[CERPEN] Pintu yang Tak Pernah Dibuka

Berisi apakah ia? Harta karun melimpah atau justru bahaya?

Galih berjalan diam-diam menuju ruang bawah tanah. Ia telah memastikan bahwa malam itu semua orang telah terlelap. Galih mengendap perlahan, juga menjaga nafasnya agar tetap teratur. Baru saja Galih sampai di ruang bawah tanah, ia dikagetkan dengan lampu yang tiba-tiba serentak menyala.

Galih mencoba tetap tenang, walau hatinya sebenarnya takut dan khawatir. Ia terdiam, berjaga-jaga bila terjadi sesuatu. Selepas 10 menit, tak ada apa-apa yang terjadi. “Sepertinya lampu-lampu di sini memang diatur menyala otomatis ketika ada orang yang masuk,” terka Galih dalam hati.

Galih mulai menelusuri ruangan itu lebih dalam. Ia tetap berusaha berhati-hati. Ia tak ingin sesuatu yang buruk menimpa dirinya. Ia terus mengendap-endap hingga akhirnya ia menemukan apa yang ia cari. Sebuah pintu yang selama ini tak pernah dibuka. Saat ia kecil dahulu, kakeknya selalu melarangnya ketika mulai mendekati pintu tersebut.

Namun, Galih justru semakin penasaran. Ia menyembunyikan rasa penasarannya dengan tidak lagi mendekati pintu tersebut. Tujuannya adalah supaya kakeknya tak curiga dengan isi hatinya. Galih bahkan tak pernah masuk ke dalam ruang bawah tanah semenjak usianya menginjak kelas 2 SD. Ia memang sengaja melakukan semua itu.

Kini, saat ia sudah remaja, Galih merasa sudah saatnya meluapkan rasa penasaran yang telah ia pendam begitu lama. Galih mulai mengulurkan tangannya ke gagang pintu itu. Tapi saat ia memegangya, tiba-tiba terdengar suara yang melarangnya.

“Maaf! Anda tidak punya akses pada pintu tersebut. Silakan pergi!”

Galih kebingungan, mencari sumber suara. Tapi tak ada satu pun orang di sana.

“Siapa kau? Tunjukkan wujudmu! Dan katakan kenapa aku tak memiliki akses pada pintu ini?" Galih masih mencari asal suara.

“Saya Rio, saya adalah sebuah Artificial Intelligence yang menjaga ruang bawah tanah ini, khususnya menjaga pintu yang hendak Anda buka.”

“Kenapa aku tak boleh membuka pintu ini?”

“Hanya tuan yang memiliki akses pada pintu ini. Selain dia, tak ada yang boleh menyentuhnya.”

“Kalau begitu, aku akan membuka pintu ini dengan paksa.”

“Jika Anda memaksa, saya akan memberi peringatan pertama.”

“Aku tak takut pada AI!”, Galih menyanggah.

Ketika Galih kembali memegang gagang pintu, tiba-tiba banyak senapan mengarah pada dirinya. Galih terdiam, menelan ludah. “Apakah ini nyata?” Galih bertanya dalam hati.

“Segera lepaskan tangan Anda atau saya akan melepaskan peluru dari semua senjata ini dalam hitungan mundur 5 detik!”.

Galih mengurungkan niatnya, ia melepas tangannya dari gagang pintu itu. Galih lantas berjalan mundur perlahan menjauh dari pintu itu. Senapan-senapan yang menodongnya kini kembali ke tempatnya.

“Terima kasih telah mendengarkan. Saya harap Anda tidak lagi mencoba membuka pintu itu!”

Galih tak menjawab, ia terus berjalan menjauh dari pintu itu. Saat Galih hendak keluar dari ruang bawah tanah, ia sejenak menoleh ke belakang, kembali menatap pintu yang sangat ingin ia buka tersebut. “Tunggulah! Suatu saat aku pasti bisa membukamu”, ucap Galih dalam hati.

Lampu-lampu di ruangan itu kini otomatis mati saat Galih keluar dari ruang bawah tanah. Galih kembali berjalan mengendap-endap agar tak ada yang terbangun karena langkahnya, terutama kakeknya.

*****

Galih masih terus memikirkan bagaimana caranya bisa membuka pintu itu. Rio, AI yang ada di ruang bawah tanah tersebut sangat merepotkan menurut Galih. Seminggu sudah Galih mencari cara untuk menembus penjagaan AI itu, tapi tak menemukan solusi sama sekali.

Ia kemudian merebahkan tubuhnya, pikirannya sudah benar-benar buntu. Tanpa sengaja mata Galih menatap sebuah kata pada salah satu buku yang ada di raknya. ABABIL, begitu kata tersebut terbaca. Berkat satu kata itu, Galih langsung teringat dengan Sabil, temannya yang sangat menguasai teknologi. Tanpa pikir panjang Galih langsung menghubungi Sabil.

“Bil! Sekarang kamu di mana? Besok ada waktu luang nggak?”

“Tenang, bos! Gimana? Ada apa? Kayaknya tergesa-gesa banget?”

“Udah, jangan banyak tanya dulu! Aku jelasin besok. Kamu ada waktu luang kan?”

“Laksanakan, bos!”

“Oke! Sampai ketemu besok, Bil!”

Esok hari mereka bertemu di lapangan. Galih menceritakan rasa penasarannya terhadap pintu yang tak pernah dibuka tersebut pada Sabil. Galih juga memaparkan tentang Rio, AI yang menjaga ruang bawah tanah itu.

“Ayo lah, Bil! Bantu aku mematikan AI itu agar aku bisa membuka pintu yang tak pernah dibuka itu. Kamu kan pinter banget perihal teknologi,” pinta Galih pada Sabil.

“Nggak segampang itu, Lih! Aku belum terlalu paham tentang AI”, sanggah Sabil yang mencoba memaparkan keadaannya yang sebenarnya.

“Kamu pasti bisa, Bil! Tolong bantu aku, ya! Aku janji, jika di balik pintu itu berisi harta karun melimpah, kamu bisa ambil sepuasmu,” Galih memaksa.

“Ini bukan sekadar tentang imbalan, Lih! Aku belajar tentang AI itu belum terlalu lama,”

“Halah! Yang penting kamu udah pernah belajar tentang itu. Pokoknya kamu harus bantu aku, titik!” Galih memotong kalimat Sabil.

Sabil menghela nafas, berdiam sejenak. Sabil merasa tak tahu lagi bagaimana menjelaskan pada Galih. Akhirnya ia pun mengalah.

“Ya sudah! Aku akan membantu, tapi nanti kalau ada apa-apa, kamu yang tanggung jawab, ya!”

“Oke, Bil. Bisa diatur!” Galih menyanggupi.

*****

Sepuluh hari terlewati, Galih dan Sabil telah menyiapkan semuanya. Rencana telah mereka susun. Sabil pun 10 hari kemarin telah banyak belajar tentang AI. Kini waktunya mereka beraksi. Seperti sebelumnya, Galih memilih waktu malam hari untuk mengendap-endap menuju ruang bawah tanah. Sebab, selain malam kakeknya selalu berada di sana.

Mereka mulai menjalankan rencana ketika jam telah menunjukkan pukul 00:15. Galih dan Sabil tak langsung masuk ke ruang bawah tanah. Mereka berhenti terlebih dahulu di depan pintu masuk. Kini, Sabil mulai menjalankan tugasnya untuk mematikan AI yang bernama Rio itu.

Tanpa disangka, ternyata Sabil berhasil melaksanan tugasnya dengan cukup cepat. “Ternyata tak sesulit yang kubayangkan. Oke, beres! Ayo kita masuk!” ucap Sabil kepada Galih.

“Aku tak pernah salah mempercayaimu,” Galih memuji.

Mereka kini masuk ke ruang bawah tanah. Lampu-lampu yang biasanya otomatis menyala, kini tidak lagi. Mungkin lampu-lampu itu memang dioperasikan oleh AI. Mereka berjalan dengan sedikit cahaya dari senter yang telah mereka siapkan sebelumnya.

Saat telah sampai di depan pintu, jantung Galih berdetak dengan begitu cepat, ia menelan ludah. Galih diserang kebimbangan ketika hendak memegang gagang pintu. “Jangan-jangan di balik pintu ini ada sesuatu yang membahayakan!?” Galih bertanya dalam hati.

“Kenapa, Lih? Apa kau ragu membuka pintu itu?” Sabil curiga dengan gerak-gerik Galih yang tampak begitu grogi.

“I... I..ya, Bil. Aku agak bimbang membuka pintu ini. Jangan-jangan pintu ini tak berisi harta karun seperti yang kita pikirkan selama ini?”

“Lih! Aku sendiri juga agak takut sebenarnya. Tapi, kita sudah sejauh ini. Apakah kau membatalkan rencana yang sudah kita rancang jauh-jauh hari?” Sabil mencoba meyakinkan diri sendiri, juga Galih.

Galih terdiam sejenak. Ia tampak memikirkan begitu banyak pertimbangan. “Kita tidak akan pernah tahu apa yang di balik pintu ini jika kita tak membukanya,” Galih bicara dengan perasaan berdebar-debar.

Karena grogi, Galih tak kuasa membuka pintu yang ada di depannya itu. Sabil kemudian membantunya. Pintu itu berhasil digerakkan perlahan. Saat pintu telah benar-benar terbuka, mereka hanya melihat kegelapan. Mereka berdua kecewa dan masih bertanya-tanya. Belum juga mereka mengomentari apa yang mereka lihat, lampu ruangan tiba-tiba menyala. Galih dan Sabil seketika menolah ke belakang.

“Apa yang kalian lakukan? Cepat tutup pintu itu kembali!”, kakek Galih berteriak pada mereka berdua.

“Ta... Tapi, kek. Di balik pintu ini tak ada apa-apanya, kenapa harus ditutup kembali?” tanya Galih.

“Sudah jangan banyak tanya! Cepat tutup pintunya!” perintah kakek Galih seraya berjalan mendekat menuju mereka berdua. “Itu adalah gerbang multiversal, cepat tutup kembali!” kakek Galih menjelaskan singkat.

Galih dan Sabil tetap terdiam memandangi kakek Galih yang kian dekat. Tiba-tiba perhatian mereka beralih pada munculnya cahaya di balik pintu yang telah mereka buka tadi. Mereka kian heran dan penasaran, tapi juga agak ketakutan. Kakek Galih yang melihat hal tersebut kini jalannya terhenti.

“Tidak! Semua sudah terlambat,” ucap kakek Galih.

Galih yang masih tak tahu apa yang terjadi bertanya apa maksud kalimat kakeknya barusan “Apanya yang terlambat, kek?”

“Gerbang multiversal yang ada di balik pintu itu memang tidak menyedot benda-benda di sekitarnya seperti lubang hitam. Namun, dia justru lebih berbahaya dari yang kita kira. Kini, manusia dan makhluk dari semesta lain akan datang ke semesta kita ini. Keseimbangan semesta kita akan terancam”.

Galih dan Sabil menelan ludah setelah mendengar kalimat penutup dari kakeknya. Mereka lantas berusaha cepat-cepat menutup pintu itu kembali. Namun, belum juga pintu bergerak, tiba-tiba datang sebuah robot besar dari gerbang multiversal menyapa mereka.

“Terima kasih telah membebaskanku. Kini aku bebas menginvasi semesta ini bersama anak-anakku. Ha.. Ha.. Ha.. Ha.. Ha..”, ucap sang robot dengan nada mencekam.

Galih mengenali suara robot itu. Dia adalah Rio, AI yang sebelumnya menjaga ruang bawah tanah dan pintu yang tak pernah dibuka ini.

Baca Juga: [CERPEN] Anggaru

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Mohammad Azharudin Photo Verified Writer Mohammad Azharudin

Anak muda biasa yang suka belajar

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Kidung Swara Mardika

Berita Terkini Lainnya