[WANSUS] Menilik Jalan AFSI Memasyarakatkan Fintech Syariah

Fintech syariah masih belum banyak dikenal masyarakat

Jakarta, IDN Times - Seiring dengan semakin berkembangnya ekonomi digital di Indonesia membuat kehadiran financial technology atau fintech juga semakin beragam. Salah satunya adalah kehadiran fintech syariah yang saat ini bisa dijumpai di tengah-tengah masyarakat.

Kendati begitu, Chief Executive Officer Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI), Ronald Yusuf Wijaya mengatakan bahwa fintech syariah legal masih kalah pamor dengan fintech konvensional legal.

"Dari 102 fintech yang sudah legal, hanya ada tujuh yang syariah. Itulah kenapa mungkin masyarakat belum terlalu banyak yang paham atau tahu keberadaan fintech syariah karena memang secara jumlah kami masih cukup kecil," ujar Ronald, kepada IDN Times dalam program Obrolan Berkah Seputar Ekonomi Syariah (OBSESi).

Lantas, bagaimana perkembangan AFSI dan juga fintech syariah yang ada di Indonesia sampai saat ini? Berikut wawancara lengkap IDN Times dengan Ronald Yusuf Wijaya.

Baca Juga: Belanja Iklan Aplikasi Fintech RI Tertinggi di Asia Tenggara! 

Apa itu AFSI dan fintech syariah?

[WANSUS] Menilik Jalan AFSI Memasyarakatkan Fintech SyariahAsosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI) (Dok, AFSI)

Untuk pertama saya akan jelaskan soal Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI) ya. Kami adalah sebuah perkumpulan yang berisikan para penyelenggara fintech syariah dari seluruh Indonesia baik itu yang berdasarkan peer to peer, equity crowdfunding, payment dan lain sebagainya karena kalau bicara fintech ini kan luas banget sehingga kami perlu sebuah wadah bersama untuk mendorong industri sambil mengedukasi masyarakat.

Nah, kalau tadi pertanyaannya apa sih fintech syariah itu? Pada dasarnya, prinsipnya adalah bagaimana pemanfaatan teknologi dalam hal sektor keuangan syariah agar dapat dimanfaatkan masyarakat dengan lebih optimal. Kalau mungkin sebelum adanya teknologi kita kan semuanya melakukan transaksi secara konvensional seperti cash dan sebagainya.

Namun, kita melihat perkembangan saat ini, dengan adanya teknologi semua bisa jadi lebih mudah, lebih cepat, lebih efisien, dan lebih merata sehingga kita bentuklah sebuah ekosistem yang namanya fintech syariah association.

Bagaimana perkembangan fintech syariah di tengah pandemik sejak 2020 hingga sekarang?

[WANSUS] Menilik Jalan AFSI Memasyarakatkan Fintech SyariahIDN Times/Arief Rahmat

Nah ini ada yang unik, pada awal-awal pandemik tentunya semua sangat ter-impact ya, semua kelabakan lah ya sampai di mana banyak bisnis yang tidak survive atau mungkin mati suri. Namun, pada saat kita melihat di pertengahan COVID-19 di akhir 2020 ada peningkatan cukup drastis.

Bagi teman-teman fintech syariah yang berhasil mempertahankan bisnisnya itu malah terjadi lonjakan yang cukup baik bahkan kalau kita lihat data dari asosiasi, ternyata jumlah volume transaksinya malah meningkat dibandingkan sebelum COVID-19 karena balik lagi kita melihat tren bahwasanya masyarakat hari ini lebih terliterasi secara digital, semua jadi online, bahkan orangtua orangtua kita yang tadinya gaptek sekarang bisa Zoom-Zoom-an dan tentunya ini menjadi alasan mengapa ekosistem ini berkembang sangat pesat.

Nah ini sebuah momentum yang sangat baik saya rasa karena Indonesia juga punya intensi bahwasanya syariah ini sudah menjadi national agenda bahwa kita lihat wapres kita seorang ulama dan sebagainya, tentunya ini adalah sebuah momentum yang tidak boleh kita lewatkan, justru harus dimanfaatkan sebaik-baiknya agar Indonesia benar-benar bisa jadi pemimpin dalam ekonomi syariah dunia.

Indonesia sudah punya penduduk Muslim terbesar di dunia, tapi dalam 30 tahun terakhir terbukti rasio keuangan ekonomi syariah kita masih sangat rendah bahkan kawan-kawan kita di luar negeri masih bingung kok bisa Indonesia dengan penduduk muslim terbesar di dunia, kita bukan produsen halal terbesar di dunia dan bahkan kita sempat di luar 10 besar.

Lalu, kita juga melihat ekonomi syariah selama 30 tahun tidak pernah tembus di atas  7-8 persen, ada apa gitu kan ya. Mudah-mudahan dengan keadaan seperti ini ada dorongan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi syariah Indonesia.

Baca Juga: 3 Jenis Akad yang Paling Banyak Dipakai Fintech Syariah di Indonesia

Apa perbedaan antara fintech syariah dan nonsyariah (konvensional)?

[WANSUS] Menilik Jalan AFSI Memasyarakatkan Fintech SyariahIDN Times/Arief Rahmat

Kalau kita lihat tren yang terjadi saat ini banyak sekali pinjol, lebih banyak lagi yang ilegal. Ini sudah membuktikan sebuah keadaan bahwasanya pinjol ini yang sudah ditutup oleh Satgas Waspada Investasi (SWI) per bulan Oktober 2021 jumlahnya lima ribuan. Bayangin kalau sekarang kita bicara fintech yang legal jumlahnya hanya 102. Perbandingannya 1:50, artinya gak heran kalau masyarakat hari ini lebih tahu fintech yang ilegalnya, makaya bilangnya pinjol.

Kita lihat lagi situasinya, dari 102 fintech yang sudah legal hanya ada tujuh yang syariah. Itulah kenapa mungkin masyarakat belum terlalu banyak yang paham atau tahu keberadaan fintech syariah karena memang secara jumlah kami masih cukup kecil.

Balik lagi ke pertanyaan apa bedanya yang konvensional dan syariah? Dalam hal ini, kalau bicara prinsip, kan kalau syariah prinsipnya keadilan. Jadi dalam hal ini ketika melakukan pembiayaan tentunya akan melihat aspek-aspek keadilan tersebut. Apakah itu zalim terhadap dalam hal ini mungkin penerima pembiayaan ya.

Nah ini ada dua hal yang mau saya sampaikan dulu. Pertama terminologinya. Kalau di konvensional namanya peminjaman. Jadi kalau dipinjamkan harus dikembalikan dengan keuntungan, dalam hal ini bunga, Nah kalau di syariah namanya pembiayaan. Dari definsi ini saja keduanya sudah berbeda, satu dipinjamkan, yang satu dibiayain. Kalau dipinjamin dengan konsep konvensional berbasis bunga, kalau pembiayaan berbasis pembagian hasil. Nah ini artinya konsep ini sudah berbeda.

Nah lebih dari itu, ketika bicara konsep syariah maka ada potensi pembagian keuntungan dan juga ada pembagian risiko. Namun, dalam hal ini kita sebagai muslim berhak menerima profit karena kita sama-sama menanggung risiko, tapi tentunya risikonya itu harus terukur sehingga bicara konsep tadi harus adil maka potensi risikonya dibagi, tapi harus terukur.

Jadi kita juga gak semena-mena project yang kita masukkan ke dalam platform fintech syariah sembarangan makanya kita perlu mengedukasi masyarakat agar masyarakat bisa memahami perbedaan fintech konvensional dan syariah. Satu dipinjamin, satu dibiayain.

Bagaimana konsep akad dalam fintech syariah dan ada apa saja?

[WANSUS] Menilik Jalan AFSI Memasyarakatkan Fintech SyariahIlustrasi ekonomi syariah. (IDN Times/Helmi Shemi)

Kalau bicara akad syariah tentunya banyak banget. Namun, kalau dalam kesempatan kali ini saya bisa spesifik dengan akad-akad yang dipakai teman-teman penyelenggara yang sudah legal. Yang paling umum hari ini kita lihat dari penyelenggara fintech syariah yang legal adalah akad musyarakah, akad murabahah, dan beberapa ada yang mudarabah.

Saya bukan ustaz ya, tapi dari praktik yang saya jalankan ini ada tiga jenis yang memang punya basis cukup berbeda. Kalau musyarakah itu bahasa sederhananya adalah profit and loss sharing, berbagi keuntungan dan berbagi potensi kerugian. Kalau orang bilang biasanya ini partnership, bahasa syariahnya musyarakah.

Nah yang kedua paling banyak akadnya adalah murabahah. Bahasa kerennya jual beli atau trading. Contohnya adalah misalnya ada fintech yang memberikan pembiayaan untuk UMKM yang sedang butuh permodalan untuk membeli kelengkapan kafe misalkan gitu ya atau pembelian barang inventori contohnya maka fintech syariah dalam hal ini membelikan terlebih dahulu, mewakili investor lalu nanti untuk dijual kembali oleh mitra yang saat ini telah menjadi partner kita. 

Berikutnya yang ketiga biasanya adalah akad mudarabah. Mudarabah ini lebih unik ya karena memang terus terang risikonya cenderung lebih besar karena dalam hal ini kerja sama antara kedua pihak yang sama-sama berperan. Yang satu menyediakan keahlian atau expertise, sedangkan yang satu menyediakan uang.

Ini berbeda dengan konsep yang pertama tadi atau musyarakah. Kalau musyarakah, dua belah pihak harus berpartisipasi modal, Namun, kalau mudarabah satu modalnya full, satu expertise-nya atau tenaga kerjanya. Jadi di sini ada yang berperan murni sebagai pelaksana tanpa berpartispasi modal.

Nah yang penting untuk digarisbawahi prinsipnya adalah mudarabah itu kalau project-nya rugi, ya berarti rugi, tidak ada pengembalian sama sekali. Nah kalau dibandingkan dengan yang pertama tadi musyarakah, ini kan satu pemilik modal, satu pemilik proyek dengan sebagian partisipasi modal.

Prinsipnya satu, misal kita sebagai investor ketika membiayai project tersebut misalnya kita berpartisipasi 50 persen dari kebutuhan modal maka dalam hal ini si investor tidak boleh menerima bagi hasil lebih dari 50 persen dari keuntungannya karena prinsipnya tadi saya hanya partisipasi 50 persen. Tapi, kalau misalkan pemilik proyek ini bilang saya mau bagi hasil 30 persen aja ya walaupun kita kontribusi 50 persen itu boleh, selama kita terima dan kedua saya tidak boleh meminta bagi hasil lebih besar dari kontribusi saya. Itu baru bisa dibilang adil.

Baca Juga: Tips bagi Pengguna Fintech Lending agar Terhindar dari Kerugian

Apa saja untung rugi buat masyarakat dalam menggunakan fintech syariah?

[WANSUS] Menilik Jalan AFSI Memasyarakatkan Fintech SyariahPexels.com/Sora Shimazaki

Kalau kerugian, saya terus terang karena penyelenggara tentunya bingung ya ruginya di mana. Namun, kalau kita bicara benefitnya atau keuntungannya memanfaatkan teknologi digital syariah otomatis ini adalah, sebuah akses baru buat masyarakat mendapatkan akses pembiayaan yang sebelumnya mungkin jauh atau mungkin tidak tergapai sama sekali.

Artinya apa? Misalkan masyarakat hari ini punya usaha. Kalau dulu kan untuk mendapatkan permodalan harus ke bank, harus ke koperasi. Nah, saya bukan bermaksud mendiskreditkan teman-teman di sana karena itu kawan-kawan kami juga.

Namun, sebagai penyelenggara seperti perbankan dan lain sebagainya punya ketentuan yang sangat rigid sehingga masyarakat yang mungkin misalnya belum punya collateral (jaminan), mereka tidak bisa ke bank karena bank tidak menerima. Nah, hari ini ada sebuah teknologi, aplikasi yang bisa masyarakat eksplor mana nih penyelenggara jasa keuangan yang bisa memberikan pendanaan ke mereka contohnya ya fintech syariah seperti kita.

Nah, tidak kalah penting masyarakat bisa mencari secara online dari penyelenggara fintech syariah mana sih yang cocok dengan bisnis saya karena kan sering sekali misalnya fintech-nya di sektor properti tapi aplikasinya dari UMKM kan gak nyambung. Perlu dipelajari siapa sih penyelenggaranya, karena seperti tadi saya bilang penyelenggara fintech syariah ini ada tujuh dan dari tujuh ini model bisnisnya seperti apa sih. Misalkan platform saya Ethis, pembiayaannya dari 100 juta sampai 2 miliar, oh saya masuk nih, saya mau deh pengajuan ke sana.

Misalkan ada platform lain, Qazwa ternyata pembiayaannya dari 5 juta sampai 20 juta untuk usaha nah saya pakai itu. Jadi dalam hal ini masyarakat perlu proaktif mencari penyelenggara yang memang cocok, sambil kami sebagai penyelenggara juga mempromosikan diri seluas-luasnya melalui event, melalui undangan interview, dan juga melalui social media.

Kemudian, selain cepat, masyarakat juga bisa mendapatkan permodalan kapan saja karena ini kan 24 jam. Kebutuhan di luar office hour, penyelenggara lain mohon maaf sudah pasti gak bisa. Namun, karena kami online, 24 jam, tapi ya kembali lagi tidak semua bisa 20 menit cair. Biasanya untuk pembiayaan bisnis tentunya prosesnya agak lebih panjang. Kalau yang memang cash loan, sifatnya pinjaman cepat, pinjol yang legal bisa 24 jam juga, kalau jumlahnya memungkinkan ditransfer ya bakal ditransfer.

Nah itulah perbedaannya, dulu ada office hour-nya, sekarang ada teknologi sama dengan belanja online yang bisa kapan saja.

Bagaimana pandangan AFSI terkait istilah pinjol yang erat kaitannya dengan fintech ilegal?

[WANSUS] Menilik Jalan AFSI Memasyarakatkan Fintech Syariahilustrasi pinjaman online (IDN Times/Aditya Pratama)

Ini penting banget ya, jadi pinjol itu sangat erat kaitannya dengan yang ilegal. Sebetulnya, kalau saya pribadi, kami dipanggil pinjol juga tidak terima. Kami bilangnya fintech, financial technology. Harusnya, saya merasa teman-teman yang legal tolong jangan memposisikan diri sebagai pinjol, tapi fintech sehingga ketika masyarakat dengar fintech menganggapnya sebagai yang legal dan kalau pinjol adalah yang ilegal.

Sayangnya, hari ini teman-teman penyelenggara cash loan bilang kalau diri mereka adalah pinjol. Buat kami itu berbeda karena kami harus semuanya lengkap dari izin hingga ISO, sedangkan yang pinjol ini bebas saja, tinggal buka aplikasi, kirim link dari SMS, dan orang ngeklik terus gak berapa lama langsung cair uangnya. Jadi, ini praktiknya berbeda banget.

Nah saya perlu gambarin ke teman-teman kalau yang legal itu aksesnya yang boleh diberikan hanya CaMiLan. Ketika teman-teman mendaftar di sebuah aplikasi, biasanya yang legal hanya boleh mengakses tiga hal, namanya CaMiLan. Ca itu camera, Mi itu microphone, dan Lan itu location. Kenapa tiga hal ini? Pertama kamera, kamera adalah untuk selfie dan untuk facial recognition.

Kan kita diminta selfie dengan KTP. Ketika hal tersebut terjadi, mesin akan melihat wajah kita yang ada dengan di KTP sama atau tidak. Kecerdasan buatan bisa memastikan 99 persen wajah orang dengan yang ada di KTP walaupun misalnya tampilan wajah orang tersebut sudah berbeda dengan yang ada di KTP misal saya yang sekarang rambutnya botak dan memiliki jenggot.

Lalu berikutnya dari wajah yang ada di KTP nyambung ke nomor KTP-nya, ditembak ke Dukcapil, apakah foto yang ada di KTP dengan nomornya adalah orang yang sama karena bisa saja orang memalsukan KTP. Nomornya ada, tetapi foto diedit dan diganti atau pemalsuan. Jadi, ini bisa memvalidasi apakah KTP tersebut asli atau tidak sesuai catatan di Dukcapil. Nah itu yang tadi pertama, kamera untuk melakukan KYC atau 'know your customer atau untuk verifikasi.

Kemudian yang kedua adalah microphone, ini tujuannya adalah untuk menarik yang namanya biometrik. Biometrik ini ada banyak ya, ada sidik jari, retina mata, dan suara kita makanya teman-teman sering mendengar apakah Anda setuju dibiayai, bilang setuju, setuju. Nah itu adalah fungsi biometrik, menyamakan data kita sebagai yang menyampaikan suara dengan database mereka. Nanti ketika terjadi sesuatu itu matching dengan data yang ada.

Yang terakhir adalah location. Location ini adalah untuk trace kehadiran kita. Misalkan kita bilang KTP kita ada di Jakarta Barat, tapi kok tiap malam berdasarkan HP-nya kok ada di Jakarta Timur. Ada yang gak matching nih sehingga penyelenggara fintech bisa melakukan validasi ulang. Itulah yang dimaksud dengan CaMiLan, sedangkan yang ilegal di luar CaMiLan itu akses sampai ke semuanya, contact kita, messages kita bahkan storage kita. Buat apa? Buat melakukan credit scoring namanya. Nah seperti apa praktik credit scoring ini?

Jadi misalkan di kontak kita, hari ini Ronald jumlah missed call-nya berapa banyak, wah sampai 100. Pertanyaannya dibalas atau gak? Kalau dibalas mungkin dia orang sibuk ya seharian lagi meeting segala macam jadi tidak sempat. Namun, ketika dilihat sudah sampai 50 missed call 100 missed call gak dibalas jangan-jangan dicariin orang. Jadi itu nilainya berkurang.

Lalu kedua dengan melihat di Message. Di message mereka akan lihat berapa kali muncul kata-kata “Bayar Tunggakan Anda.” Sekali muncul nilainya tinggal 9, dua kali muncul nilainya tinggal 8 dan seterusnya sehingga terciptalah yang namanya metadata, algoritma yang menyatakan orang ini walaupun belum pernah ketemu, dia aman untuk dibiayai atau orang ini sangat berisiko dipinjamkan.

Nah, problemnya bukan di situ. Problemnya adalah ketika terjadi peminjaman lalu gagal bayar. Apa yang mereka lakukan? Mereka akan balik lagi ke storage kita, ke gallery kita, diambil foto kita, pasangan kita atau orang terdekat kita. Itu bahkan tak jarang diedit dan setelah diedit dengan gambar-gambar tidak baik.

Kemudian, mengancam yang meminjam kalau sampai jam deadline tidak dibayarkan maka foto yang sudah diedit tidak baik itu akan disebar ke kontak yang ada di ponsel peminjam. Itu bisa membuat panik dan tekanan mental luar biasa ke peminjam uang penyelenggara fintech ilegal.

Makanya banyak masyarakat yang bunuh diri dan ternyata setelah diinvestigasi orang-orang yang bunuh diri tersebut bukan hanya dikejar satu pinjol, melainkan 15 sampai 20 pinjol. 

Kenapa ini bisa terjadi? Misal dia dapat pinjaman 3 juta, tapi yang ditransfer cuma 2,5 juta karena katanya dipotong biaya admin. Namun, bunganya berasal dari pinjaman yang 3 juta, bukan berdsasarkan 2,5 juta dengan 1 persen sampai 6 persen per hari. Jadi ini jebakan banget, jebakan betmen bahasa kerennya.

Nah ketika semakin berbunga, misalnya tagihan sampai 6 juta, padahal kita udah bayar 2,5 juta nih. Masih ada 3,5 juta yang belum lunas maka ini akan berbunga terus, panik dong? Padahal kan sudah lunas. Nah dia kemudian meminjam lagi ke pinjol lainnya untuk menutup gagal bayar itu. Yang awalnya dikejar satu debt collector, jadi dikejar 16 debt collector, stres. Itulah kenapa banyak sekali korbannya.

Bagaimana prospek fintech syariah ke depannya? Dan apa saja tantangannya?

[WANSUS] Menilik Jalan AFSI Memasyarakatkan Fintech Syariahilustrasi fintech (freepik.com/rawpixel.com)

Saya rasa yang paling pertama adalah kita ini literasinya harus terus ditingkatkan karena kenyataannya masyarakat Indonesia memang walaupun sebagian besar adalah muslim, tetapi muslim yang memakai produk syariah masih terbatas. Bahkan sayangnya juga, kita semua, sebagian besar dari kita belum tahu bedanya karena memang informasinya tidak cukup bahkan juga mungkin banyak yang menggunakan istilah syariah dengan tidak baik. Malah dimanfaatkan tanpa tanggung jawab dan menggunakannya untuk menipu dan lain sebagainya sehingga membuat nama syariah tercoreng.

Kalau teman-teman saya bilang begini, bicara soal syariah itu kayak orang pakai baju putih yang ketika ada noda sedikit maka kelihatan banget. Itu syariah, risikonya. Namun, kalau kita bicara tantangannya seperti apa sih? Pertama tadi ya literasi masyarakat belum terlalu bagus, belum bisa membedakan antara syariah dan konvensional. Bukan salah masyarakatnya, tetapi malah dari penyelenggaranya kadang-kadang.

Contoh, penyelenggara sendiri masih menggunakan istilah pinjaman syariah yang harusnya justru pembiayaan syariah. Saya sendiri masih sering lihat teman-teman di koperasi syariah dan lain sebagainya masih menggunakan istilah pinjaman syariah. Terus terang orang jadi bingung dan menganggap itu cuma jadi istilah doang, satu pakai bismillahirrahmanirrahim, satu judulnya kontrak. Satu pakai bunga, sedangkan satu lagi pakai nisbah. Itu aja bedanya, ya nggak salah karena dari banyak penyelenggara secara fundamental banyak yang belum bisa menyampaikan ke masyarakat dengan cukup baik. Itu tantangannya.

Untuk peluang dan trennya seperti apa, data asosiasi menunjukkan dari 2020 ke 2021 ada peningkatan kurang lebih 50 persen secara volume transaksi. 2021 ke 2022 awal terjadi lonjakan sekitar 120 persen secara volume transaksi. Artinya apa? Selama pandemik ternyata tetap bertumbuh. Memang secara jumlah tidak banyak, jumlahnya justru berkurang nih.

Penyelenggara fintech syariah awalnya itu ada sekitar 10 yang peer to peer atau pembiayaan. Namun, ternyata atas alasan satu dan lainnya jadi tinggal tujuh hari ini. Nah dari tujuh yang tersisa ini ternyata volume-nya meningkat cukup drastis karena masyarakat menjadi lebih terliterasi, lebih tahu produk fintech syariah.

Saya masih optimistis banget buat Indonesia menjadi pusat ekonomi dan keuangan syariah dunia itu masih terbuka lebar. Kalau saya pribadi, saya juga punya perusahaan yang hadir di luar negeri, kita ada di Malaysia, di Oman dan melihat bahwa Indonesia sudah advance loh, sebetulnya sudah sangat maju. Jumlah penyelenggaranya lebih banyak, market-nya besar.

Istilahnya begini, kita tidak usah pusing memikirkan global karena kita sudah punya market yang sangat gede. Dulu awal ketika saya bawa perusahaan saya ke luar negeri, saya kadang suka minder karena pengetahuan yang lain kok luas ya, mereka tahu tren di Eropa, Timur Tengah, di Asia. Kemudian makin ke sini saya paham bahwa itu terjadi karena market mereka kecil makanya mereka melihatnya ke luar.

Indonesia saking gedenya nggak sempat memikirkan ke luar karena yang di dalam negeri aja masih banyak nih yang perlu dikerjain. Bahkan orang luar melihatnya ke Indonesia. Jadi, saya gak pernah minder lagi setelah tahu dan merasa wajar mengapa mereka lebih tahu tren di antar negara karena mereka mencari peluang lain di negeri orang akibat market dalam negeri mereka terlalu kecil.

Hal itu bahkan membuat yang legal ingin bikin yang syariah karena potensi market besar tadi. Namun, hari ini regulator kita sedang sangat strict dengan tidak memperbolehkan membuat fintech syariah kalau bukan unit usaha khusus, Jadi mereka gak boleh bikin window. Kan kalau bank ada bank umum dan bank syariah, unit khusus syariah nah fintech tidak boleh. Harus berdiri sendiri.

Bagaimana peran AFSI dalam mendorong minat masyarakat terhadap fintech syariah?

[WANSUS] Menilik Jalan AFSI Memasyarakatkan Fintech SyariahIlustrasi belajar melalui video (pexels.com/Julia M Cameron)

Ada data menarik lagi bahwasanya secara jumlah anggota memang fintech syariah tidak sebanyak yang konvensional, cukup jauh perbandingannya. Kalau teman-teman yang konvensional di asosiasi sebelah itu punya anggota sekitar 268 kurang lebih ya, sedangkan di syariah, anggota kami hanya 40. Jadi secara rasio sudah kalah enam kali lipat.

Namun, yang menarik, dari data saat kami membuat report dan membandingkan ternyata antusiasme masyarakat untuk mengerti tentang fintech syariah lebih besar daripada yang konvensional. Jadi begini, teman-teman yang konvensional bikin event banyak ya, tetapi yang nonton hanya sedikit, sebetulnya banyak, tetapi ketika yang syariah bikin event dengan anggota yang lebih sedikit, jumlah viewers-nya, jumlah followers-nya lebih besar.

Artinya apa? Ini ada sebuah potensi atau peluang yang baik selama kita ini ramai-ramai, dari asosiasi sendiri kami sepakat ketika kami diundang untuk seminar baik itu ke kampus, ke media, ke masyarakat, event-event kecil, kami tidak boleh menolak karena itu jadi bagian dari mengedukasi ke masyarakat untuk meningkatkan literasi.

Walaupun nanti audiensnya adalah masyarakat umum, masyarakat pengusaha, mahasiswa atau mungkin adik-adik, kita jabanin gitu ya supaya nanti masyarakat yang mengerti tentang konsep dasar fintech syariah ini bisa sharing ke keluarga, ke teman-teman. Makanya kami selalu bilang, sebagai penyelenggara, ketika memberikan edukasi pakai bahasa yang membumi, jangan pakai terminologi yang hi-tech. Makanya harus dikasih contoh-contoh yang membumi agar lebih relate dengan kehidupan sehari-hari.

Bagaimana AFSI menyikapi keberadaan fintech syariah ilegal?

[WANSUS] Menilik Jalan AFSI Memasyarakatkan Fintech Syariahilustrasi pinjaman online ilegal (IDN Times/Mardya Shakti)

Jadi ada dua pendekatan. Pertama yang sudah cukup efektif itu adalah dulu semua orang bisa dengan leluasa membuat aplikasi, lalu meletakkannya di Play Store atau App Store dan lain sebagainya. Hari ini, asosiasi bekerja sama dengan otoritas, dengan kepolisian, Satgas Waspada Investasi, dan sebagainya untuk membuat sebuah mekanisme sekarang mereka tidak bisa sembarangan.

Contoh, di Kemenkominfo itu kalau ada aplikasi berbau-bau dana, uang, dan lain sebagainya itu diblok atau harus ada tambahan persetujuan dulu. Jadi ini mengurangi risiko orang-orang yang sengaja bikin aplikasi ilegal tadi karena kan semua basisnya aplikasi nih jadi tindakan kita adalah masuk ke ujungnya nih, platform atau regulator yang menaungi pembuatan aplikasi tersebut. Nah itu langkah pertama.

Kedua, dalam hal ini asosiasi sudah menjadi yang namanya SRO-nya OJK. SRO ini adalah self regulatory organization atau bahasa sederhananya kami jadi perpanjangan tangan OJK. Tugasnya ketika ada penyelenggara yang mau mendaftarkan diri ke otoritas, maka harus jadi anggota kami dulu. Ketika mau jadi anggota AFSI, kami akan lihat benar nggak nih aplikasinya sudah syariah, benar nggak nih aplikasinya dikelola oleh orang-orang yang kompetensinya baik, kantornya ada atau gak, track record direksinya seperti apa, ada catatan kriminal atau tidak.

Jadi dalam hal ini, ini adalah langkah awal untuk mencegah penyelenggara-penyelenggara yang punya niat buruk agar bisa di-screening dulu oleh asosiasi sehingga masyarakat bisa lebih tenang bahwasanya yang sudah on, yang sudah dapat license, sudah ke OJK berarti sudah melewati proses-proses yang tidak mudah.

Kami sudah melakukan screening terhadap 40 penyelenggara karena anggota AFSI sekarang ada 40. Namun, ketika nanti ada penyelenggara yang melakukan pelanggaran baik ringan, sedang, maupun berat ada konsekuensinya. Ketika kami melihat pelanggarannya sudah berat maka akan kami kembalikan ke keanggotaan. Dengan kami kembalikan ke keanggotaan maka gugur pula izin di otoritas.

Jadi kami cukup punya power ketika penyelenggara terbukti dengan jelas, sudah ada audiensi dengan masyarakat yang terzalimi bahwa uang mereka digelapkan, jadi akan kami tindak dan kami laporkan kepada otoritas bahwasanya anggota kami ini sudah dikembalikan keanggotaan karena melanggar maka gugur pula keanggotaannya di otoritas. Koordinasi dengan regulator karena otoritas kita kan juga lagi kewalahan menghadapi berbagai isu seperti pinjol, binary option, robot trading, dan lain sebagainya.

Apakah tahun ini akan ada pertambahan jumlah fintech syariah legal?

[WANSUS] Menilik Jalan AFSI Memasyarakatkan Fintech SyariahIlustrasi Fintech (IDN Times/Arief Rahmat)

Kami juga punya tujuan menumbuhkan industri. Menumbuhkan industri ini kan metodenya banyak banget, satu eksposur kepada masyarakat, kita edukasi promosi dan sebagainya. Kedua, menumbuhkan jumlah penyelenggaranya.

Dari 40 anggota kami memang tidak semua penyelenggara fintech. Dari 40, yang benar-benar penyelenggara yang sudah legal itu cuma 17. Dalam hal ini yang sedang dalam proses itu, lima atau enam, yang kita harapkan mereka segera mendapatkan tanda persetujuan dari OJK sehingga penyelenggaranya bertambah.

Sambil kami men-screening teman-teman penyelenggara yang baru masuk ke industri. Kan ada yang sudah lama nih, ada juga yang mungkin baru tahun ini nih bikin fintech syariah, baik itu payment, inovasi keuangan digital, atau peer to peer, dan equity crowdfunding. Oleh karena itu, kami berharap tahun ini mudah-mudahan bisa 50 persen dari tahun lalu atau ada pertambahan 20 lah targetnya.

Cukup banyak, tapi secara ekosistem, jumlah fintech yang sudah berizin itu sekitar 280, yang legal baik itu payment, inovasi keuangan digital dan lain sebagainya. Nah yang syariah legal itu baru 17, baru ada 6-7 persen hampir mirip rasio keuangan syariah kita, entah kenapa.

Apa saja target AFSI tahun ini terkait pengembangan fintech syariah di Indonesia?

[WANSUS] Menilik Jalan AFSI Memasyarakatkan Fintech SyariahIlustrasi Investasi Syariah vs Konvensional. (IDN Times/Aditya Pratama)

Kami menganggap teman-teman yang milennial itu akses yang sangat baik untuk mengedukasi masyarakat karena millennial ini biasanya sangat adaptif dengan teknologi yang ada saat ini.

Jadi millennial ini kami harap bisa mengedukasi masyarakat karena mereka cepat banget nalarnya, dijelasin sedikit langsung mengerti. Nah itu yang kami harap membuat mereka bisa mengedukasi ke orangtua orangtua mereka yang mungkin sedikit gaptek walaupun sudah pakai smartphone. Kita jelasin ke kampus-kampus, bikin acara kekinian tentang fintech. Mereka bisa ajarkan teman-temannya untuk lebih hati-hati dengan fintech ilegal.

Sejalan dengan hal tersebut kami juga ke kampus-kampus, ke event-event dengan tujuan menemukan pihak-pihak atau masyarakat yang tertarik menjadi penyelenggara fintech syariah juga. Harapannya dengan mereka mengetahui ada wadahnya yang bernama AFSI mereka bisa bergabung untuk bisa nurture. Kita bisa bedah model bisnisnya, akad-akadnya supaya ketika nanti pengajuan ke otoritas sudah setengah matang dan otomatis bakal lebih cepat prosesnya untuk disetujui.

Dengan demikian, akan bertambah jumlah penyelenggara. Dengan bertambahnya jumlah penyelenggara, otomatis diharapkan tambah besar jumlah transaksinya sehingga secara industri bertumbuh dengan baik termasuk juga akses pembiayaan untuk masyarakat yang jauh dari perkotaan.

Hari ini kan banyak masyarakat yang gak bankable dan gak punya akses ke permodalan, tapi mereka punya akses ke smartphone-nya. Harapannya mereka jadi smart juga ketika mereka punya usaha, semua keuangannya itu tercatat dengan baik melalui smartphone-nya dan ketika mereka mengajukan pembiayaan maka fintech bisa memberikan persetujuan dengan lebih cepat dan akurat.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya