[Puisi] Aku dan si Begundal Sepi
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Demi kamu yang kunanti tanpa penat,
biarkan aku menyuarakan lagu sendu ini sebagai obat.
Mungkin di hari-hari ku lebih banyak tanya yang kuajukan tentangmu.
Apa kesukaanmu?
Apa yang kamu lakukan selama ini tanpa ada aku?
Berapa wanita yang pernah menyinggahi hati itu?
Kapan aku dan kamu dipertemukan?
Bagaimana kisah pertemuan aku dan kamu kali pertama?
Momen apa yang membuat kita sepakat aku dan kamu adalah sebagian hidup satu sama lain?
Tanggal berapa yang akan menjadi tanggal terindah saat aku dan kamu sudah menjadi “kita”?
Semua itu pada ujungnya masih sekedar tanya yang belum ada jawabnya
Dan sampai saat ini, aku masih melekat dalam sebuah penantian
Aku selalu berbicara kepada semesta tentang kamu yang adalah sebuah rahasia
Berharap mereka memberi jejak untuk ku kenal sedikit kamu
Aku meminta angin malam menghembuskan aroma tubuhmu
Tapi yang tercium hanyalah bau kesepian
Aku meminta bintang untuk merangkai wajahmu
Tapi yang terlihat hanyalah wajahku yang larut dalam keletihan
Menantikanmu tak pernah mudah
Bukan tentang nol satu atau satu nol kali kesepian itu mampu meradang sampai ke otak
Setiap kali sepi itu menyusup,
dia datang mencungkil harapanku tentangmu
Lalu melangkah meninggalkan lubang
Memusnahkan harapan itu di ruang hampa ini
Dan aku kian sekarat
Tertidur dalam butiran tangis tiap kali malam menyengat
Membuatku merindu untuk sebuah nama yang hangat
Segala sisi hidupku mulai remuk termakan getir
Tak terbilang banyaknya aku terjerembak dikepiluan tanpa tepi
Mungkin sang hati teramat tandus hingga renjana
Yang kemudian mati tanpa jejak rasa
Hanya saja sekali itu warasku memimpin di depan
Memerintahkan hati untuk mampu bertahan lagi
Menyusun strategi untuk bisa menang dalam perseteruan sengit
Menggempur sepi pilu dan begundal yang kian lama meraja
Kewarasan menuntun kepada esensi sebuah penyerahan hidup tertinggi
Doa yang selama ini teramnesia dalam gulita pekat
Satu-satunya amunisi terakhir untuk bisa bernyawa layaknya manusia
Semuanya berawal dari doa, kekuatanku hanya doa
Langit-langit tembok biru ini mungkin bisa dikorek sebagai saksi
Banyak doa yang begitu tebal menempel saat tanganku mulai terlipat pagi malam
Saat aku sekarat dalam sepi dan pedih menantimu
Hingga aku berdiri di satu titik pemikiran yang harusnya kamu pahami
Mungkin penantian hanyalah cara Tuhan untuk melatih kesetiaan
Mungkin waktu sedang mempersiapkan kita untuk menjadi pasangan yang melengkapi
Mungkin Tuhan ingin kamu mengetahui bahwa aku berteman baik dengan penantian tanpa penat
Aku mulai memahami dan kian meresapi
Bahwa kamu memiliki masanya sendiri untuk hadir dihidupku
Yang datang di waktu yang tepat
Tanpa aku harus menggerutu kepada Tuhan untuk dipercepat
Editor’s picks
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.