKP), padahal di sana ada 50 pembudi daya yang megang lebih dari 70 keramba. Bagaimana mekanisme kontrolnya? Izin dikeluarkan oleh KKP bukan DKP, nah orang KKP-nya gimana mau ngecek?” papar dia.

Selain itu, dia juga mengkritisi lemahnya pengawasan pada proses verifikasi perizinan nelayan tangkap. Laporan KIARA dari Pulau Sangiang, ternyata masyarakat di daerah tersebut didatangi oleh perusahaan besar untuk dimingi-imingi menjadi nelayan lobster.

Susan memprediksi kejadian seperti ini akan terulang di banyak tempat. Para pengusaha akan mengambil jalan pintas supaya mendapat kuota ekspor, yaitu dengan mengumpulkan data atau KTP nelayan untuk disetor kepada KKP, seolah-olah mereka adalah nelayaan binaan. Tidak menutup kemungkinan kejadian seperti ini akan menimbulkan konflik horizontal karena nelayan yang sudah lama melaut justru tidak mendapat kuota izin tangkap.

Kedua, Susan turut geram dengan inkonsistensi pemerintah jika merujuk pada Pasal 5 Permen 12/2020. Di sana tertulis bahwa pengekspor harus berhasil melakukan panen lobster secara berkelanjutan, sekurangnya satu kali, untuk mendapat kuota ekspor.

Namun, sebagaimana diketahui, ternyata pada awal Juli lalu, sudah ada tiga perusahaan yang melakukan ekspor. Padahal, untuk masa sekali panen atau pembesaran dari benih hingga ukuran besar, sekurangnya membutuhkan waktu 6 bulan hingga 8 bulan. Artinya, ekspor seharusnya baru bisa dilakukan pada 2021 mendatang.

Jika tolok ukurnya adalah Permen 56/2016, maka tidak ada satu pun perusahaan yang memiliki rekam jejak budi daya. Sebab, di bawah pemerintahan Susi, budi daya lobster dari benih dilarang.

“Dari 31 perusahaan yang sudah dapat izin, sekarang sudah ada 60 mungkin, apa ada dari mereka yang melakukan budi daya? Itu kan masih gaib. Bahkan, KKP mengatakan 25 persennya adalah perusahaan baru. Artinya dia belum pernah melakukan budi daya,” tegas Susan.

Adapun tiga perusahaan yang melakukan ekspor adalah PT Aquatic SSLautan, PT Royal Samudera Nusantara, dan PT Tania Asia. Ketiganya baru mendapatkan Sertifikat Instalasi Karantina Ikan (SIKI) dan sertifikat Cara Karantina Ikan yang Baik (SCKIB) pada 2020.

Menurut Susan, karena lemahnya pengawasan, sangat mungkin para pengusaha mengelabui petugas DKP dan KKP dengan membeli lobster dari nelayan dalam ukuran besar. Seolah-olah mereka berhasil membesarkan lobster.

Terakhir, Susan menyebut Permen 12/2020 tidak lahir dari keluhan nelayan. Dia memaparkan, apa yang diinginkan nelayan sesungguhnya adalah revisi Permen 56/2016 bukan malah membuka keran ekspor benur.

“Di Permen 56/2016 bu Susi maunya di atas 200 gram yang diekspor. Sebenarnya yang mereka inginkan (nelayan dan pembudi daya) diturunkan beratnya, jadi 150 gram. Karena 200 gram itu terlalu berat dan waktunya terlalu lama,” papar dia.

Susan menyambung, jika aturan ini berpihak pada rakyat, seharusnya KKP mendorong pembentukan koperasi atau asosiasi nelayan untuk menggalakkan kegiatan budi daya. Dengan demikian, keuntungan benar-benar dirasakan oleh rakyat kecil.

Selama tidak ada koperasi, sekalipun nelayan dihargai Rp5.000 untuk setiap benihnya, maka relasi antara mereka dengan pengekspor adalah buruh-pengusaha.

“Eksportir bisa saja menjualnya Rp25 ribu hingga Rp35 ribu. Itu ada gap angka yang cukup tinggi dan itu gak sepadan dengan apa yang hilang dari laut kita, termasuk kedaulatan kita. Permennya seolah-olah manis, tapi malah menjadikan nelayan sebagai buruh."  

Halim juga melihat kesesatan logika pada Permen ini. Menurutnya, bagaimana bisa nelayan dan pembudi daya dituntut melakukan budi daya tapi benihnya juga diekspor ke luar negeri.

“Apa iya setelah, misalnya, tiga tahun kita budi daya sambil ekspor terus tahun keempat kita sudah ahli budi daya? Adanya nanti ketika sudah bisa budi daya, benihnya malah langka,” tambahnya.

Baca Juga: Di Tengah Kontroversi, 31 Perusahaan Dapat Izin Ekspor Benih Lobster

5. KKP sebut Permen itu untuk rakyat dan nelayan

Pahit Manis Ekspor Benih Lobster di Tengah Polemik Aturan Menteri EdhyKKP melepasliarkan 95.610 benih lobster (Dok. KKP)

Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan, Andreau Misanta Pribadi, menegaskan bahwa ekspor benur adalah kebijakan yang berpihak pada rakyat dan nelayan kecil. Dia bahkan berani mengatakan bila tidak ada satupun nelayan yang langsung menolak kebijakan ini.

“Bahkan sampai ada nelayan yang bilang, saya gak perlu bansos, saya hanya perlu ini (benur) dibeli, saya sudah akan makmur. Kebijakan ini sangat pro nelayan,” kata Andreau sebagaimana dilansir dari YouTube CNN Indonesia awal Juli lalu.

Terkait perusahaan yang sudah melakukan ekspor, Andreau menjelaskan bahwa istilah “panen” dalam Permen 12/2020 tidak berarti membesarkan lobster dari benih bening hingga ukuran besar.

“Panen itu tidak harus dari baby lobster jadi 150 gram atau 200 gram. Panen atau budi daya itu bisa dari 20 gram, 30 gram, jadi 50 gram silahkan restocking ke bawah, ikut melestarikan alam. Bukan berarti dari baby lobster dimasukkan ke keramba barulah menunggu delapan bulan kemudian. Itu berarti tidak clear pemahaman budi daya dan restocking-nya,” ujar dia.

Andreau juga mengklarifikasi isu keberpihakan KKP terhadap perusahaan-perusahaan besar yang tidak memiliki rekam jejak budi daya lobster. Mereka tetap bisa mendapatkan kuota ekspor selama seluruh persyaratan dipenuhi.

“Memang ada (perusahaan) yang baru, tapi mereka sudah punya nelayan binaan di bawah, ada keramba, memiliki infrastruktur dan teknologi budi daya. Ada juga mereka bergerak di bidang perikanan lainnya. Itulah yang menjadi standar KKP untuk memberikan mereka izin,” terangnya.

Soal PNBP, Andreau memastikan bahwa jumlahnya tidak sekecil perhitungan di PP 75/2015. Menurut dia, hasil pertemuan KKP dengan Sekretariat Kabinet dan Kementerian Keuangan yang kemudian diharmonisasikan dengan Kementerian Hukum dan HAM, menghasilkan besaran PNBP untuk setiap benih lobsternya adalah Rp2.000 per ekor.

“Itu bisa dicek, jumlahnya (yang diekspor) 73.306 (benih lobster), di mana dua perusahaan (pengekspor) membayar PNBP ke negara Rp146 juta. Tidak ada PNBP hanya Rp250 atau berapa itu. Negara dapat PNBP yang sangat besar,” tuturnya.

Terakhir, Andreau hendak menyampaikan bila kebijakan ini lahir dari keluhan nelayan. Kebijakan ini juga merupakan terobosan KKP untuk menjaga daya beli nelayan di tengah pandemik COVID-19.

“Permen ini lahir dari suara nelayan. Saya berikan ilustrasi, pengiriman (ekspor) perdana harga baby lobster Rp23 ribu per ekor. Itu dibeli dari nelayan sampai Rp17 ribu per ekor, paling murah Rp10 ribu, selisihnya hanya Rp6 ribu, pemangku kepentingan hanya mendapat untung Rp2.000 sampai Rp3.000,” kata dia.

Andreau menambahkan, “Pak Jokowi kemarin bilang harus ada extraordinary, kami memang harus ada stimulus ekonomi ke bawah, kita harus menjalankan perputaran ekonomi ke bawah (melalui Permen ini).”

Terlepas dari kontroversi kebijakan ekspor benur, Nanda berharap pemerintah hadir untuk masyarakat. Sekalipun nilai tambah lobster akan berlipat ketika dijual besar atau disajikan sebagai produk olahan, tanpa intervensi pemerintah, nelayan dan pembudi daya tidak akan bisa mendapatkan nilai tambah tersebut. Mereka akan memilih menjualnya dalam bentuk benih.

“Menurut aku, mending ada bantuan untuk budi daya daripada langsung ekspor. Jadi nanti orang bisa jualan lobster gede semua. Kalau bicara untung, ya lebih untung jual yang gede. Tapi pemerintah gak ada bantuan alat tangkap, pakan. Selama delapan bulan itu kita gak ada pemasukan. Makanya nelayan ya mending jual benih saja, cepat, gak pusing lagi mikirin sisanya,” tutup Nanda.  

Budi daya benur seperti yang menjadi syarat ekspor ini penting untuk menjaga kesejahteraan nelayan seraya menjaga kekayaan laut Indonesia.

Memperingati HUT ke-75 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, IDN Times meluncurkan kampanye #MenjagaIndonesia. Kampanye ini didasarkan atas pengalamanan unik dan bersejarah bahwa sebagai bangsa, kita merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI dalam situasi pandemik COVID-19, di mana kita bersama-sama harus membentengi diri dari serangan virus berbahaya. Di saat yang sama, banyak hal yang perlu kita jaga sebagai warga bangsa, agar tujuan proklamasi kemerdekaan RI, bisa dicapai.

Baca Juga: Panen Kritikan Ekspor Benih Lobster, Edhy: Saya Tidak Antikritik

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Anata Siregar
  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya