[PUISI] Hujan Bulan September 

Tentang seseorang yang memilih sakit hati daripada bertahan

Tepat setahun ku teringat akan sebuah kepergian yang tak pernah ku harapkan
Pernah menjadi utama lalu hancur semaunya
Puing-puing kenangan memporak-porakndakan harapan serta impian untuk kekal bersama bidadari impian
Sebuah tragedi mengenaskan dari sekumpulan rasa yang terasa sia-sia
Menghujam perasaan menyertai basahnya pipi oleh tangisan kisah yang memilih untuk menyerah

Kupikir kau sungguh ingin melengkapi
Tetapi kau hanya singgah untuk menemani
Seperti menggenggam asa pada harapan yang tak bermuara
Menikam kejam perasaan menyertai kepergian yang tak pernah ku harapkan
Katamu aku bukan lagi senja di langit soremu
Katamu sinarku telah hilang dan digantikan oleh sinar yang baru

Kita dulu sedekat nadi dan sekarang sejauh nadir dalam kenangan yang kini kian getir
Darimu aku belajar bahwa level tertinggi dari mencintai ialah mengikhlaskan sesorang untuk sebuah alasan kepergian
Bila mencintaimu adalah sebuah perjuangan
Maka aku ucapkan selamat untukmu yang telah merdeka
Dari perasaanku yang lenyap bersemayam, karena dia yang kau sembunyikan diam-diam
Sengaja meniadakan rasa adalah caraku melupakanmu
Kenangan yang terlanjur dikisahkan dan kenyamanan yang lahir dari ekspektasi
Kini telah tumbuh dewasa bersama luka yang setia mengasuhnya

Tak terasa dinding rumah terasa dingin oleh terpaan air hujan yang meresap masuk ke dalam rasa yang kian asing, sebab dahulu hadirmu selalu menghangatkan
Lagi-lagi aku gagal dan berhasil dikalahkan oleh ingatan
Dalam sunyinya malam yang kini kian sepi terutama tak ada lagi hadirmu di sini
Rasaku kini telah lenyap bersama kilauan yang menghilang bersama kepergian
Merasuk pada nurani yang sempat luluh namun kini telah runtuh

Sunyi malam seirama dengan hasrat yang tamat
Cincinmu tersemat, jantungku terlumat
Menyuarakan tangisan yang selama ini aku pendam
Kini, bangku kosong seirama dengan hasrat yang telah tamat
Mencekik setia yang kurawat sendiri
Sebab, hadirmu telah diganti sepi

Pada akhirnya kita adalah diorama yang tak berirama
Sejalan namun tidak berdampingan
Membekas dan hanya sebatas
Sekedar momen bukan komitmen
Terima kasih atas segala rasa meski pada akhirnya ia tetap menjadi fana

Baca Juga: [PUISI] Semadiku di Pangkuan Malam

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Jurnalis Liverpool Photo Writer Jurnalis Liverpool

Mahasiswa Ilmu Komunikasi dan Multimedia semester 7 yang menyukai dunia jurnalistik dan sudah menerbitkan belasan ribu berita di platform media online lain. Serta hobi traveling dan menulis puisi.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Kidung Swara Mardika

Berita Terkini Lainnya