[Puisi] Aku dan si Begundal Sepi

Bukan tentang nol satu atau satu nol kali kesepian itu mampu meradang sampai ke otak

Demi kamu yang kunanti tanpa penat,

biarkan aku menyuarakan lagu sendu ini sebagai obat.

Mungkin di hari-hari ku lebih banyak tanya yang kuajukan tentangmu.                                                      

Apa kesukaanmu?                                                        

Apa yang kamu lakukan selama ini tanpa ada aku?

Berapa wanita yang pernah menyinggahi hati itu?

Kapan aku dan kamu dipertemukan?

Bagaimana kisah pertemuan aku dan kamu kali pertama?

Momen apa yang membuat kita sepakat aku dan kamu adalah sebagian hidup satu sama lain?

Tanggal berapa yang akan menjadi tanggal terindah saat aku dan kamu sudah menjadi “kita”?

Semua itu pada ujungnya masih sekedar tanya yang belum ada jawabnya

Dan sampai saat ini, aku masih melekat dalam sebuah penantian

 

Aku selalu berbicara kepada semesta tentang kamu yang adalah sebuah rahasia

Berharap mereka memberi jejak untuk ku kenal sedikit kamu

Aku meminta angin malam menghembuskan aroma tubuhmu

Tapi yang tercium hanyalah bau kesepian

Aku meminta bintang untuk merangkai wajahmu

Tapi yang terlihat hanyalah wajahku yang larut dalam keletihan

 

Menantikanmu tak pernah mudah

Bukan tentang nol satu atau satu nol kali kesepian itu mampu meradang sampai ke otak

Setiap kali sepi itu menyusup,

dia datang mencungkil harapanku tentangmu

Lalu melangkah meninggalkan lubang

Memusnahkan harapan itu di ruang hampa ini

Dan aku kian sekarat

Tertidur dalam butiran tangis tiap kali malam menyengat

Membuatku merindu untuk sebuah nama yang hangat

 

Segala sisi hidupku mulai remuk termakan getir

Tak terbilang banyaknya aku terjerembak dikepiluan tanpa tepi

Mungkin sang hati teramat tandus hingga renjana

Yang kemudian mati tanpa jejak rasa

 

Hanya saja sekali itu warasku memimpin di depan

Memerintahkan hati untuk mampu bertahan lagi

Menyusun strategi untuk bisa menang dalam perseteruan sengit

Menggempur sepi pilu dan begundal yang kian lama meraja

 

Kewarasan menuntun kepada esensi sebuah penyerahan hidup tertinggi

Doa yang selama ini teramnesia dalam gulita pekat

Satu-satunya amunisi terakhir untuk bisa bernyawa layaknya manusia

 

Semuanya berawal dari doa, kekuatanku hanya doa

Langit-langit tembok biru ini mungkin bisa dikorek sebagai saksi

Banyak doa yang begitu tebal menempel saat tanganku mulai terlipat pagi malam

Saat aku sekarat dalam sepi dan pedih menantimu

 

Hingga aku berdiri di satu titik pemikiran yang harusnya kamu pahami

Mungkin penantian hanyalah cara Tuhan untuk melatih kesetiaan

Mungkin waktu sedang mempersiapkan kita untuk menjadi pasangan yang melengkapi

Mungkin Tuhan ingin kamu mengetahui bahwa aku berteman baik dengan penantian tanpa penat

 

Aku mulai memahami dan kian meresapi 

Bahwa kamu memiliki masanya sendiri untuk hadir dihidupku

Yang datang di waktu yang tepat

Tanpa aku harus menggerutu kepada Tuhan untuk dipercepat

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Santi Dheone Photo Writer Santi Dheone

Impian terbesarku adalah bisa mengalahkan dia. Dia yang selalu menghentikanku melangkah. Keraguan aku membencinya dalam. | ig : @santidheone_samosir

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya