[CERPEN] Pesuruh Pasar

#ANGPOIN Suatu permintaan dari adikku

Sepulang sekolah, adikku perempuan bernama Wati langsung celetuk: “Aku ingin memakan pizza. Temanku tadi menceritakan pengalamannya bersama keluarganya memakan makanan itu,” terus ia menambahkan, “Kita orang miskin, belum pernah menyentuh namanya pizza.”

Benar apa yang dikatakan Wati itu. Kami ini hanya orang miskin, mungkin lebih rendah dari itu.Tapi, apakah dengan memakan makanan itu menandakan derajat seseorang? Iya benar, ketika kita sekedar melintas, kita sadar bahwa semua orang yang ada di dalamnya hanya orang-orang memiliki duit yang lebih.Tapi, aku bisa menjamin dengan gaji bulananku yang kurang dari dua juta sebulan, bisa membeli lima atau lebih pizza untuk adikku, Wati. Saat itu aku tersenyum mencoba membuat hatinya senang: “Ketika bulan ini nerima uang, aku akan membawamu ke tempat itu.”

Sehabis ia mendengarkan perkataanku tadi. Ia sangat senang, aku pun melihatnya pun ikutan senang.Tidak apalah bulan ini makan seadanya walaupun setiap harinya seadanya, yang penting akhir bulan nanti aku bisa membawanya ketempat yang dia inginkan. Aku pun memberinya kunci rumah, dan menyuruhnya pulang. Aku katakan di atas meja sudahku sediakan telur dadar beserta nasi untuk makan siangnya. Wati mengangguk dan dengan riangnya meninggalkanku menuju rumah. Aku pun kembali dengan rutinitasku sebagai pesuruh pasar.

Di rumah sewa inilah aku bersama adikku Wati tinggal. Rumah yang pas untuk kami tinggal berdua. Aku selalu menjaga kebersihan rumah ini, agar Wati nyaman tinggal bersamaku. Setiap pagi, sebelum Wati berangkat sekolah dasar, ia selalu menyempatkan menyiram tanaman yang ia rawat di teras kecil rumah. Ia sangat menyukai tumbuhan, menurutnya tumbuhan itu teman yang harus dijaga sepenuh hati, dan selalu harus dirawat. Ketika ia menyadariku pulang, ia berlari menujuku yang sedang meletak sepeda: “Tadi ayah mampir sebentar ke sini,” katanya tersenyum.

“Kenapa dia?” tanyaku, sambil mengelep keringat dengan handuk.

“Dia memberi kita uang, ” jawabnya. Wati kembali masuk ke dalam rumah mengambil sebuah amplop putih lalu diberikannya kepadaku, “Ini bisa membuat kita makan Pizza kak!”

Aku tidak tau isi kepala lelaki tua brengsek itu. Niatnya selalu membuatku kesal terhadapnya. Tidak ada niat merawat aku dan Wati, seenaknya meninggalkan kami beserta ibu yang sudah meninggal dua tahun yang lalu. Aku tau, ia hanyalah binatang berkedok manusia. Binatang yang dipenuhi nafsu birahi terhadap wanita murahan di luar sana. Lelaki yang tidak mendengarkan perkataan ibuku sewaktu bersama dulu, dan selalu menghantam ibuku pada saat ia ada masalah di luar sana. Apa lagi pada saat ibuku meninggal karena serangan jantung, ia tidak melayat bahkan mengucap belasungkawa pun tidak sudi. Sewaktu-waktu, pikiran busukku ingin menikam lehernya dengan pisau. Tapi sewaktu-waktu, aku memikirkan adikku Wati yang menurutku belum mengetahui masalah keluarganya yang sangat buruk.

Aku sangat kasihan ketika aku pertama kali harus merawat Wati seorang diri pada saat ibu meninggal. Ketika itu aku baru tamat sekolah, dengan mengandalkan ijazah tersebut aku bekerja sebagai pegawai toserba, begitu sialnya aku mendapatkan bos yang begitu pemarah dan suka menghina. Kala itu aku pernah membuat kesalah dengan ketidak hadiranku. Aku memiliki alasan karena pada saat itu aku menghadiri penerimaan lapor Wati disekolahnya, dan ia membutuhkan sosok abangnya untuk mengambil nilai yang susah payah diraihnya, dan begitu senangnya ia mendapatkan juara dua. Aku sangat bangga kala itu. Pada saat besoknya aku datang ke minimarket, pria bermata sipit memakai kaca mata itu langsung menghampiriku dan ia mengatakan:

“Lihat siapa yang datang sekarang? Lelaki tidak tau aturan yang hanya mengandalkan tenaga dan tidak memiliki otak,” lagi ia menambahkan, “Kau tau, aku tidak membutuhkan karyawan totol sepertimu, menghitung kembalian saja kau susah!”

Saat itu aku mencoba mengendalikan diri, dan mencoba menjelaskan bahwa semalam waktunya adikku Wati nerima lapor di sekolahnya, dan dia harus memiliki wakil untuk bisa mendapatkannya. Saat aku selesai menjelaskan, bosku itu langsung menyuruhku keluar dari tokonya dan memberiku uang sebagai gaji bulan ini. Ia mengatakan lebih baik aku tidak bekerja bersamanya lagi, karena ia tidak menerima karyawan sepertiku. Aku pun pasrah dan menerima keputusannya. Dengan uang gaji terakhirku, aku memutuskan langsung pulang ke rumah untuk membawa Wati makan di luar, pada saat itu ia belum pernah aku ajak makan enak karena keterbatasan uang yang aku hasilkan. Sekaligus hadiah, karena keberhasilannya mendapatkan juara di kelasnya.

Hingga bulan berikutnya aku sangat kebinggungan. Karena uang mulai menipis dan aku belum bisa menghasilkan tambahan karena belum mendapatkan pekerjaan. Pada saat itu aku pun memutuskan ke rumah ayahku yang saat itu tinggal bersama istri mudanya. Dan begitu jengkelnya, ketika tiba di rumahnya. Dia mengatakan tidak mempunyai uang dan mengusirku, saat itu istri mudanya menatapku dengan tajam dan ia mengatakan: “Kalau kesusahan baru kesini, minta-minta!” kata wanita muda itu. Ayahku hanya diam tidak memperdulikan. Aku sangat marah dan membalas: “Wati bisa mati kalau tidak makan. Saat ini kami memang tidak memiliki uang. Tolonglah, kau yang sudah memutuskan dia dilahirkan di dunia ini. Kau harus bertanggung jawab,” kataku bernada keras. Dan lelaki brengsek itu menamparku dengan keras dan menghardikku supaya keluar dari rumahnya.

Aku begitu dendam, ingin rasanya menikam dadanya sampai mampus. Tapi, aku berpikir usiaku masih sangat muda sembilan belas tahun, dan aku tidak ingin menghabiskan usia mudaku di penjara karena membunuh lelaki yang tidak memiliki perasaan itu. Saat itu pun aku memutuskan mencari pekerjaan yang nampak dipandang. Berkeliling di jalanan aspal yang dipenuhi polusi, dengan sepeda aku menyusurinya. Sampai akhirnya aku bertemu seorang pria tua bernama pak Kasman meneriaki namaku Yanto dengan keras, yang membuatku membalikkan muncung sepeda dan menghampiri pria tua itu.

“Ada apa?” kataku.

“Kau anaknya ibu Hasanah kan?” tanya pria tua itu tersenyum.

“Iya, ada apa?”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Lebih baik kau ke rumahku dulu. Aku ingin ngobrol bentar,” jawabnya.

Aku pun mengiyakan dan mengikuti langkah kakinya dari belakang. Saat itu aku mendorong sepedaku biar tidak keduluan dari pak Kasman, dari belakang aku melihat sekujur tubuh pria itu dipenuhi bercak-bercak bekas kenak api, dan jalan pria itu begitu lamban dan sempoyongan.

Ketika sesampai di rumahnya. Ia menyuruhku masuk dan ia mengatakan: “Ibumu sering ke sini, mengurut istriku.” Aku angguk kepala sembari melihat sekeliling rumah yang hampir sama dengan rumah sewaku.Terus ia berkata lagi:

“Ada kalanya manusia itu hidup susah. Memang memperjuangkan hidup itu tidak mudah.”Lagi, aku angguk kepala dan mencoba bertanya: “Ada apa bapak mengundangku kesini?” ia tersenyum dan menjawab: “Kalau kau ingin kerja. Aku memiliki sebuah lapak di pasar menjual beras. Kalau kau ingin dan mampu, silahkan saja.” Aku kembali tanya: “Bekerja sebagai apa?” ia langsung jawab: “Tidak ada pekerjaan enak di pasar anakku. Kau bisa kupekerjakan sebagai buruh pengangkat beras di sana. Apakah kau mau?” aku binggung, apakah aku mampu mengangkat beras yang puluhan kilo setiap harinya.Tetapi ,aku memikirkan Wati yang saat ini sekolah dan sangat mantap menjawab pertanyaan-pertanyaan gurunya di kelas. Memang benar perkataan pak Kasman, tidak ada pekerjaan enak di pasar. Aku harus bekerja, akupun angguk kepala yang membuat pak Kasman tersenyum dan langsung menepuk pundakku secara pelan.

Hingga kini sudah setahun lebih aku bekerja bersama Pak Kasman. Dia adalah orang baik dan sudah aku anggap sebagai ayahku sendiri. Sampai akhirnya tadi siang ia mendengarkan percakapanku dengan Wati, ia langsung memanggilku dengan ciri khas suaranya yang lantang dan serak “Yanto,kesini.” Dan ia mengatakan aku boleh menerima gaji bulananku hari ini untuk membawa adikku Wati nanti malam memakan pizza. Saat itu aku sangat terharu dan mencoba memeluk erat pak Kasman. Ia adalah sosok ayah sebenarnya di dunia ini, aku sangat acungkan jempol dengan kegigihannya dalam berdagang, sewaktu-waktu katanya aku bisa mewariskan lapak berasnya ini kala ia sudah tidak ada lagi di dunia ini, saat itu aku langsung menepis, dan mengatakan tidak elok mengatakan hal yang belum kehandak. Dan ia tersenyum setuju dengan perkataanku.

Dan kini aku tidak memperdulikan uang lelaki brengsek itu dan menyuruh Wati menyimpannya. Aku pun masuk ke rumah yang sejuk ini dan membuka kaos yang dipenuhi bau keringatku dan merebahkan badan di kursi. Aku memanggil Wati, ia pun berlari menghampiriku dan bertanya:

“Ada apa kak? uangnya sudah Wati simpan diatas lemari.”

“Wati masih ingin memakan pizza?” tanyaku tersenyum.

“Iya kak, iya. Wati sangat ingin. Kapan bisa kita makan pizza kak?” tanyanya dengan riang dan polos.

Aku mencoba menatap wajah adikku yang kurus itu, dan menyuruhnya mendekatkan telinganya ke mulutku. Aku pun berbisik ketelingannya:

“Malam ini kita pergi makan Pizza ya?”

Wati membuka lebar matanya, “Benar kak?”

Aku anggukkan kepala dan mengusap kepalanya, “Ayo mandi supaya wangi. Pilih pakaian terbaikmu. Sesekali kita ke tempat dimana orang beruang lagi makan.”

“Iya kak, iya. Makasih ya kak.” ucap Wati dengan senangnya. Ia pun bergegas untuk mandi. Belum pernah aku melihatnya riang seperti ini. Aku tidak menyangka, bahwa dengan kehidupan yang terbatas ini, kita bisa sangat bahagia dengan saudara sendiri dengan mengajaknya dan mengasih sesuatu yang dia inginkan.

Baca Juga: [CERPEN] Yang Hanya Bisa Membayangkan dan Membuat Pengandaian

Adli Putra Photo Verified Writer Adli Putra

Ig: adliip

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya