[CERPEN-AN] Semakin Lama Dianggap Wajar

Suatu kisah dari pria berkepala pelontos

Dengan keadaan yang super sibuk, aku menyempatkan diri untuk menghadiri undangan kepala sekolah di pagi itu. Yang sekiranya hanya aku seoranglah yang diundang. Aku sedikit bertanya-tanya apa sebab dan akibat alasan aku di undang ke sekolah. Namun pertanyaan itu langsung terjawab sudah ketika seorang pria berkepala pelontos, yaitu kepala sekolah, menceritakan kejadian yang telah terjadi:

“Seorang murid kelas delapan baru-baru ini mencoba memutus urat nadinya,” pria berkepala pelontos itu merapikan duduknya, lalu melanjutkan cerita. “Akan tetapi masih sempat diselamatkan. Lalu orang tua murid tersebut datang ke sekolah untuk bertanya mengenai perihal tulisan sang anak yang dianggap menjadi korban bully di sekolah. Mereka memberikan buku catatan harian murid itu ke pihak sekolah, untuk kami selidiki. Setelah kami selidiki lebih lanjut, ada beberapa murid yang disebutkan namanya di buku catatan harian tersebut, termasuk anak bapak sendiri.”

“Apa yang sudah anak saya perbuat?”

“Bukan itu pertanyaanya, Pak,” kepala sekolah itu berdiri dari kursi empuknya, “Bisa dikatakan anak bapak tidak melakukan hal yang memberatkan, bahkan ia pun menjadi korban pembullyan itu sendiri.”

Aku sungguh binggung dengan gelagat kepala sekolah itu. Gaya bicaranya layaknya seorang detektif, yang mencoba mendramatisir keadaan. Akan tetapi aku tetap tidak percaya bahwa anakku merupakan pelaku pembullyan, kalau anakku korban pembullyan?

“Jadi anak saya di kasus ini merupakan pelaku atau korban?” Tanyaku sedikit meninggi.

“Keduanya,” jawabnya tenang. Kepala sekolah itu kembali duduk di kursi empuknya, lalu menyalakan sebatang rokok. “Saya pun sedikit bingung akan kasus ini, entah siapa yang salah, entah siapa yang benar.”

“Jadi hanya mengatakan kebingungan itu saja Anda mengundang saya ke sini?” Ucapku sedikit geram. “Baiklah, biar saya tanya ke anak saya sendiri,” aku pun berdiri dari kursiku, dan ingin langsung meninggalkan ruangan.

“Bukan begitu,” kepala sekolah itu menahan pergelangan tanganku, “Kasus ini sedikit aneh pak, maukah Anda membaca buku catatan harian murid tersebut?”

“Apa urusanku merepotkan diri untuk membaca hal-hal begituan.”

Kepala sekolah itu diam sejenak, sembari mematikan rokoknya, lalu mengatakan, “anak bapak adalah sahabatnya murid yang ingin bunuh diri itu, yang bernama Zilan. Zilan hanyalah anak laki-laki baik hati dan penurut. Dan anak bapak adalah anak laki-laki baik hati dan suka menyuruh. Zilan mungkin bisa dikatakan budak dari murid lainnya, bagaimana ia disuruh-suruh untuk membeli jajanan mereka di kantin, kadang bahkan sampai-sampai tangan Zilan tidak mampu memegang semua jajanan suruhan tersebut. Dari semua murid yang suka menyuruh, anak bapaklah yang paling suka menyuruh-nyuruh Zilan.”

Aku pun kembali ke kursi, berhadapan dengan kepala sekolah berkepala pelontos tersebut. “Tadi Anda mengatakan bahwa anakku juga menjadi korban bully, apa alasannya?

“Sudah saya katakan bahwa anak bapak adalah orang yang baik hati dan suka menyuruh. Dia pun menyuruh Zilan untuk membelikan jajanannya dengan perkataan baik-baik, tanpa ada paksaan, dan memakai uang anak bapak sendiri. Dan anak bapak pun juga acap kali menjadi korban kompasan anak-anak senior, dan bahkan, di buku tersebut tertulis, bahwa waktu shalat, anak-anak senior selalu menendang bokong para murid yang sedang sujud dan menutup mata mereka dengan sajadah dari belakang dengan kuat-kuat, hingga sulit untuk bernafas. Dan anak bapak sering mengalami bully tersebut dan menceritakannya ke Zilan.”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Brengsek! Jadi pihak sekolah sebelumnya tidak tahu akan bully-bully tak beretika ini?”

“Dulu kami menganggap hal-hal tersebut merupakan kenakalan biasa untuk anak yang baru menginjak SMP. Akan tetapi, setelah terjadinya percobaan bunuh diri tersebut, kami mulai membuka mata untuk menyelesaikan kasus bullying di sekolah ini.”

“Kalau sudah ada korban baru bergerak,” ucapku begitu kesal. “Panggil semua anak senior tersebut, tanyain satu-satu.”

“Sudah kami lakukan. Akan tetapi, dalam kasus Zilan, lebih condong ke masalah suruh-menyuruh yang sudah saya katakan di awal tadi. Bahwa ia merasa kebaikannya itu semakin lama-semakin disalahartikan menjadi pemanfaatan. Makanya ia menjadi stres akan hal-hal suruhan yang acap kali ia dengar sewaktu di sekolah.”

“Jadi anak saya salah satu pelaku pembullyan anak tersebut?”

“Iya. Tapi saya merasa, bahwa anak tersebut acap kali menyuruh Zilan membelikan jajanan mereka akibat kebiasaan dan kewajaran. Karena murid yang lain menyuruh Zilan dan Zilan pun nurut-nurut saja, murid lainnya pun ikut-ikutan dan merasa ini suatu hal yang lumrah. Maka terjadilah siklus suruh-menyuruh ini. Dan perasaan Zilan pun lama-kelamaan semakin terkucilkan, dan merasa menjadi korban bully yang selalu dimanfaatkan.

“Saya bisa membayangkan bagaimana ia melewati suatu kelas, lalu dipanggil untuk disuruh membelikan sebuah jajanan, itu pun bukan hanya satu murid saja, bahkan bisa beberapa murid,” kataku sedikit merenung.

“Itulah yang saya maksud, bahwa dalam kasus Zilan ini, sulit juga untuk menyalahkan murid lainnya. Karena alasan yang sudah saya katakan tadi. Maka dari itu, saya bingung, siapa yang salah dan siapa yang benar dalam kasus ini.”

***

Sesampai di rumah, aku disambut oleh istriku dengan pelukan dan saling mengeluarkan air mata. Sekembali dari ruang kepala sekolah tadi pagi, aku langsung menceritakan kisah ini ke istri dan anakku, ketika ia pulang sekolah. Ia pun menangis sejadi-jadinya dan mengakui semua yang dikatakan kepala sekolah tersebut.

Dan aku pun bersama putraku mengunjungi rumah Zilan untuk mengucapkan permintaan maaf. Lalu, karena esoknya libur, putraku pun meminta izin untuk menginap di rumah Zilan. Lalu sampailah aku pulang sendiri ke rumah dengan sambutan pelukan dan tangisan oleh istriku.

Pekanbaru, 09 April 2019

 

Baca Juga: [CERPEN-AN] Waktu

Adli Putra Photo Verified Writer Adli Putra

Ig: adliip

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya