[Cerpen] Koruptor Tanpa Korupsi

 

Begitu pesawat Saudi Arabian Airlines mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Faisal gelisah. Serangkaian berita miring yang dia pantau selama di Mekkah jadi penyebabnya. Ibadah umroh yang tengah dijalaninya sedikit tergangu kekhusukannya. Kasus korupsi pembangunan gedung kantor tempatnya dulu bekerja membuat reputasinya sebagai mantan pejabat yang bersih, bisa hancur berantakan.

Kabar dari staf pribadinya, Faisal dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru sebagai saksi. Memorinya diaduk-aduk, mengingat kembali pelaksanaan proyek tersebut. Rasanya lurus-lurus saja, tidak ada uang terima kasih dari kontraktor pelaksana proyek, tidak juga ada surat perintah perjalanan dinas (SPPD) fiktif. Bahkan kadang-kadang Faisal defisit uang lembur. Jam kerja lembur yang dilakukannya jauh lebih banyak dari honor lembur yang diterima. Begitu lurusnya sampai kolega dan mantan istrinya menilai sebagai orang pintar yang bodoh. Sudah menjadi pejabat tapi miskin. Istrinya akhirnya minta cerai enam tahun lalu. Berat dipenuhi, tapi tak kuasa ditolak Faisal.

Menyusuri lorong bandara, denyut jantung Faisal berdegup kencang. Haahhh! Faisal jadi gampang terkejut hanya karena seseorang menyenggol bahunya tanpa sengaja, karena banyaknya jamaah umroh yang baru pulang bersamanya.

Faisal menyempatkan diri melihat televisi di ruang pengambilan bagasi. Haaaaaa! Running text berita sebuah stasiun televisi menyebutkan, Faisal telah ditetapkan menjadi tersangka korupsi dan akan ditahan begitu pulang ke Indonesia. Belum diperiksa sebagai saksi sudah dijadikan tersangka? Faisal hanya bisa menggumam gelisah.

Perasaan Faisal makin galau. Bagaimana bila nanti dia ditangkap petugas di Bandara Soekarno-Hatta? Ratusan pasang mata jamaah umroh yang berangkat bersamanya dan pengguna bandara lainnya menjadi saksi perubahan statusnya, dari tokoh agama dan tokoh anti korupsi menjadi tersangka koruptor.

Setelah tidak lagi menjadi pejabat, Faisal kembali mengajar di kampus-kampus negeri maupunn swasta, serta menjadi pegiat gerakan anti korupsi. Aktivitas yang membuatnya sering berpergian ke luar negeri, mengikuti workshop atau seminar pencegahan dan penanggulangan korupsi. Sebagai seorang muslim, Faisal juga semakin tekun beribadah untuk mengisi hari tuanya. Bahkan sesekali diminta menjadi khatib shalat Jumat. Harus ditaruh di mana muka Faisal, apabila ternyata benar-benar menjadi tersangka korupsi? 

Usai mengambil bagasi, Faisal melangkah perlahan menuju teras terminal, memisahkan diri dari rombongan jamaah umroh usai berpamitan dengan ustadz yang memimpin rombongan. Digantinya peci putih yang dikenakannya sejak dari Mekkah dengan topi yang bisa sedikit menutupi wajahnya.

Haahhh! Faisal kembali terkejut, melihat seseorang membawa kamera di antara para penjemput yang menunggu di teras terminal kedatangan. Ragu Faisal melangkah keluar.

Hemmh. Perasaannya agak tenang, si kamerawan justru menghampiri mobil yang baru datang dan terus pergi. Langkah Faisal sedikit mantap keluar dari bandara.

Faisal sudah meminta Pak Mamat, supir pribadinya, tidak usah menjemput. Perasaan yang nggak enak mendorongnya lebih memilih naik bus Damri.

Cuiiiit! Sebuah mobil direm mendadak. Reflek Faisal menengok ke belakang. Wajahnya langsung pucat, dari dalam Nissan Terrano yang baru berhenti, keluar dua orang yang segera bergegas ke arahnya.

“Maaf, apa benar ini dengan Pak Faisal?” tanya salah seorang begitu sopan dan halus.

Faisal diam, mengamati si penanya dari ujung kaki hingga ujung rambut. Lalu memperhatikan sekelilingnya. Nissan Terrano itu seperti menunggunya. Dua orang tampak berdiri dekat mobil.

“Ya, ada apa ?”

“Kami dari KPK ditugaskan menjemput Bapak.” Salah seorang menunjukkan identitasnya. Dari rompi yang dikenakan kedua orang itu, Faisal juga bisa membaca dengan jelas kedua orang itu memang petugas KPK.

“Baik, itukah kendaraannya?” Faisal melihat ke arah Nissan Terrano. Orang itu mengangguk. Khawatir diketahui banyak orang Faisal bergegas mengikuti kedua petugas menuju mobil dan meninggalkan bandara.

Plong! Untuk sementara perasaan Faisal agak lega. Momentum terburuk dalam perjalanan hidupnya urung terekam kamera televisi. Yah, siapa ingin lembaran buram dalam sejarah hidupnya diketahui semua orang. Tentu saja setiap orang ingin semua orang membaca sejarah hidupnya yang tertulis dengan tinta emas, bukan dalam lembaran hitam.

Haahhh! Sehari kemudian, keterkejutan masih berlanjut mengakrabi Faisal. Seorang jaksa yang dulu dinilainya korup dan sering disorot media, menjadi anggota tim penyidiknya. Ini bisa menjadi semacam pembusukan terhadap lembaga anti korupsi, malah bisa memunculkan serangan balik terhadap para pegiat gerakan anti korupsi. Jaksa seperti itu kok bisa direkrut jadi penyidik KPK, apa yang merekrut tidak mempelajari track record-nya? Faisal hanya bisa menggerutu dalam hati.

Setelah menanyakan identitas dan kondisi kesehatan, tim penyidik mulai mengajukan beberapa pertanyaaan. Faisal merasakan jaksa seterunya menatap dingin dan sinis. Penyidik lainnya juga dirasakan Faisal melihat dengan tatapan kurang simpatik, meski tentu saja berbeda latar belakangnya karena Faisal belum mengenalnya. Barangkali mereka sebelumnya tahu reputasi Faisal sebagai pegiat gerakan anti korupsi, sehingga seketika menjadi sinis saat Faisal malah menjadi tersangka korupsi.

“Sebagai Kuasa Penguna Anggaran (KPA) tahukah saudara bahwa pembangunan gedung kantor di kementerian saudara dinilai merugikan pemerintah?” tim penyidik langsung masuk pada pokok persoalan.

“Tidak. Biaya pembangunan gedung itu bahkan lebih rendah dari engineer's estimate maupun owner’s estimate,” jelas Faisal.

“Kalau begitu, berarti kontraktor hanya mendapatkan keuntungan sedikit dari proyek tersebut.”

“Pertanyaan itu tidak relevan.”

“Itu bukan pertanyaan, tapi kesimpulan saya yang akan dilanjutkan dengan pertanyaan. Dengar baik-baik. Kalau kontraktor hanya mendapatkan keuntungan sedikit, tapi masih harus mengeluarkan komisi, pasti ada pekerjaan yang diturunkan, baik kuantitas maupun  kualitasnya. Apa pendapat saudara sebagai KPA?”

“Tidak ada laporan seperti itu dari konsultan pengawas.”

“Tentu saja, karena sudah Saudara rencanakan bersama kontraktor dan konsultan pengawas sejak awal pelaksanaan pekerjaan?” jaksa seterunya langsung memvonis.

“Saudara penyidik, bukan provokator,” jawab Faisal sengit.

“Bukankah saudara sendiri ikut menerima komisi dari kontraktor pelaksana proyek?” penyidik yang lain ganti bertanya.

“Tidak!” jawab Faisal tegas.

“Saudara tentu tahu, jika berbohong bisa kena delik memberikan keterangan palsu. Jadi jawab saja pertanyaan dengan jujur,” jaksa seterunya lebih terasa menyindir ketimbang mengingatkan.

“Saya berkata sejujurnya. Saya tidak menerima komisi apapun dari kontraktor pelaksana proyek.”

“Lihat ini!” jaksa seterunya menyerahkan tiga lembar kertas.

Haaahhhh! Faisal terkejut. Satu lembar kuitansi ditanda-tangani istrinya bernilai Rp1,5 milyar dan 2 lembar bukti transfer ke rekening istrinya masing-masing Rp500 juta.

“Bukti ini kami dapatkan dari kontraktor. Apa tanggapan saudara?”

“Saya ... saya ... tidak tahu kalau mantan istri saya menerima uang sebanyak itu.” Faisal jadi gagap bicara sedemikian kagetnya.

"Sekarang mantan istri, waktu menerima masih menjadi istri Saudara kan? Atau perceraian Saudara memang untuk mengaburkan jejak harta-harta hasil korupsi? Diam-diam Saudara masih menikmati harta yang sudah diamankan mantan istri Saudara?"

Faisal menggeretakkan giginya. Emosi, tapi hanya bisa menggerutu dalam hati. Tak bisa membantah. Fakta kelakuan mantan istrinya sudah jelas terbukti.

“Sebagai pakar hukum pidana, saudara tentu tahu ketika bukti sudah cukup kuat, ada tidaknya pengakuan tersangka menjadi tidak penting lagi,” tegas salah seorang penyidik.

“Lagi pula sebagai pegiat gerakan anti korupsi, Saudara sering mengatakan tidak ada koruptor yang mau mengaku. Selalu ada dalih untuk mengelak dari tuduhan korupsi,” sindir jaksa seteru Faisal.

"Yang juga perlu diingat, Saudara dikenal sebagai tokoh agama tentu tak pantas untuk berbohong," lanjut penyidik lainnya.

Faisal terdiam. Langit rasanya mau runtuh. Ibarat seorang petinju, Faisal baru saja terkena killing punch lawan, mencium kanvas dan tinggal menunggu hitungan kesepuluh untuk dinyatakan kalah KO!  

Usai penyidikan, Faisal termenung di ruang tahanan. Mantan istrinya mengantongi Rp2,5 milyar sebelum minta cerai. Tak ada peluang untuk lepas dari dakwaan. Tak mungkin berdalih tidak tahu istrinya menerima uang. Tak ada yang peduli, komunikasi dalam rumah tangganya begitu buruk. Tak akan ada pula yang bakal percaya, mantan istrinya menerima Rp2,5 milyar tanpa sepengetahuannya. Karena saat itu memang statusnya masih sebagai istri Faisal. Sebagai orang yang paham hukum, Faisal merasa akan sia-sia jika dia membantahnya. Bisa-bisa malah semakin mempermalukan dirinya, karena persoalan rumah tangganya semakin terbuka semua dan menjadi konsumsi publik.

Segalanya berjalan cepat. Persidangan berlangsung mulus. Faisal divonis empat tahun penjara. Pengacaranya membujuk Faisal agar naik banding, kalau perlu sampai kasasi dan peninjauan kembali.

“Tidak. Saya terima hukumannya. Ini sudah adil,” tolak Faisal.

“Tapi, Bapak kan tidak menerima komisi itu. Bapak tidak korupsi!”

“Benar, saya tidak menerima komisi itu, makanya saya tidak dibebani ganti rugi. Tapi saya bersalah,” tegas Faisal.

“Bapak salah apa?” pengacaranya tidak habis mengerti.

“Saya bersalah dan pantas dihukum bukan karena korupsi, tapi karena tidak bisa mendidik istri agar tidak korupsi. Saya bisa saja lepas dari jeratan UU Korupsi yang menjadi dakwaan primair, karena tidak ada pelanggaran hukum atau penyalahgunaan wewenang yang saya lakukan. Saya juga bisa berkelit dari jeratan Pasal 56 KUHP sebagai dakwaan subsidair, terkait memberi kesempatan sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan korupsi. Tapi saya tidak bisa mengelak dari tanggung jawab moral seorang suami yang seharusnya mendidik istri,” jelas Faisal. 

Pengacaranya diam.