[CERPEN] Aku Menjadi Sangat Rapuh Hanya untuk Bisa di Sisimu

Ternyata kebahagiaan itu semu

Pernahkah kau bertemu seseorang yang begitu tegar sampai-sampai kau merasa nyaman untuk terlihat lemah di hadapannya?

Kau tidak ingin menangis untuk hal-hal kecil, tapi saat kau berada di sisinya, air mata seolah jatuh begitu saja. Ia memelukmu, menepuk-nepuk lembut punggungmu, mengatakan bahwa semua akan kembali seperti semula. Tak lama kemudian ia melepaskan pelukannya, menempelkan kedua telapak tangannya di pipimu setelah membantmu menghapus air mata, menatapmu lekat-lekat sembari tersenyum lebar.

Dia bukan keluargamu, bukan kekasihmu, bukan pula orang yang kau cintai. Dia hanya orang asing yang masuk ke dalam hidupmu dan begitu saja menjadi bagian terpenting tanpa kau tahu pasti kapan tepatnya—ia mulai menjadi penting.

Aku pernah bertemu seseorang seperti itu. Sekali, hanya sekali saja. Suara tawa juga matanya yang menyipit seolah sudah menjadi bagian yang tak boleh terlewat olehku. Aku suka setiap kali ia tersenyum lebar, mengembang, dan tak lama suara tawanya terdengar renyah di telingaku. Ia begitu suka menceritakan lelucon-lelucon setiap kali kami berbicara, menjawab atau menyahutiku dengan guyonan meski aku sedang mengatakan sesuatu yang serius atau barangkali bercerita perihal hati.

Ya, aku sering bercerita padanya soal kisah cintaku juga tentang penyakit yang semakin lama terus menggerogoti diriku. Katanya usiaku hanya tersisa dua tahun lagi. Ah, apa juga yang bisa aku lakukan dalam waktu sesingkat itu. Omong kosong soal vonis dokter!

Malam ini aku melirik ponsel, berpikir berulang kali untuk menghubunginya yang terpaksa tak bisa kutemui karena hujan deras tengah mengguyur kota sejak sore. Mungkin saat ini ia sedang berada di kamar, memerhatikan rintik hujan dari balik jendela sembari mencari inspirasi, duduk di depan laptopnya untuk membuat cerita yang entah apa. Ia begitu misterius untukku.

“Kalian bertengkar lagi?” Tanyanya setelah aku meneleponnya dua menit lalu.

Aku mengiyakan. Mulai menceritakan hal sepele yang membuat kekasihku marah dan tak mau membalas pesan-pesanku. Dia marah hanya karena aku tertidur saat kami berteleponan siang tadi, mengabaikannya yang sedang asyik berceloteh tentang hari pertamanya masuk kuliah juga bertemu beberapa orang baru, bahkan di kampusnya juga ada mantan kekasihnya semasa SMA dulu.

Tawanya kini pecah setelah ia menahan sejak awal aku bercerita. “Lalu apa kau sudah meminta maaf?”

Aku mengangguk meski tidak bisa dilihatnya.

“Bagaimana jawabannya?”

“Dia tidak membalas pesanku atau mengangkat teleponku.”

“Kasihan,” ledeknya sambil cengengesan.

“Apa yang harus aku lakukan?”

“Jangan hubungi dia!”

“Apa?”

“Biasanya wanita akan menghubungimu saat kau tiba-tiba bersikap tak acuh lagi padanya.”

“Lalu bagaimana jika dia meninggalkanku?”

“Itu berarti dia tidak bersungguh-sungguh padamu. Jadi buat apa ambil pusing, kau hanya perlu putus dengannya dan mencari wanita lain.” Tawamu kembali terdengar lepas.

“Apa cinta selalu semudah itu untukmu?”

“Kenapa tidak? Kenapa kau harus bersusah payah mempertahankan seseorang yang jelas-jelas tidak ingin bertahan untukmu?”

Aku mengangguk sekali lagi. “Lagi pula mana ada wanita yang menyukai seorang pria sakit-sakitan sepertiku.”

Berbeda dengan teman-teman lainnya yang akan bersimpati jika aku mengatakan demikian, dia malah tertawa terbahak-bahak. “Kalau begitu kau akan melajang seumur hidup,” ucapnya diselingi tawa yang tak bisa ditahan.

“Sepertinya begitu,” jawabku pasrah.

“Kalau begitu kau harus mendedikasikan dirimu untuk patah sepatah-patahnya sampai waktu yang ditentukan,” ledeknya.

“Dua tahun lagi.”

“Ya, dua tahun lagi.”

Ah, kupikir kau tahu bagaimana perasaanku yang beruntung mengenalnya. Dan sama seperti katanya, bertemu seseorang yang tegar hanya akan membuatmu menjadi sangat rapuh. Kau cukup kuat untuk memikul beban yang dititipkan padamu, berakting di depan semua orang bahwa kau baik-baik saja, tapi di depannya, kau bukan apa-apa selain butiran pasir di pantai yang kadang tertiup angin atau tersapu ombak.

Banyak hal yang aku sukai tentangnya. Tak hanya dari cara ia tertawa atau bicara, tapi juga bagaimana cara ia memerhatikanku, mengingatkanku untuk tidur dan minum obat bahkan sambil marah-marah jika aku tidak mau menurut layaknya almarhumah ibuku yang telah meninggal saat aku kelas lima SD. Bersikap tak kalah cerewet dari kekasihku.

“Kau tak ingin berpacaran?” tanyaku suatu waktu.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Kenapa?”

“Ah, tidak apa-apa. Hanya saja aku tidak pernah mendengarmu bercerita tentang siapa pun.”

“Aku sudah punya pacar.”

“Benarkah?”

“Iya,” sahutnya singkat, namun seperti biasa suaranya selalu terdengar bersemangat.

“Siapa?”

Ia diam sejenak, mungkin sedang berpikir apakah aku mengenal kekasihnya atau tidak, atau memikirkan hal-hal lain tentang bagaimana caranya memulai bercerita karena selama ini ia selalu lebih senang mendengarkanku juga orang-orang lainnya menceritakan hidup masing-masing.

“Dia biasa-biasa saja, bahkan menyebalkan. Aku sudah menunggunya sangat lama, tapi lihatlah, dia bahkan tidak juga datang padaku hingga sekarang. Dia sudah berjanji akan melamarku setahun lalu, hanya saja waktu menjadi sangat panjang saat kau diminta untuk menunggu. Jantungmu serasa ingin copot setiap waktu karena kau takut ia datang di saat kau tidak benar-benar siap atau mulai ragu, atau mungkin dia datang di saat kau sudah menjatuhkan hati pada seseorang dan berharap bisa hidup selamanya dengan orang itu,” begitu seterusnya ia bercerita untuk kemudian tertawa sendiri. Mentertawakan dirinya yang bicara tiada henti tanpa bisa disela.

“Tapi kau menyukainya?”

“Awalnya tidak, tapi aku pikir mencintainya adalah cara yang tepat,” sahutnya yang tertawa renyah. Aku juga ikut tertawa.

“Baguslah kalau begitu.”

Aku menggigit bibir bawahku, berpamitan padanya dengan mengatakan bahwa besok aku masuk kerja pagi-pagi sekali sehingga harus tidur lebih awal dan akan meneleponnya di jam yang sama seperti biasa. Tepatnya jam 22.00 saat aku sudah berpamitan dengan kekasihku. Entah ada apa dengan hatiku, rasa ngilu tiba-tiba saja datang tanpa bisa kujelaskan. Ini bukan karena penyakitku, tapi sesuatu yang lain. Sesuatu yang datang saat ia mengatakan telah memiliki kekasih.

**

Hari ini aku terbangun di ruangan yang berbeda. Ada selang oksigen juga infus. Di sampingku dia duduk dengan tenangnya sembari membaca novel bersampul biru pastel dengan gambar seorang gadis berdiri di bawah pohon sakura.

“Kau sudah bangun?” Tanyanya yang kemudian memasukan buku ke dalam tas yang dipangkunya. Meletakkan tas berwarna cream tersebut di ranjang, bawah kakiku.

“Aku akan memanggil perawat.”

Kepalaku yang masih terasa pusing membuatku memejamkan mata dan membiarkannya keluar. Tak lama kemudian ia datang kembali bersama perawat juga dokter yang hendak memeriksaku. Mereka bilang keadaanku sudah lebih baik dari dua hari lalu saat aku pingsan di tempat kerja beberapa menit sebelum kedai tutup. Dan jika seminggu ini aku terus memperlihatkan perkembangan yang baik, maka aku bisa pulang.

“Kau mau ke mana?” Tanyaku yang melihatnya membawa tas saat hendak mengantar dokter juga perawat.

“Aku akan pergi bekerja.”

“Lalu aku?”

Ia tersenyum. Mengacak-acak rambutku. “Pacarmu akan segera datang,” tuturnya sebelum benar-benar berlalu.

Tepat sekali apa yang diucapkannya, kekasihku tiba tak lama setelah ia pergi, meninggalkan ruang rawatku yang masih tercium parfum aroma bunga mawar khasnya. Mungkin, mungkin ini hanya firasatku saja, tapi setelah hari ini, saat aku mulai menjadi lebih dekat dengan kekasihku, ia seolah mencoba hilang secara perlahan. Berkomunikasi semakin jarang, bertemu pun tidak. Sibuk katanya.

“Kau merindukannya?” Tanya kekasihku di suatu waktu saat kondisi kesehatanku telah berangsur pulih.

Aku mengepal tangan kananku, membuang pandangan ke langit sore sembari sesekali bertanya pada diri sendiri. Mengapa ada bagian yang kosong di saat seseorang tidak berada di sisimu, ia bukanlah sesuatu yang bisa kau miliki, hanya saja entah bagian mana yang mampu terasa begitu hampa saat orang itu tidak ada. Seolah-olah yang kosong adalah bagian yang telah dibawa pergi olehnya.

“Bisakah aku kembali sakit agar dia merawatku?” Tanyaku begitu saja.

Kekasihku diam saja. Ia bergeming untuk sesaat sampai akhirnya kembali menatapku yang hampir kehilangan harapan, sama seperti dulu saat pertama aku menemukannya—dia yang begitu istimewa.

“Bukankah seharusnya sekarang kau menjadi cukup kuat untuknya?” Ia balik bertanya.

“Maksudmu?”

“Dia … sudah cukup rapuh untuk dirinya sendiri, tapi berusaha kuat untukmu. Jodoh yang sering diceritakannya padamu telah tiba, dan karena itu kau tidak punya cara lain untuk bisa bersamanya tanpa merindukannya terlebih dahulu.”

“Apa yang kau bicarakan?”

“Aku hanya bicara sesuatu yang harus kusampaikan.”***

Lily Rosella Photo Verified Writer Lily Rosella

Penulis kumcer "Iblis Pembisik" (2019)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya