[PUISI] Demonstrasi Kita

Gaduh frasa demonstrasi kita

Ku longok jendela bus kota

Ah' ini sudah waktunya

Turun!, turun!! teriak pria diluar bak kondekturnya

Lagi-lagi penumpang jadi pendestrian seketika

 

Lain hari aku berjalan ditengah kota

Awas!awas!! jangan lewat sana!, teriak perempuan tua dengan takutnya

Kulongok didepan sana, ribuan massa dengan spanduk warna-warninya

Ah' berputar-putar lagi si roda dua

 

Lusa kupikir kau tak lagi ada

Tiba-tiba kau bilang," ini momen aspirasi kita", tapi....

itu terlihat bagai ketidak adilan terhadap alam kita

Kau bakar karet-karet hitam bundar hingga membumbung gumpalan asap hitam pekat ke udara

Lalu siapa yang menampung jeritan alam kita?

Haruskan aku hidup di zaman kekeringan juga?

 

Bukan ku tak perduli rakyat dan pelit bersuara,

Hanya saja ku tak ingin nuraniku tenggelam dalam era perdebatan

Perdebatan yang seolah tak ada ujungnya

Perdebatan tentang kekuasaan, kebesaran dan melulu soal uangnya

 

Haruskah kebersedian membela kuumbar-umbarkan?

Haruskan keberanian bersuara kuucapkan secara serampangan?

 

Ayah bilang, "selongsong ketidak percayaan akan selalu menghujami setiap kepemimpinan dan,

perang idealisme adalah yang meruntuhkan"

Tapi, ayah...jangan bertanya kenapa aku masih terdiam

Sebab ini bukanlah diamnya diam

Diamku adalah diskusi sunyi dengan Tuhan

 

Menutup mata mengingat kejadian

Barikade aparat menghadang anarki sang demonstran

Air menyembur mengguyur amarah jeritan

Dengan dua kata kumulai diskusi mendalam,

Berbisik tentang gaduh frasa demonstrasi kita

 

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Zettel Kummervoll Photo Writer Zettel Kummervoll

I am all ears

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya