[NOVEL] Miss Sanguine-BAB 3

Penulis: Pikadita

Snot

 

Sasa berdiri di antara ratusan orang yang berdesakan menunggu kereta datang. Dari tempatnya berdiri, Sasa mendengar bahwa commuter line tujuan Bogor akan segera tiba. Orang-orang di samping kanan kirinya pun sudah mulai membuat pergerakan.

Commuter line tiba. Sasa ikut-ikutan nekat. Yang penting bisa masuk ke gerbong. Urusan tempat duduk jadi nomor belakangan. Lagian mendamba tempat duduk di jam seperti ini bagaikan kerak bumi merindukan langit. Toh, berdiri pun nggak mungkin jatuh. Saking padatnya, Sasa bisa mengandalkan tubuh orang lain sebagai penyangga. Ia tinggal berdiri lentur, mengikuti ke mana saja arah gaya yang tercipta di dalam kereta akan membawa tubuhnya, saling menahan satu sama lain bersama tubuh-tubuh berkeringat lainnya. Jika saja diibaratkan seperti sebuah puzzle, maka kepingannya akan saling berkaitan satu dengan lainnya. Jadi tidak usah takut akan berhamburan.

Perlahan-lahan kereta berhenti. Pintunya terbuka tepat di hadapan Sasa. Gadis itu merangsek ke bagian tengah. Dengan tubuhnya yang mungil, ia hanya akan tahan beberapa menit menggenggam hand strap karena lelah berjinjit. Ia mengatur berdirinya untuk meminimalkan risiko terdorong. Gadis itu merogoh saku sweter dan mengambil earphone. Dipasangnya benda itu di telinga dan mendengarkan Queen dengan lagunya yang berjudul "Killer Queen". Lagu itu cukup mewakili perasaannya hari ini.

Gadis itu merenung memikirkan kehidupannya. Di titik inilah hidup Sasa seperti akan berakhir. Patah hati rupanya bisa memorakporandakan hidupnya dalam satu langkah. Sambil mendengarkan lagu "Killer Queen" berulang-ulang, Sasa menggeser-geser layar ponselnya. Ia sedang menghapus foto-foto berdua dengan Windu yang ia simpan selama ini.

"Bego banget sih gue?!" gumamnya. Dilepasnya ikatan rambut agar wajahnya yang sedih tak terlihat. Ia pun menangis di tengah keramaian, dan tidak ada yang peduli. 

"Sial," rengeknya di dalam gerbong. Sasa mencoba meraih lagi hand strap yang lebih dulu dipegang seorang pria. Tubuh lelaki itu tegap, tinggi menjulang, dan rambut sebahunya diikat rapi ke belakang. Sasa menyerah. Saingan dalam merebutkan hand strap dengan cowok tinggi itu bukan tandingannya.

"Masa bodoh dengan hand strap." Gadis itu tak peduli. Ia sedang sedih dan semua orang harus memakluminya.

Seorang wanita bermasker yang duduk tepat di depan Sasa menyadari kalau Sasa tengah menangis. Maskara di mata Sasa mulai luntur hingga ke pipi. Namun, semua rasa simpatinya hilang ketika Sasa berusaha menyeka air mata dan tanpa disadari, cairan bening dari rongga hidungnya turut berpartisipasi dalam kesedihan. Perempuan itu melengos, kemudian berpura-pura tidur lagi.

Sasa menunduk. Pria bertubuh tegap tadi masih berdiri di sebelahnya. Usianya sekitar tiga puluh, jadi kemungkinan beda lima tahun dari Sasa. Karena wangi yang lelaki itu hasilkan seolah punya magnet, Sasa jadi ingin menempel ke pundak itu.

Dia boleh ambil hand strap-nya. Tapi gue butuh pundak itu, pikirnya. Andaikan ada yang berbaik hati meminjamkan sebuah pundak.

Karena tak tahan lagi dengan kesedihan yang ia rasakan, air matanya terus saja berlinangan. Sasa mengusap lagi air matanya dengan tisu. Kalimat yang Windu ucapkan saat mengungkapkan perasaannya terhadap Mira terus berulang di pikirannya. Aku suka Mira. Itu akan menjadi mimpi buruknya malam ini.

Sesaat lagi kereta akan berhenti di Manggarai. Gaya dorong di dalam kereta pun membawa tubuhnya miring ke samping. Tanpa bisa dihindari, keringat, air mata, dan ingusnya pun terseka dengan sempurna ke lengan kemeja berwarna biru tua milik lelaki tinggi yang berdiri di dekatnya tadi.

"Mbak!!!" sentak pemilik kemeja biru tua. Ternyata lelaki itu sudah memperhatikan Sasa yang sejak tadi menangis, lebih tepatnya ingusan.

Kali ini lelaki itu berkata pelan, nyaris berbisik, tetapi kedua rahangnya terlihat mengencang. "Jangan ngelap ingus sembarangan, dong!" Kedua bola mata lelaki itu pun memelotot.

Tanpa sadar, Sasa malah menangis lebih keras. Tangisannya menyita perhatian para penumpang. Setiap orang yang berada di dalam gerbong itu menatap sang lelaki dengan tatapan curiga.

"Orang cabul nih pasti!" seru seorang pria di ujung gerbong sambil menunjuk-nunjuk.

"Hajar aja! Dasar ngeres," timpal yang lainnya dan diikuti oleh teriakan dari orang-orang di dalam gerbong.

Lelaki itu pun kebingungan sendiri dengan situasi yang ia alami sambil berusaha membela diri. Sementara Sasa yang masih sesenggukan tak mampu bicara apa pun. Sasa tidak mampu menjelaskan kesalahpahaman itu karena suara orang-orang jauh lebih keras. Ia ingin berteriak, tapi tidak bisa. Sasa takut rahangnya tidak bisa menutup seperti tragedi tertawa lima jari yang pernah ia alami.  

Seorang wanita mendekati Sasa dan merangkul pundaknya sembari berusaha menguatkan gadis itu. Kemudian petugas gerbong bersama beberapa orang yang sedang emosi menyeret lelaki itu keluar. Wanita yang bersama Sasa tadi dengan sukarela menuntun Sasa keluar gerbong mengikuti petugas tadi ke kantor stasiun.

Tanpa ampun, kerumunan orang dari dalam gerbong kereta menyeret Haris hingga kemejanya kusut. Hiburan gratis bagi orang-orang di peron yang tak tahu-menahu. Bahkan, ada beberapa orang yang mengambil ponsel dan mulai merekam.

"Saya nggak ngapa-ngapain, apalagi cabul sama dia!" Haris berusaha menyakinkan orang-orang salah paham itu, tapi tak ada yang mau mendengar. Haris digelandang ke kantor keamanan stasiun.

"Pak, ini ada orang cabul di kereta, Pak," hujat seorang bapak yang sedari tadi mencengkeram lengan Haris dengan kasar.

"Enggak, Pak! Sumpah saya enggak ngapa-ngapain," bela Haris yang hampir dikeroyok. Beberapa orang bahkan ada yang menjambak kuciran rambut Haris.

"Mas-mas, coba tolong dilepas dulu. Jangan main hakim sendiri," ucap kepala keamanan stasiun yang bertubuh gempal. Massa yang sedang emosi menurutinya. Satu orang dari mereka membawa Haris duduk menghadap ke bapak bertubuh gempal. Orang-orang itu masih betah di dalam ruangan seluas 3x3 meter. Mereka ingin menyaksikan kelanjutan ceritanya.

Beberapa saat kemudian, Sasa pun menyusul Haris duduk di hadapan Kepala Keamanan Stasiun.

"Pak, saya nggak ngelakuin apa-apa. Sumpah. Justru cewek ini yang sudah bikin kemeja saya kotor."

"Wooo, jangan percaya, Pak," sela orang-orang kurang kerjaan itu.

Kepala keamanan tadi melambaikan tangan dan berusaha untuk menenangkan massa. "Memang baju kamu kenapa?" tanyanya kemudian.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Cewek ini ngelap ingus ke baju saya, Pak." Haris mengadu sambil menunjukkan lengan bajunya yang kotor dan agak basah.

Niat awal ingin meluruskan kesalahpahaman ini, Sasa malah dongkol mendengar kata-kata Haris barusan.

Di barisan penonton, seorang pria langsung menatap nanar kedua telapak tangannya. Pria itu mencoba mengingat sesuatu. Ia yang mencengkeram lengan kiri Haris kuat-kuat. Kemungkinan pas di tempat yang barusan Haris tunjuk, lengan baju yang terkena ingus. Pria itu langsung kabur untuk mencari sumber air bersih terdekat.

"Benar seperti itu kejadiannya, Mbak?" tanya kepala keamanan kepada Sasa.

Gadis itu mengangguk kesal.

"Terus kenapa Mbak tadi menangis di dalam gerbong?" tanya kepala Keamanan kepada Sasa.

Gadis itu diam saja. Ia malas menjelaskan alasan ia menangis tadi. Lagi pula menangis, kan, bukan keinginannya. Kalau boleh memilih, ia ingin tertawa terbahak-bahak saja.

Karena Sasa diam saja, Haris berbicara lagi. "Pak, gini, ya. Saya nggak terima difitnah seperti ini. Saya diseret dari gerbong sampai ke sini, kayak maling. Dilihatin banyak orang. Sekarang siapa yang mau tanggung jawab?" Kini Haris melirik Sasa yang termangu di sebelahnya. "Heh, ngomong!" sentak Haris sambil memukul meja di depan Sasa.

Kepala Sasa terangkat. Ia menatap Haris lekat-lekat. "Pertama, gue enggak sengaja meperin ingus. Tadinya gue mau minta maaf. Belum sempat minta maaf, lo marah neriakin gue."

"Jadi kamu mau bilang kalau itu salah saya? Kalau keringat sih masih nggak apa-apa. Lah ini ... ah, sudahlah. Saya nggak mau tahu, bilang sama orang-orang ini kalau saya nggak cabul!"

Sasa menoleh ke belakang dengan ragu. Setengah hati ia berkata, "Mas ini nggak cabul."

"Apa? Saya nggak bisa dengar!" seru Haris.

"Mas baju biru ini ...."

"Haris," potongnya untuk menerangkan nama aslinya.

"Mas Haris enggak cabul. Saya minta maaf," ujar Sasa.

"Nah, kan, clear ya. Saya mau pulang sekarang!" Haris bangkit dari kursi dan melewati kerumunan orang yang tadi menggelandangnya. Ia berhenti sebentar lalu berkata, "Kalian orang-orang kurang piknik! Ngebedain mana yang cabul, mana yang enggak aja, nggak bisa. Payah!"

Haris bergegas menuju peron, bergabung bersama penumpang lainnya. Mengulang lagi proses menunggu kereta yang seharusnya hanya sekali.

Dari arah belakang, Sasa menyusul Haris. Gadis itu menyusup tepat di depan Haris. Lelaki itu mengusap wajahnya dengan telapak tangan sambil meletakkan tangan lainnya di pinggang.

"Saya nggak habis pikir sama orang kayak Mbak ini. Bisa-bisanya buat orang lain susah," omel Haris.

"Kan tadi gue sudah minta maaf," celetuk Sasa.

"Terus ngapain masih ngikutin saya?"

"Apa? Ngikutin? Enak aja."

"Kalau nggak ngikutin, terus apa namanya?"

Sasa memutar kedua bola matanya. "Tahu nggak kalau di dalam kamus bahasa Indonesia itu ada kata kebetulan?" Gadis itu melengos dan langsung bergeser ke gerbong sebelahnya.

Haris menggelengkan kepalanya sambil sesekali memijat kening. Lelaki itu mengatur napas dan mencoba menjadi orang normal lagi. Diambilnya ponsel dari saku dan ia mengetik sebuah pesan singkat kepada seseorang.


Nad, maaf saya agak telat. Ada sedikit masalah di jalan. Saya masih di Manggarai. Nanti saya langsung ke tempat kamu ya begitu sampai Depok. Tunggu saya.

***

Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

www.storial.co
Facebook: Storial
Instagram: storialco
Twitter: StorialCo
YouTube: Storial co

Baca Juga: [NOVEL] Miss Sanguine-BAB 4

Storial Co Photo Verified Writer Storial Co

#CeritainAja - Situs berbagi cerita | Baca ribuan cerita seru dan tuliskan ceritamu sendiri di Storial!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yudha

Berita Terkini Lainnya