[Cerpen] Perempuan Bercadar Ungu itu Istri Temanku

Istri yang susah diatur atau suami yang kebanyakan aturan?

Sudah hampir lima belas menit Ramli duduk di ruang tamu kantor Dinas Arsip. Dia ingin mendapatkan dokumen-dokumen yang hendak digunakan untuk referensi penelitiannya.

Tadi resepsionis hanya mempersilahkannya menunggu di ruang tamu kantor. Usai mendengarkan maksud kedatangan Ramli, resepsionis itu memang kemudian berbicara sebentar melalui telpon, tampaknya menghubungi orang yang bertugas menemui Ramli.

"Mohon ditunggu, Pak. Bu Esti masih menyelesaikan tugas lain," jelas resepsionis itu sambil meletakkan telepon.

"Terima kasih, Mbak Vera."

Ramli sempat melirik dan membaca name tag yang tersemat di dada resepsionis itu, sehingga sambil mengangguk hormat, bisa segera menyebut namanya. Vera membalas dengan senyum ramah.

Setelah lima belas menit berlalu, kebosanan mulai menyergap. Hendak mencoba membuangnya dengan mengajak Vera mengobrol, tak enak rasanya. Beberapa kali tampak Vera sibuk menelpon, menerima pesan lalu menyampaikannya lagi melalui telepon juga.

Tanpa sadar Ramli jadi mengamati gerak-gerik Vera.

"Maaf Pak, telah membuat lama menunggu."

Agak terkejut Ramli, menyadari sudah ada perempuan di dekatnya. Terlalu asyik memperhatikan Vera sampai Ramli tidak menyadari, Bu Esti yang tadi disebut Vera, datang menghampirinya.

"Tidak apa, Bu Esti. Saya malah minta maaf jadi mengganggu tugas lainnya," ujar Ramli sekadar basa-basi.

Penampilan Bu Esti juga mengejutkan Ramli, membuatnya agak canggung. Belum pernah sebelumnya Ramli mengobrol dengan perempuan bercadar. Kini orang yang harus ditemui dan nantinya juga tempat berkonsultasi, adalah seorang perempuan bercadar.

"Ada yang bisa saya bantu?" Esti memulai obrolan dengan sapaan standard petugas pelayanan publik.

Ramli menjelaskan rencana penelitian sejarah Kebumen, kota tempat tinggalnya dan dokumen-dokumen yang dicarinya.

"Tidak semua dokumen yang Bapak perlukan ada di sini. Mungkin ada yang bisa diperoleh di ANRI, Arsip Nasional Republik Indonesia. Sebagian lagi barangkali adanya malah di Belanda," respon Esti setelah membaca daftar dokumen yang disodorkan Ramli.

"Aduh, rasanya tua sekali saya dipanggil bapak," Ramli mencoba mencairkan suasana agar tak terlalu terkesan formal.

"Saya juga dipanggil ibu, ya balas memanggil bapak," sergah Esti.

Kalau tidak memakai cadar, Esti pasti berkata seperti itu sambil tertawa. Ramli hanya membatin.

Pengetahuan dan wawasan Esti tentang dokumen sejarah banyak membantu Ramli. Walau dokumen yang dibutuhkannya tidak selalu ada, Ramli bisa mendapatkan informasi dari Esti di mana kemungkinan bisa mendapatkannya.

"Maklum, Mas. Kita belum lama membenahi dokumen dan arsip. Baru mencakup dokumen dan arsip tahun 1960-an sampai sekarang yang bisa dikompilasi lalu dibuat arsip digitalnya. Untuk sebelum tahun 1960-an masih proses," jelas Esti.

"Tidak apa-apa. Ini sudah cukup banyak membantu saya."

Pertemuan berlanjut sampai beberapa kali. Ramli merasakan keterbukaan sikap Esti dalam memberikan pelayanan kepada publik seperti dirinya. Asumsi tentang perempuan bercadar yang selama ini ada dalam pikirannya seketika berubah. Semula dianggapnya perempuan bercadar pasti tertutup komunikasinya. Paling hanya terbuka dengan orang tertentu saja. Ternyata Esti tidak. Dengan Ramli yang baru dikenalnya, Esti bisa bersikap terbuka, tidak pelit bicara untuk menjelaskan sesuatu dan selalu memberikan jawaban yang lengkap bila ditanya.

Perempuan bercadar ungu itu orangnya terbuka. Bercadar ungu. Ramli baru ingat. Esti selalu memakai cadar ungu. Dari beberapa kali pertemuan dengan Ramli, meski mengenakan pakaian dan jilbab dengan warna yang berbeda, namun cadar yang dipakai selalu berwarna ungu.

"Cuma punya cadar satu ya, Mbak? Sepertinya tidak pernah ganti."

Setelah beberapa kali menemui Esti di kantornya, Ramli mulai berani bergurau, mengobrol di luar topik penelitian yang sedang dikerjakannya.

"Nggak lah, banyak. Warnanya semua sama, ungu. Mas Ramli mau? Mungkin istrinya hendak disuruh pakai cadar juga."

Jawaban Esti santai, tapi sangat menohok. Tanpa disadari Ramli jadi gugup sendiri menghadapi serangan balik yang tak terduga.

"Owh begitu. Pantas kok pakai cadar warna ungu terus."

"Gimana, Mas? Istrinya mau disuruh pakai cadar juga?" Malah jadi Esti yang melanjutkan topik pembicaraan tentang cadar.

"Jangankan disuruh pakai cadar, diminta pakai jilbab saja belum mau." Kesannya Ramli mendadak jadi curhat tapi Esti tidak menanggapi.

Cukup banyak sudah dokumen yang bisa didapatkan Ramli dengan bantuan Esti. Penelitiannya tentang sejarah perkembangan kota Kebumen mulai tergambar kerangkanya.

Perhatian Ramli beralih dari dokumen ke tempat-tempat yang ikut menjadi bagian dari perkembangan kota Kebumen. Salah satunya adalah gedung pengadilan, baik pengadilan negeri maupun pengadilan agama. Dulu kedua gedung pengadilan berada di sekitar alun-alun, dengan pengadilan agama lebih dekat ke Masjid Agung dan pengadilan negeri berdekatan dengan kantor Setda Kabupaten Kebumen. Kini keduanya terletak berseberangan dan sama-sama menjauh dari alun-alun.

Pergeseran konsep tata kota ini menjadi perhatian penelitian Ramli. Apakah perpindahan lokasi sekadar perluasan kota atau punya kerangka filosofi sendiri. Awal pembentukan kota-kota di Jawa, umumnya berpusat di alun-alun. Di sebelah utara alun-alun rumah bupati, sebelah baratnya ada masjid dan sebelah timur ada penjara. Saat pengembangannya adakah suatu pembakuan konsep perkotaan? Sederet pertanyaan memenuhi pikiran Ramli.

Memasuki gedung pengadilan agama membuat Ramli terkejut. Cukup banyak orang yang berperkara dan dari obrolan dengan mereka, Ramli jadi tahu umumnya sedang mengurus kasus perceraian.

Saat memperhatikan orang-orang yang antri hendak mendaftarkan berkas perkara, Ramli melihat seraut wajah yang sangat dikenalinya. Wahyudi, sahabat akrabnya dulu di masa SMP. Tak disangka puluhan tahun tak bertemu justru melihatnya sedang antri di pengadilan agama.

"Yud." Ramli mendekati Wahyudi dan langsung menepuk bahunya. "Masih ingat aku nggak?"

Wahyudi memandangi Ramli dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sebelum akhirnya menjawab, "Ramli. Ya, kamu Ramli kan? Dulu kita SMP-nya bareng."

Khawatir membuat heboh, Ramli mengajak Wahyudi berbicara di luar. Keduanya menuju kantin agar lebih leluasa mengobrol.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Ke mana saja selama ini, Yud?" Ramli memulai obrolan.

Keduanya langsung terhanyut dengan obrolan tentang keadaan masing-masing dan keluarganya. Tak ketinggalan urusan Wahyudi ke pengadilan agama ikut jadi topik pembicaraan.

"Jadi apa alasan yang paling mendasar bagimu hendak menceraikan istrimu?"

"Istriku sudah tak bisa diatur," jelas Wahyudi.

"Atau kamu yang kebanyakan aturan?"

Wahyudi terkejut, tak mengira mendapat serangan mendadak dari Ramli. Teman akrab masa SMP yang baru dipertemukan lagi setelah hampir 30 tahun berpisah.

"Di sini mungkin aku membutuhkan teman sepertimu, Ramli. Ada satu hal yang khas, yang membuatku merasa tak pernah punya teman akrab lagi setelah kita putus kontak."

"Ah, kok mendadak jadi melo."

"Nggak. Ini realistis. Kecenderunganmu berpikir paradoksal bisa menjadi kontrol pikiranku yang mungkin terlalu agresif."

"Syukurlah kalau kamu menyadari, Yud. Sekarang begini saja. Urungkan dulu niatmu mendaftarkan rencana perceraianmu. Bagaimana kalau nanti malam aku dan istriku ke rumahmu?"

"Boleh juga."

"Pertemuan kita kembali mestinya disyukuri dilanjutkan dengan makan-makan dan bertukar cerita tentang keluarga masing-masing, bukan malah bertukar kabar buruk," seloroh Ramli membuat Wahyudi tersenyum kecut.

Malamnya Ramli mengajak istrinya, Prapti, ke rumah Wahyudi.

"Alhamdulillah, belum lagi setahun menetap kembali di Kebumen sudah bertemu teman SMP," jelas Ramli kepada Prapti tentang Wahyudi.

Kehadiran Ramli dan Prapti disambut hangat Wahyudi. Istri Wahyudi yang cantik terkejut ketika menyusul ke ruang tamu.

"Owh, Mas Ramli ternyata teman SMP Mas Wahyudi," ucapnya tak bisa menutupi keterkejutannya.

"Lho malah kalian berdua sudah kenal," Wahyudi terheran-heran. Sementara Ramli mengerutkan kening, mengingat-ingat di mana bertemu dengan istrinya Wahyudi.

"Sebentar," istri Wahyudi kembali masuk ke dalam dan beberapa menit kemudian keluar lagi. Kali ini keterkejutan Ramli terjawab.

"Owh, istri Wahyudi rupanya Mbak Esti. Saya tahunya Mbak Esti pakai cadar ungu. Sudah beberapa kali bertemu di kantor. Bertemu di rumah tanpa mengenakan cadar saya jadi tak mengenali Mbak Esti. Meskipun seperti kenal suaranya," panjang lebar Ramli menanggapi.

Cerita pun mengalir deras dari ketiga orang yang ternyata sudah saling mengenal. Tentang aktivitas masing-masing sampai interaksi di dunia maya melalui akun media sosial. Prapti juga bisa cepat mengakrabkan diri dengan Esti dan Wahyudi. Sehingga dua pasang suami istri itu tampak mengobrol dengan akrabnya.

"Foto yang diunggah Mas Ramli di instagram itu yang sering membuat Mas Yudi cemburu," ujar Esti menunjuk foto dirinya dan Ramli.

"Mengapa harus cemburu? Itu kelihatan kalau fotonya di kantor. Penjelasannya juga ada, karena bagi saya itu semacam laporan aktivitas harian kepada sponsor penelitian," terang Ramli.

Kehangatan obrolan terhenti, karena Wahyudi diam saja.

"Hampir semua tamu yang saya temui melakukan hal yang sama dengan Mas Ramli. Dan itu membuat Mas Yudi sering marah-marah," lanjut Esti.

"Begitu marahnya sampai berniat untuk cerai?" Ramli menimpali membuat Esti dan Prapti sama terkejutnya.

"Mas Ramli sudah tahu juga masalah itu?" Esti tampak gugup.

"Justru kami bertemu di pengadilan agama karena Wahyudi hendak mendaftarkan perceraiannya. Lalu saya minta ditunda untuk bertemu dulu seperti sekarang," jelas Ramli.

"Kok hanya masalah sesepele itu sudah mau dijadikan alasan bercerai. Apa tidak kasihan anak-anak nanti?" kali ini Prapti ikut menimpali.

Wahyudi masih juga enggan menanggapi topik itu, kecuali hanya dengan diam.

Malam yang semakin larut akhirnya membuat Ramli dan Prapti berpamitan. Sembari melepas tamunya pulang, Esti memberikan bungkusan kepada Prapti.

Paginya saat menikmati secangkir kopi, Ramli mendapat kejutan. Wahyudi mengirim pesan WhatsApp.

"Benar kamu Ramli. Bukan istriku yang tak bisa diatur, melainkan aku yang terlalu banyak membuat aturan. Perbincangan semalam menyadarkanku. Aku terlalu mudah cemburu punya istri cantik. Padahal seperti ceritamu, Esti benar-benar pintar menjaga jarak. Menjalankan tugas pelayanan publik dengan baik, sekaligus menjaga kehormatan sebagai seorang istri.

"Menyesal aku berniat menceraikannya. Bersyukur aku bertemu kembali denganmu. Bersyukur pula semalam kamu dan istri ke rumahku. Membuka dan menambah wawasanku tentang hubungan suami istri, selagi niatku menceraikan istri belum terlaksana. Terima kasih sobat."

Ramli sebenarnya belum bisa menangkap dengan jelas penyebab rencana Wahyudi hendak menceraikan istri. Masih menduga-duga saja. Namun cukup melegakan Ramli, bila Wahyudi akhirnya mengurungkan niatnya. Apalagi setelah Ramli tahu, ternyata istri yang semula hendak diceraikan Wahyudi adalah Esti. Kenalan baru yang sudah banyak membantu penelitiannya.

Ramli masih mendapat kejutan berikutnya. Kali ini datang dari istrinya. Berpamitan hendak mengantar si sulung ke sekolah, Prapti mengenakan jilbab. Tak hanya itu, Prapti juga mengenakan cadar warna ungu. Rupanya bingkisan yang diberikan semalam oleh Esti, isinya jilbab dan cadar ungu. Ramli menjawab pesan WhatsApp Wahyudi.

"Terima kasih juga sobat, istrimu telah membantu menyadarkan istriku agar berjilbab. Begitulah mestinya kita bersahabat, saling memberi manfaat."

Baca Juga: [CERPEN] Aminah

Achmad Marzoeki Photo Writer Achmad Marzoeki

Penulis fiksi, feature, berita dan opini

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya