[CERPEN] Belati

Keegoisan di metropolitan

Darah segar masih mengucur deras. Kemilau ubin memantulkan warna merah. Cipratan darah mendandani sofa mewah yang berada di dekat kami. Butiran asinnya air mengalir dari dahi kami bercampur dengan beningnya darah itu. 

Satu jam yang lalu. Begitu banyak detik-detik yang menegangkan. Tak dapat kudeskripsikan segalanya. Hal yang kuingat saat itu, aku membuat sebuah kegaduhan hingga laki-laki itu terbangun. Semua itu di luar rencanaku. 

“Siapa itu?” 

katanya sembari menghidupkan lampu kamarnya. Aku memutar otak. Apa yang harus aku lakukan. Tetiba datang suatu ide yang lebih baik dari yang sebelumnya. Kumantapkan ide itu.

Aku tegak mematung di halaman rumahnya, berbaur bersama gelapnya pagi itu. Terdengar deritan pintu. Kuyakinkan bahwa laki-laki itu yang membuka pintu. Dalam beberapa detik aku masih tegak bersama gelap. Kukumpulkan segala tekad dan kebencian yang ada. Saat dia membuka pintu, dengan cepat, aku berlari kencang ke arah laki-laki itu dan menerjangnya masuk ke dalam. Terdengar badan yang beradu dengan sesuatu yang keras. Dia terhempas ke lantai. Sedikit bisa melumpuhkan kekarnya badan lelaki itu. Aku menimpa badannya. Dengan sigap kukeluarkan belati yang telah kupersiapkan dari tadi. Dalam kegelapan ini. Kuarahkan tajamnya belati ke arah laki-laki itu tadi dapat lolos dari cengkramanku. Posisinya sekarang berada di depanku. Masih terpancar keraguan dalam diriku. Perlawanan yang sangat sengit.

Tiga tusukkan diperut sudah melumpuhkan lawan. Entah apa yang terjadi. Aku diam tergeletak dilantai. Aku tak dapat bergerak. Mulutku kaku. Perih yang sangat kuat. Ingin rasanya aku meracau sakitnya. Tapi terlalu lemah untuk kuberteriak. 

“Sudah aku katakan, pecundang akan selalu menjadi pecundang. Kau akan menjadi yang pertama.” 

Laki-laki itu tersenyum getir. Segetir kehidupanku yang selalu bergulat dengan bauan yang busuk. Kecoak di mana-mana yang menjadi teman setiaku. Tak ayal, baju lusuh ini jarang kucuci. Sejak kecil aku tak pernah merasakan hidup bahagia bersama keluarga ataupun bersama dayang-dayang berpakaian seragam yang setiap saat membantuku. 

Para paski mulai mengibarkan sayapnya di jumantara ini, ayam-ayam berkokok menandakan malam telah berganti pagi dan aku harus melewati hari yang pelik penuh misterius. Silaunya mentari pagi menyeruak dari celah jendela kamarku. Selagi dia masih menghadapkan wajahnya. Harapan sekecil biji sawipun masih tetap bersinar. Aku yakinkan itu pertanda bahwa Tuhan masih sayang padaku.

Rumah yang berdiri di atas tanah pemerintah ini menjadi istana bagiku. Sebuah gedung bersekatkan kardus-kardus yang sewaktu-waktu bisa rubuh diterpa angin kencang. Sedikit prakarsa saat membangun gubuk ini, kuberikan penyangga bambu agar tak cepat rubuh jikalau ada badai kelak. Di dalamnya tergulung tilam yang sangat bau, tetapi di situlah aku berbaur dengan segala fantasiku yang tak mungkin menjadi nyata.

Kali ini aku mandi. Terlalu lengket tubuhku untuk tidak mandi hari ini. Bukan mandi seperti orang biasanya, hanya mengguyurkan air di tubuhku. Aku hanya orang miskin yang tak memiliki apa-apa. Sabun mandipun aku tak punya. Tanpa kasut yang melindungi kaki ku, kubawa keranjang besar ini. 

Betapa lucahnya negeri ini. Disaat pagi baru datang, telah kupandang laki-laki dan perempuan tak suami istri melakukan hal yang bukan ghalibnya di balik cindai itu. Di mana marwah wanita itu? Sungguh malang nasib wanita itu.

Di era kontemporari ini. Pagi buta sekali pun, aku dapat mendengar hingar bingarnya kehidupan di kota. Kupandangi gedung-gendung yang menjulang tinggi itu, gedung pencakar langit. Pasti sebentar lagi kalian akan runtuh, Tuhan tak sayang kalian. 

Begitu banyak keegoisanku yang kudapat dari cara hidup seperti ini. Tetibanya aku menemukan barang-barang tak layak pakai bagi mereka, tetapi berlian bagiku. Hari ini aku mendapatkan sepatu bermerk terbungkuskan plastik hitam di tong sampah. Segera kusimpan dalam keranjang besar ini. Kembali kukais tumpukan sisa-sisa rumah tangga mereka. Bagi mereka ini hanyalah sampah, tapi bagi kami ini adalah sumber hidup. 

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Memang miris rasanya Hidup terasa seperti berdiri di antara penjajah dan orang terjajah. Polemik yang tak akan pernah surut. Di mana hati para daulat yang akan menyejahterakan kami? Kalian hanya pandai baling batu, tetapi tangan kalian tersembunyi di kantong safarimu. Kami hanya falah dari penjajah asing, tetapi kami kalah di jajah bangsa sendiri. Sungguh memalukan hidup di praja ini.

Hawa panas yang sangat menyengat menjadi hal yang biasa bagiku. Bergaul dengan teriknya matahari bukanlah hal batu. Begitulah caraku agar tetap bertahan hidup tanpa keahlian apapun. Tetapi ini terasa lebih baik daripada aku harus mengemis kepada bandit-bandit daulat itu. Terasa daif untukku.

Ketika aku kembali mengais tambang berlianku. Seorang lelaki berjas uang rakyat mendatangi ku. 

“Sebentar lagi kau tak akan bisa mengotori halaman rumahku. Kau dan teman-temanmu akan kukirimkan kembali ke tempat yang seharusnya kalian berada,” kata laki-laki yang menurutku umurnya tak jauh beda denganku. 

“Kenapa? Kami hanya mengais sisa-sisa, bukan mencuri sia-sia ataupun merampas milik kalian.”

“Tapi kalian adalah virus yang harus dibasmi.”

“Kalian yang seharusnya dibasmi karena kalian yang tak pantas untuk hidup. Kalau tak ada kami, kalian tak akan bisa hidup.”

“Kita lihat saja nanti, Pecundang. Siapa yang akan mati lebih dulu. Kupastikan, kau akan menjadi yang pertama.”

Aku bungkam mendengar perkataan itu. Begitu daif kah kami? Aku hanya mengatakan hal yang sebenarnya. Memang kenyataannya seperti itu. Mereka hidup mewah dengan kemiskinan rakyatnya. Begitu bangganya laki-laki itu berkata demikian. Terlihat dari tawanya yang menggelegar hingga membangunkan seluruh jagat raya ini. Apakah mereka tak tahu? Mereka yang membuat kami seperti ini. Perangai yang teramat bodoh. Acap kali ingin kutuangkan segala emosi diriku kepada para bandit berdasi itu. 

Hari ini aku kembali ke rumahku lebih awal. Perkataan laki-laki itu selalu terngiang dalam otakku. Terbesit dalam pikiranku. Ya, aku harus melakukan itu. Ini demi aku dan teman-temanku yang lainnya. Tuhan pasti akan mengerti apa yang ada pikiranku. Tapi, aku masih dirundung rasa resah. Apakah aku harus melakukan hal itu?

Kembali aku bermain dengan dunia masa kelamku dahulu. Kala itu, aku masih berusia 7 tahun Aku tak ingat siapa laki-laki dan perempuan yang bermain denganku saat itu. Aku hanya ingat, laki-laki itu memanggil perempuan itu dengan sebutan mama. Apakah mereka orang tuaku?. 

Aku tak peduli siapa mereka. Aku hanya butuh uang untuk hidup. Lalu, mereka mengajakku ketempat yang jauh. Tempat yang sekarang menjadi rumahku. Mereka meninggalkanku sendirian di sana. Duka itu terus berlanjut hingga sekarang. Bukannya aku menangis. Aku bungkam seribu bahasa, merasakan dendam yang menjadi sebuah kebencian begitu teramat dalam. Hal itu membuatku menjadi seorang yang egois. Gejolak kesumat itu semakin tumbuh dan akarnya terus melilitku hingga sekarang. 

Aku terbangun dari tidurku. Semangat yang sangat membara dalam diriku. Kupersiapkan segalanya. Tak boleh ada yang tertinggal sedikit pun. Kali ini aku berjalan melewati tempat pengepul sambil membawa keranjang besar ini di pundakku. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Aku terus berjalan ke arah gedung-gedung angkuh. Aku tahu, kehidupan kota tak pernah berhenti. Walaupun pagi-pagi buta begini pun, masih banyak orang yang lalu lalang di jalanan. 

Sejenak aku terhenyak dalam keinginan ini. Apa aku harus melakukan ini? Sempat ingin kuurungkan niat ini, tapi gejolak kesumat ini begitu besar. Kuletakkan keranjang ini di ujung halaman rumahnya. Alat yang telah kupersiapkan dari tadi, kumasukkan ke dalam balik bajuku. Aku kembali berjalan menuju rumah itu. Terlihat belum ada tanda-tanda kehidupan dari dalam rumah itu. Aku berusaha tak mengeluarkan sedikitpun suara. 

Aku hanya dapat membungkam di tempatku. Memandang laki-laki itu dengan segala kebencian. Mungkin ini hanya sebuah kebetulan bagimu. Aku tak cukup kuat melawanmu. Akan kuyakinkan pada dunia, butiran keringat ini tak akan pernah sia-sia. Aku percaya, Tuhan tak akan meninggalkan orang-orang tertindas seperti kami. Ingin rasanya aku menutup mataku sejenak dan kembali menyadari ini semua hanyalah sebuah mimpi buruk. Ketika kusadari, kini tubuhku tak ubah patung yang tergolek tanpa darah.

Agatha Kristia Photo Writer Agatha Kristia

?My old : 20th ?Seorang Mahasiswi ?Masih penulis amatiran ?Terimakasih sudah mampir melihat-lihat isi cerita aku

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya