[CERPEN] Akan Selalu Dikibarkan

Sebagai bentuk penghormatan pada rasa kepahlawanan

Matahari belum tampak di ufuk timur. Aku bersama teman-teman yang lain telah mengambil posisi bersiap di hutan selepas salat subuh. Sebelumnya, kami semua telah makan makanan seadanya dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Tidak akan pernah tersisa waktu untuk bersantai sebelum para penjajah itu angkat kaki dari tanah kelahiran kami.

“Apa kau gemetar?” tanya Ali padaku.

“Bukankah kita sudah tujuh hari berada di hutan terus?” aku balas bertanya. “Pertanyaanmu itu sudah sangat basi.”

"Hahaha..... Sempat-sempatnya kau bercanda di tengah situasi seperti ini!?”

“Ayolah, Li! Semua manusia itu butuh hiburan, termasuk dalam perang seperti sekarang. Biar pikiran kita gak terlampau stres, biar kita bisa lebih fokus berperang nantinya.”

“Iya, iya! Aku tahu. Dasar sok pintar!” Ali mengejekku.

“Kamu itu lho yang kurang cerdas!" aku balas mengejek.

Ali tak terima dengan ejekan itu, ia melotot ke arahku. “O... berani-beraninya! Kupukul pakai senapan ini baru tahu rasa kamu!”

Aku tertawa melihat reaksi Ali tersebut. “Udah, udah! Waktunya berangkat sekarang,  ayo!”

Semua orang mengambil posisi masing-masing. Kami perlahan-lahan mendekat ke arah pertahanan musuh. Sebenarnya kami sama sekali bukan seorang tentara yang terlatih. Kami semua hanya rakyat biasa yang sudah tak tahan dengan penjajahan. Tentu saja mati di medan tempur bagi kami lebih baik daripada mati karena kerja paksa.

Kami juga sama sekali tak mengetahui bagaimana strategi perang yang baik. Namun, bukan berarti kami berperang tanpa strategi. Kami tetap menyusun strategi yang hanya didasarkan pada pengalaman perang kami di hari sebelumnya. Sebuah gerakan yang terlampau nekat, bahkan mungkin ada yang menganggapnya sebagai gerakan bunuh diri. Tapi tak mengapa, bagi kami mati adalah sebuah keniscayaan. Tak peduli di mana tempatnya, kapan waktunya, dalam situasi yang seperti apa, setiap manusia pasti memiliki akhir.

Jarak pandang kami telah menjangkau titik koordinat musuh. Kami semakin berhati-hati dalam berjalan sambil berharap semoga pergerakan kami tak disadari sama sekali oleh mereka. Aku melihat ada empat orang yang berjaga di bagian depan, dan tampaknya mereka kurang siaga. Mungkin mereka berpikir bahwa ini masih terlalu pagi bagi kami untuk melakukan penyerangan. Namun, sayangnya praduga mereka salah besar.

Aku, Ali, Bayu, dan Faris bertugas melumpuhkan empat orang penjaga tersebut. Tiga dari mereka berhasil kami lumpuhkan, sementara satu orang sisanya ternyata masih bisa bertahan. Penjaga yang tersisa tersebut berteriak memperingatkan yang lain. Namun, belum selesai ia memperingatkan tiba-tiba dua buah ledakan menghancurkan markas mereka dan mengempaskan penjaga yang berteriak tadi. Tampaknya teman-teman kami yang lain baru saja melemparkan dua buah granat pada mereka.

Kami berhasil menghancurkan markas musuh. Tapi tetap saja perang ini belum berakhir selama sisa-sisa penjajah itu enggan angkat kaki dari tanah kelahiran kami. Kami sejenak beristirahat, menghela napas sebentar. Selepas itu, kami melanjutkan penyerangan ke tempat musuh yang lain. Kami sadar bukan orang yang pandai berdiplomasi. Oleh sebab itu, daripada nanti kami dibohongi oleh pihak musuk, kami lebih baik berhadapan dengan mereka di gelanggang peperangan.

“Masih punya semangat?” ejek Ali padaku.

“Aku tidak selemah dirimu," aku tersenyum meledek padanya.

“Kau tahu kawan, sebenarnya aku memiliki satu janji pada adikku setelah perang ini berakhir," Ali tiba-tiba bicara dengan nada yang sangat serius. “Jika nanti kita berhasil mengusir para penjajah itu, aku ingin mengajak adikku jalan-jalan ke danau di pinggir desa kita. Aku ingin memberitahunya bahwa masih ada keindahan murni di dunia ini, meski kita semua telah banyak kehilangan orang-orang yang kita cintai.”

Aku diam, mencoba memahami makna kalimat Ali barusan. Nuraniku seolah merasakan seperti apa perasaan Ali pada janjinya itu. Dalam suasana yang agak canggung tersebut, Ali memberi pertanyaan padaku, “Kau sendiri, apa yang akan kau lakukan setelah perang ini selesai?”

 Aku menghela napas dalam. “Entahlah. Belum kupikirkan. Untuk saat ini aku hanya ingin membebaskan tanah kelahiran kita dari para bajingan itu. Setelah itu, akan kukibarkan bendera kita sebagai representasi kemerdekaan yang telah kita raih.”

“Jika kita tidak berhasil, bagaimana?” pertanyaan Ali kali ini terasa sangat berbeda. Biasanya ia tak pernah bertanya dengan perasaan pesimis seperti barusan.

“Bukankah janjimu tadi harus ditepati?” tanyaku pada Ali. “Jadi, ayo bersama memporak-porandakan mereka!”

Semangat juang Ali tampak kembali pada dirinya. Kini kami sudah semakin dekat dengan markas musuh yang ada di pinggiran hutan. Jumlah musuh yang ada di sana lebih banyak dari yang sebelumnya. Kami harus benar-benar berhati-hati. Sebelum melakukan penyerangan, masing-masing dari kami melakukan pengecekan senjata. Melihat sisa peluru yang ada sepertinya kesempatan kami sangat sedikit.

Kami harus menghancurkan mereka dengan cepat. Sebab, kami tak mungkin bisa menang bila berhadapan dengan mereka dalam waktu yang lama. Senjata kami tak cukup untuk itu, dan sayangnya tak ada yang bisa kami ambil dari penyerangan kami sebelumnya. Semua hancur, kecuali dua buah pistol dari penjaga yang ada di luar tadi.

Para penjajah itu sepertinya juga belum dalam posisi siaga. Mereka tampak masih menikmati secangkir teh, atau mungkin kopi. Saat aku tengah membidik salah satu dari mereka, tiba-tiba terjadi ledakan di sana. Aku dan Ali terkejut dengan ledakan tersebut. Kami mencari siapa pelakunya, tapi tak ada satu pun yang terlihat habis melempar granat. Teman-teman kami yang lain juga kebingungan.

Tak berselang lama, terdengar suara teriakan yang memecah kebingungan kami. “Matilah kalian semua...!”. Saat kami melihat ke sumber teriakan, ternyata itu Faris. Dia yang tadi tanpa aba-aba melempar bom pada mereka, dan kini dia tengah berlari menuju arah musuh dengan penuh emosi.

Kami semua geram dengan Faris, tapi sekarang sudah tak ada waktu lagi, bahkan untuk sekadar bercanda sebentar. Keberadaan kami pasti sudah diketahui musuh. Namun, bagaimana pun keadaannya kami tetap tak bisa melawan mereka dalam waktu yang lama. Kami harus cepat menghabisi mereka, tak peduli dengan cara yang seperti apa.

Mulai banyak tembakan mengarah pada kami. Kami mencoba berlindung dan bersembunyi. Pikiranku lalu teringat dengan pertanyaan Ali tadi, bagaimana jika kami kalah dalam perang ini? Aku menutup mata, mengangkat kepala, berharap semoga kami bisa mengusir para penjajah itu.

“Bukankah ini tanah kami? Bukankah yang memiliki hak adalah kami? Bukankah mereka adalah perampas? Jika benar seperti itu, tolong berikan keadilan, Tuhan!” aku berucap dalam hati.

Terdengar suara ledakan lagi, aku masih belum berani membuka mataku karena suara tembakan juga masih terdengar di dekat kami. Terdengar lagi satu ledakan, kali ini suaranya sangat memekakkan telinga. Aku yang masih menutup mata, disadarkan oleh Ali.

“Hei! Buka matamu! Lihat, kita sudah menang sekarang!” ucap Ali padaku.

Aku membuka mata, melihat keadaan sekitar. Keadaan musuh telah benar-benar hancur. Aku bingung harus mengekspresikan kemenangan ini bagaiamana. Ali kembali bicara padaku, “Bukankah setelah menang, keinginanmu adalah mengibarkan bendera kita?”. Aku menoleh padanya.

“Tunggu apa lagi? Sekarang adalah saatnya kan?” Ali menambahkan.

Aku mengambil bendera dari dalam tas yang selalu kubawa. Kupasang ia pada sebuah kayu. Aku berjalan ke depan, mencari tempat yang pas untuk menancapkan bendera itu. Aku mengangkat tinggi kayu bendera yang kupegang. Saat hendak menyentuh tanah, tiba-tiba ada yang menabrakku dengan keras dari belakang. Aku tersungkur, amarahku memuncak. Namun, aku urung meluapkannya saat kulihat orang yang di belakangku ternyata adalah Ali. Dia tertembak, tapi siapa pelakunya?

Ali tersenyum padaku, ia kemudian mengambil granat yang ternyata sempat ia ambil dari penjaga markas yang telah kami hancurkan sebelumnya. “Tolong, lemparkan ini ke utara!”

Aku melihat arah yang dikatakan Ali, di sana ternyata ada satu orang musuh yang mengintai. Dia menyadari bahwa aku melihatnya. Dia bergegas berdiri, tanpa pikir panjang aku melempar granat pemberian Ali ke arah musuh tersebut.

Aku melihat ledakan itu telah menghancurkan dirinya. Tapi tetap saja, aku masih merasa dendamku belum terbalaskan. “Kita berhasil, kawan! Sekarang, kau bebas memenuhi keinginanmu untuk mengibarkan bendera kita. Kibarkanlah, kawan! Biarkan aku melihatnya di penghujung hidupku.”

Aku menangis mendengar kalimat Ali tersebut. Aku kemudian berdiri, lalu mengambil bendera. Kutancapkan dengan pasti, kemudian aku memberi hormat pada bendera tersebut. Ali juga terlihat memberi hormat, tak lama setelah itu nyawa Ali telah menghilangkan raganya.

*****

“Seperti itulah kronologinya”, ucapku pada dua orang anak muda di sampingku.

“Jadi, alasan kakek selalu mengibarkan bendera itu adalah untuk menghormati kepahlawanan teman kakek?”

“Benar, Nak!”

“Lalu, bagaimana dengan janji teman kakek tersebut? Janji untuk mengajak adiknya ke pergi menikmati pemandangan yang indah di danau”.

Mendengar pertanyaan itu, aku benar-benar terbungkam. Aku menutup mata, menundukkan kepala. Tanpa aba-aba air mataku mengalir di wajah tuaku.

Baca Juga: [CERPEN] Pintu yang Tak Pernah Dibuka

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Mohammad Azharudin Photo Verified Writer Mohammad Azharudin

Anak muda biasa yang suka belajar

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Indiana Malia

Berita Terkini Lainnya