[CERPEN] Tersesat di Pemakaman

Mereka pulang diliputi rasa takut, bingung bercampur aduk!

Hujan turun di kota Ponorogo. Para pengendara berlalu lalang menggunakan jas hujan, sedangkan para pejalan kaki menggunakan payung besar. Malam itu, walaupun hujan tetap saja ramai seperti biasanya. Para pemuda berkumpul membuat perkumpulan-perkumpulan di angkringan pinggir jalan. 

Tersebutlan disalah satu angkringan kopi di kota itu. Ada sekumpulan pemuda sedang asyik bercengkrama sambil menikmati kopi hangat. Asap rokok membumbung dari sekumpulan pemuda itu.

Mereka sangat menikmati suasana di malam itu, hawanya yang dingin bisa di hangatkan dengan secangkir kopi hangat dan batang rokok yang ada ditangan mereka. Suara canda tawa mereka, membuat angkringan itu terlihat sangat ramai ketimbang angkringan lainnya. 

Saking asyiknya, mereka sampai tidak merasa, bahwa waktu sudah menunjukkan pukul 01:00 WIB. Pedagang yang mempunyai angkringan itu juga sudah mulai mengemasi barang-barangnya untuk dibawa pulang. Para pemuda itupun sepakat untuk segera pulang dan akan menyambung dilain hari.

"Sudah cukup untuk hari ini, kita sambung lain hari, ya!," ucap salah satu dari mereka, yang bernama Aryo. 

"Oke siapp!!," sahut teman-temannya. 

Mereka semua pun segera berjalan pulang kerumah masing-masing. Aryo salah satu orang yang mempunyai rumah paling jauh diantara mereka, pulang dengan menaiki kendaraan bermotor dan berboncengan dengan Danu, teman sekaligus saudara sepupunya. Aryo dan Danu rumahnya berada di daerah Ponorogo paling barat hampir masuk perbatasan Ponorogo-Wonogiri Jawa Tengah. Saat melewati jalan di daerah Tambakbayan, tiba-tiba.

"Lho? Kenapa motor ini?" 

Aryo yang sedang menyetir motor, kaget penuh tanda tanya. 

"Ada apa, Mas? Memangnya kenapa motornya?"

Tanya Danu yang bingung dengan sikap saudaranya itu. 

"Entalah, aku juga tidak tau kenapa motor ini. Rasanya, seperti berjalan sendiri".

"Hah, berjalan sendiri, memangnya bisa? Ada-ada saja Kangmas ini. Bercanda, ya?," sahut Danu yang tidak percaya dengan omongan Aryo. 

"Wah, kau ini. Aku tidak sedang bercanda, ini nyata. Lihat ini! " Aryo membuktikan dengan melepaskan genggaman kedua tangannya dari setir motor. 

"Lho, kok bisa?" Danu kebingungan. 

"Bagaimana? Sudah percaya?" tanya Aryo.

"Hehe, iya" Danu agak malu. 

"Terus bagaimana ini. Dik Nu? " 

"Begini, Mas, kita tetap tenang, ikuti saja ke mana motor ini membawa kita." jawab Danu. 

"Baiklah kalau begitu". 

Tiba-tiba saat berada di timur jembatan sungai Sekayu, motor itu berbelok sendiri ke arah selatan. 

"Wah, kok, malah belok kesini!?" Aryo kaget. 

"Sudah lah, Mas. Yang tenang, jangan takut. Kita ikuti saja motor ini, toh nanti kalau sudah waktunya berhenti juga pasti berhenti," Danu menenangkan Aryo yang ketakutan. 

"Iya, Dik Nu. Bismillah semoga kita selamat".

"Amin "

Motor yang berjalan sendiri tanpa ada yang mengendalikan itu membawa mereka melewati perumahan penduduk, lalu lama kelamaan mulai masuk pesawahan, semakin menjauh dari kota. 

Setelah sekitar 10 menit berjalan. Akhirnya motornya berhenti di suatu tempat yang sangat asing bagi kedua pemuda itu. Motornya berhenti di kompleks perumahan yang sangat megah. Keramik rumahnya berwarna merah semua. Mereka berdua pun diliputi rasa bingung, takut dan kagum dengan rumah-rumah yang mewah itu. 

Aryo berkata, "Di mana ini? Rumahnya, kok, mewah-mewah, ya?" 

"Iya, rumahnya besar-besar lagi. Wah, pasti ini kampungnya orang-orang kaya, nih. Atau jangan-jangan ini kampungnya kaum elite? " imbuh Danu. 

"Ayo kita jalan sambil melihat-lihat, Dik Nu" ajak Aryo. 

"Ayo Mas... Aku juga penasaran dengan tempat ini"

Aryo dan Danu kemudian turun dari motor. Kemudian mereka berjalan menyusuri tempat itu. Mereka terkagum akan bangunan-bangunan yang indah dan megah. Namun, mereka juga bingung, kenapa keramiknya berwarna merah semua. 

Saat menyusuri tempat yang penuh bangunan megah itu, Aryo merasakan ada yang aneh, janggal dan hawanya juga berbeda dengan lainnya. 

"Dik Nu, aku, kok, merasa ada yang aneh, ya"

"Aneh bagaimana, Mas?" tanya Danu

"Aku merasa hawanya sangat berbeda dengan biasanya. Tadi di kota, kan, hawanya dingin karena hujan. Tetapi di sini, kok, agak hangat-hangat gitu, ya? Padahal di sini bekasnya juga hujan, lho, malah sepertinya deras sini hujannya," Aryo menjelaskan. 

"Iya sih, Mas. Aku juga merasakan begitu, bahkan aku curiga, kalau rumah-rumah ini adalah rumah kosong," imbuh Danu. 

Lalu Aryo menengok ke kanan kekiri sembari mengamati dengan teliti rumah-rumah mewah di sekelilingnya. Ia pun juga ikut curiga dengan perumahan di tempat itu. 

"Iya, Dik. Rasa-rasanya memang seperti rumah kosong."

Mereka berdua terus berjalan dan semakin menjauh dari motornya. Tiba-tiba kaki Danu seperti menyenggol sesuatu.

"Loh, apa ini?" tanya Danu. Lalu ia pun melihat ke bawah, betapa kagetnya ia, ternyata yang ia senggol adalah sebuah batu nisan makam. 

"Wah!? Kok, ada nisan di sini?"

"Nisan?" tanya Aryo kaget. 

"Iya lihat ini, Mas. Ini benar sebuah nisan, lho"

"Waduh, kok, bisa, ya? Masa makam ada di lingkungan perumahan?," Aryo bertanya-tanya. 

Mereka pun mengamati dengan seksama batu nisan tersebut. Aryo kemudian mengamati sekelilingnya, ia pun kaget setelah melihat rumah-rumah yang megah tadi hilang seperti ditelan Bumi, musna tidak tersisa. 

"Wahh!? Ke mana rumah-rumah tadi? Kenapa jadi gelap begini?" lalu matanya pun tertuju kepada salah satu kijing di situ. 

"Lho, itu kan kijing? Kenapa kijingnya banyak sekali?"

Danu juga kaget akan perumahan yang tiba-tiba hilang. 

"Loh! Kok, jadi begini?" Danu bingung. Terus ia sadar bahwa dia dan kakaknya telah disesatkan. Ternyata rumah-rumah mewah tadi hanyalah ilusi. Sebenarnya tempat tersebut bukanlah kompleks perumahan, melainkan kompleks pemakaman.  

"Astagfirullah hal adzim, Mas. Ayo cepat lari ke motor! Ini kuburan, Mas, ini kuburan!!" Danu berteriak sambil berlari dan menggandeng tangan kakaknya itu. 

Aryo dan Danu berlari melompati kijing-kijing yang ada di situ, karena saking banyaknya maka seperti tidak ada jalan lagi. Mereka segera menyalakan motor, lalu bergegas pulang. Mereka berdua pulang dalam keadaan takut, bingung bercampur aduk jadi satu. Hingga membuat mereka terdiam seribu bahasa.

Baca Juga: [CERPEN] Evanescent

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

M Farouq Al Ghoribi Photo Writer M Farouq Al Ghoribi

Hobi : Menulis, melukis, menggambar, membaca. Motto : Narimo ing pandum tansah eling kelawan sukur.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Debby Utomo

Berita Terkini Lainnya