BI: Pasar Proyeksikan The Fed Tidak Akan Agresif Lagi 

Pasar mencermati isu stabilitas sistem keuangan global

Jakarta, IDN Times - Pergerakan rupiah dalam beberapa hari terakhir menunjukkan penguatan karena berada di bawah Rp15 ribu. Bahkan, nilai tukar rupiah Kamis (6/4/2023), ditutup di level Rp14.912 per dolar AS atau menguat 20 poin atau 0,13 persen dari perdagangan sebelumnya.

Penguatan ini terjadi di tengah langkah OPEC yang memangkas produksi minyak sekitar 1,16 juta barel per hari mulai Mei 2023. Jadi, total produksi minyak yang dipangkas oleh OPEC+ menjadi 3,66 juta barel per hari. Jumlah tersebut setara 3,7 persen permintaan minyak global.

Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Edi Susanto mengatakan bahwa ekspektasi pelaku pasar masih mencermati kondisi masalah isu stabilitas keuangan global, pascakebangkrutan tiga bank di Amerika Serikat.

Adapun tiga bank itu yakni Sillicon Valley Bank, Signature Bank dan Silvergate Bank.

"Ekspektasi pelaku pasar masih mencermati kondiai masalah isu stabilitas siatem keuangan paska ada tiga bank bermasalah di AS, dan juga beberapa update indikator ekonomi AS yang menunjukkan perlambatan indikator," tuturnya kepada IDN Times, Kamis. 

Baca Juga: Investor Incar SBN Indonesia, Kurs Rupiah Menguat Sore Ini

1. Pasar perkirakan The Fed tidak akan hawkish

BI: Pasar Proyeksikan The Fed Tidak Akan Agresif Lagi Chairman Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell pada Rabu (21/9/2022) mengumumkan kenaikan suku bunga acuan (Fed Fund Rate) untuk kelima kalinya tahun ini. (dok. YouTube Washington Post)

Dengan kondisi stabilitas keuangan global yang menjadi concern pelaku pasar, maka BI memandang bahwa pasar telah memperkirakan Bank Sentral AS, The Fed tidak akan mengambil langkah hawkish atau menaikkan suku bunga acuan lebih lanjut.

"Pelaku pasar memperkirakan the Fed tidak akan hawkish lagi terkait kebijakan suku bunga, bahkan malah agak berbalik dimana pelaku pasar berekspektasi sdh akan ada penurunan FFR di tahun ini,"ungkapnya.

Meski demikian, Bank Indonesia akan terus mencermati berbagai faktor yang bersumber dari global maupun domestik, serta menjaga stabilitas sistem keuangan tetap terjaga meski ditengah tantangan global yang masih membayangi.

"BI akan mencermati berbagai faktor kedepannya. Karena bisa saja terjadi perubahan ekspektasi ketika terjadi perubahan data, jadi masih sangat data dependant,"pungkasnya.

Baca Juga: Kenaikan Suku Bunga The Fed Bakal Tahan Aliran Capital Inflow

2. Titik puncak suku bunga The Fed 5,25 persen

BI: Pasar Proyeksikan The Fed Tidak Akan Agresif Lagi Staf Khusus Menko Perekonomian Raden Pardede (Sumber: Screenshot YouTube INDEF)

Sementara itu, pakar ekonomi Raden Pardede memproyeksikan suku bunga The Fed akan mencapai titik puncaknya dikisaran 5,25 persen di tahun ini dan baru akan menurun pada akhir tahun ini. Suku bunga The Fed yang berada dalam rentang 4,75 persen hingga 5 persen itu, dinilai sebagai kebijakan sangat agresif dan bakal ganggu stabilitas sistem keuangan.

"Prediksi kami ujungnya di 5 persen sampai 5,25 persen yang kemudian akan perlahan turun ke arah 3,5 persen pada tahun 2024,"tegasnya.

Kenaikan suku bunga acuan The Fed memiliki korelasi terhadap apresiasi nilai tukar rupiah. Namun, menurutnya, itu hanya jangka panjang dan ketika The Fed naikkan suku bung akaan muncul kekhawtairan terhadap dampak global.

"Satu sisi kenaikan suku bunga membuat ekonomi melemah, tapi sisi lain penguatan dolar AS akibat suku bunga, membuat produk luar negeri jadi murah. Satu sisi kesor bisa turun yapi kalau dolar menguat ekspor kita jadi menguat. Itu gabisa kita liat satu arah,"ucapnya.

Baca Juga: The Fed Berpotensi Kerek Suku Bunga hingga 5,5 Persen 

3. Suku bunga acuan BI tetap 5,75 persen

BI: Pasar Proyeksikan The Fed Tidak Akan Agresif Lagi Ilustrasi Bank Indonesia (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

Sebelumnya BI memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 5,75 persen , suku bunga Deposit Facility sebesar 5,00 persen dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,50 persen.

Keputusan ini konsisten dengan stance kebijakan moneter yang pre-emptive dan forward looking untuk memastikan terus berlanjutnya penurunan ekspektasi inflasi dan inflasi ke depan.

"Bank Indonesia meyakini bahwa BI7DRR sebesar 5,75 persen memadai untuk mengarahkan inflasi inti tetap berada dalam kisaran 3,0±1% pada semester I 2023 dan inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) kembali ke dalam sasaran 3,0±1 persen pada semester II 2023," tulis laporan RDG BI.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya