[PROSA] Realita di Balik Tawa

Katanya aku paling piawai menyembunyikan luka

Hari ini mendung. Senja jadi tak tampak megah seperti biasanya. Dominan kelabu dari barat ke timur, hanya semburat kecil warna jingga yang tak meninggalkan silau di mata. Aku sedang sibuk belajar di perpustakaan. Sangat konsentrasi sampai salah seorang kawanku menghampiri.

"Bosan! pulang saja, yuk!" keluhnya sambil meletakkan dagu di mejaku. Hari ini ia baru putus cinta dari kekasih yang ia elu-elukan akan jadi teman hidupnya sampai selamanya. Tiada air mata menggenang di pipinya. Ia juga bercerita ini itu tetap dengan tawa meriah seakan semuanya baik-baik saja.

"Kopi?" tanyaku menawarkan diri menemaninya sebelum kembali ke rumah. Berharap tak ada luka yang berarti, berharap ia memang baik-baik saja sebagaimana yang kulihat. Lalu dia hanya mengangguk antusias.

Sesampainya di tempat favorit kami, dengan segelas cappucino di tangan kami, aku mulai bertanya, "kamu baik-baik saja?"
Mendengar pertanyaan itu dia langsung tertawa. Tapi kali ini berbeda. Tawa yang pahit itu meninggalkan setitik air mata yang tak berani ia lepaskan.

"Menangislah kalau kamu butuh menangis," kataku sambil menyeruput cappucino yang masih panas.
"Tidak," jawabnya singkat.
"Kenapa?" tanyaku kebingungan.
"Aku malu karena kamu selalu menyimpan semuanya sendiri, kokoh, seakan-akan kamu tak butuh sandaran lagi, karena kamu mampu berdiri sendiri."

Mendengar jawabannya aku baru menyadari. Sejak lukaku yang dulu, aku memang tak lagi banyak bercerita; tidak soal cinta maupun lukaku. Apa yang berakhir akan kubiarkan berakhir. Apa yang akan kumulai kubiarkan berjalan dengan apa adanya. Kalau memang tak sesuai, maka aku akan melepaskannya.

Luka lama mengajarkanku pasrah dan tanpa sadar menopang kesungguhanku jadi tak mudah membual; entah soal apapun itu. Aku mulai terbiasa mencintai seseorang membumi meski aku melangitkan namanya setiap hari.

Katanya aku piawai menyembunyikan luka? Tentu saja tidak! aku hanya tak berisik saat lukaku menganga. Aku hanya menyimpan sedih tanpa membaginya. Aku hanya memberi kesempatan hatiku sembuh tanpa campur tangan siapapun.

Bukan karena tak punya tempat bercerita. Aku hanya merasa banyak cerita yang lebih berarti daripada ceritaku. Sehingga tanpa sadar aku selalu menjadi pendengar yang setia untuk lisan-lisan yang tersayat hatinya, sedang hatiku sendiri tak terurus.

Aku yang sedari tadi terdiam tak menyangka dengan jawabannya, akhirnya memilih untuk memeluknya erat. Lantas kami menangis bersama. "Kenapa kamu ikut menangis?" tanyanya sambil sesenggukan dan sesekali tertawa.

"Asal kamu tahu, hari ini aku juga baru saja putus," jawabku. Kali ini aku tak perlu menahan apapun lagi dan menutup hari itu dengan lega. Air mata kami mungkin akan kering di pipi, luka juga akan sembuh sendiri, tapi kami memutuskan untuk tak melupakan luka itu untuk menjadi pelajaran yang selamanya tak akan terulang lagi.

Baca Juga: [PROSA] Aku Terkadang Ingin Mati

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Laila Alhaffatah Photo Verified Writer Laila Alhaffatah

Full time wife, mom, and writer

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Kidung Swara Mardika

Berita Terkini Lainnya