[CERPEN-AN] Sesuatu yang Harusnya Terjadi dan Dibiarkan Begitu Saja

yang sudah terjadi, biarlah begitu

Semula gadis itu baik-baik saja ketika ayahnya digiring polisi dan dikurung dalam jeruji besi, serta ibunya yang menikah lagi dengan seorang yang baru dikenalnya seminggu belakangan ini. Aku tak pernah melihat raut kesedihan dari wajahnya yang cantik. Namun, setelah dua bulan berlalu, setelah pernikahan ibunya, dia berubah murung seperti yang sudah-sudah.

Di setiap sore, seperti biasa, aku selalu mendapatinya duduk di ayunan taman kompleks. Rambutnya yang ikal dikucir ekor kuda, poninya yang sealis lebih sering ditata ke samping daripada dibiarkan jatuh menutupi seluruh dahi. Dia duduk di ayunan, memandangi matahari yang merayap turun dan bersembunyi di balik pepohonan lalu lenyap menyisakan gelap.

Pernah aku bertanya, kenapa kamu selalu berada di sini setiap sore? Dia tak menjawab, hanya menekan kakinya ke tanah, mendorong tubuhnya agak ke belakang, lantas melepas kakinya dan terayun. Wajahnya menampakkan senyum dan pandangannya tak lepas dari matahari yang bersembunyi di pepohonan sebelah barat.

Di saat berayun itu, aku selalu menemukan senyum paling lepas miliknya. Mungkin dia merasa sedang terbang seperti burung-burung gereja yang berpindah dari atap salah satu rumah, ke pohon, ke tangga perosotan dan ke mana pun.

Dulu, saat pertama aku bertemu dengannya di taman ini, wajahnya tak pernah menampakkan kebahagiaan. Bahkan, bisa dibilang, dia takut kepadaku. Kakinya mundur selangkah demi selangkah, lantas dari ayunan ini, dia berpindah duduk ke bangku yang bersebelahan dengan tong sampah. Aku mengamatinya, melihatnya duduk sambil menunduk dalam dan tangannya sibuk memuntir-muntir bagian bawah bajunya, pun matanya sibuk melirik ke kiri dan kanan.

Beberapa hari berlalu, bahkan sudah sebulan. Aku masih mengamatinya yang begitu-begitu saja: kepala yang menunduk dalam, tangan yang sibuk memuntir-muntir bagian bawah baju, serta mata yang sibuk melirik ke kiri dan kanan. Jika aku datang lebih dulu dan duduk di ayunan, setibanya dia di taman ini, dia akan mengambil duduk di bangku yang bersebelahan dengan tong sampah, karena memang bangku itu yang jaraknya agak jauh dari ayunan juga jalanan.

Dan jika aku duduk di bangku itu atau bangku yang tak jauh dari bangku itu, dia akan mengambil duduk di ayunan, perosotan, atau di tempat lain yang bisa dia duduki. Pun jika dia datang lebih dalu dan aku duduk di sebelahnya, dia akan berpindah tempat duduk ke tempat mana pun yang tampak sepi. Sampai di hari Sabtu, kalau tak salah, aku menghampirinya dan memberi sekaleng minuman soda.

“Aku bukan orang jahat,” ucapku ketika melihat tubuhnya gemetar.

“Orang jahat tak akan mengaku kalau dia jahat,” balasnya.

Aku mengangkat kedua bahu, kembali menyodorkan sekaleng minuman soda kepadanya. “Baiklah, aku orang jahat.”

Untuk pertama kali, aku bisa melihat wajahnya dengan jelas karena dia tak menunduk, melainkan mendongak menatapku.

“Apa? Aku hanya ingin duduk di ayunan kosong ini dengan seseorang, dan karenanya aku merasa perlu membayar agar kamu tidak usah kabur dan tetap duduk di sana.”

Dia masih menatapku, kali ini dengan mata menyipit dan dahi berkerut. Aku mengabaikan tatapannya, duduk di ayunan kosong di sebelahnya lalu menyodorkan kembali sekaleng minuman soda itu, lebih dekat ke wajahnya.

Dalam waktu kurang dari dua menit, sudah tiga kali aku menyebutkan kalau aku menyodorkan sekaleng minuman soda kepada gadis itu, dan dia masih tak juga mengulurkan tangannya untuk menerima pemberiaanku atau kita sebut saja bayaran untuknya menemaniku duduk di ayunan ini. Dengan agak kesal, aku menarik salah satu tangannya yang masih sibuk memuntir-muntir bagian bawah bajunya dan menaruh sekaleng minuman soda di tangannya.

Setelah sekaleng minuman soda dan sore yang agak mendung, dia mulai tak takut lagi kepadaku, sepertinya. Meski begitu, dia tetap tak pernah bicara apa pun, hanya membiarkanku duduk di sampingnya dan bercerita banyak hal sambil memandangi matahari yang merayap turun dan bersembunyi di antara pepohonan.

Lambat laun, setelah menjadi pendengar yang baik, dia mulai berani bersuara, menyahuti pertanyaanku atau melontarkan pertanyaan selagi aku bercerita. Dan hari ini, sama seperti beberapa bulan lalu, saat aku pertama bertemu dengannya.

Dia menunduk dalam, tangannya memuntir-muntir bagian bawah baju, dan matanya melirik ke kiri dan kanan, meski saat aku duduk di sampingnya, dia tidak berpindah tempat duduk. Aku bertanya, apa yang terjadi? Namun, dia diam. Tidak berayun dan tersenyum seperti biasa, malah menunduk semakin dalam. Saat aku berjongkok di hadapannya, mengintip wajahnya yang terhalang poni, aku melihat ada mendung di sana.

Sama seperti biasanya, aku tak akan bertanya kenapa dia dan bagaimana perasaannya saat ini. Aku hanya duduk di sampingnya di setiap sore, bercerita tentang apa saja, apa pun yang mungkin salah satunya dapat menarik mintanya untuk bersuara. Maka cara itu berhasil juga kali ini.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Apa yang akan terjadi seandainya orang tuaku kembali bersama?” tanyanya dengan kepala yang masih menunduk dalam dan suara yang bergetar.

“Kenapa mereka harus kembali?”

“Orang-orang bilang, harusnya ibuku tidak menikah lagi dan tetap setia menunggu sampai ayahku dilepaskan dari penjara.”

“Lalu?”

“Mereka bilang, ibuku sengaja menjebloskan ayahku ke penjara agar bisa menikah dengan ayah tiriku yang kaya.”

“Lalu?”

“Mereka bilang, aku anak tak tahu diri karena senang ayahnya dipenjara dan ibunya menikah lagi dengan seorang pria kaya. Mereka bilang, aku dan ibuku gila harta. Mereka bilang, ibuku bukan wanita baik-baik yang nanti, jika ayah tiriku tidak lagi kaya, maka akan bernasib sama seperti ayahku, lalu ibuku akan menikah lagi dengan pria yang lebih kaya. Mereka bilang terlalu banyak. Mereka terus bilang begitu meski aku sudah mengatakan bukan seperti itu yang terjadi. Tetapi mereka tak mau mendengar dan terus bilang sesuka hati tentang keluargaku.”

Setelah bicara panjang lebar, dia menangis sesenggukan. Kepalanya tetap menunduk dalam, sangat dalam, sehingga aku tak bisa mengintip bagaimana wajahnya saat ini. Bisa jadi di sana tergurat luka.

Bukan luka seperti tergores benda tajam atau hal sejenisnya, melainkan luka yang menggores perasaannya atas betapa tidak tahunya orang-orang tentang apa yang mereka katakan terhadapnya. Karena di salah satu sore, ketika ayahnya digiring polisi untuk dijebloskan ke dalam jeruji besi, aku melihatnya tersenyum lepas untuk pertama kali. Dia bilang, di setiap malam dia selalu berdoa agar ayahnya mati saja. Namun, Tuhan berkehendak lain.

“Setidaknya, ayahku tidak lagi berada di dekatku atau Ibu,” ucapnya kala itu.

Maka, hari ini, di sore ini, dia kembali menanyakan kepadaku bagaimana jika orang tuanya kembali bersama seperti yang orang-orang katakan. Bagaimana jika ibunya tak pernah menelepon polisi. Bagaimana jika ibunya tidak menikah lagi. Sembari menanyakan semua itu, dia menangis, mencoba membayangkan bahwa di setiap malam ayahnya akan pulang dengan tubuh bau alkohol dan mulut yang terus meracau, lantas menyeretnya keluar kamar dan memukulinya tanpa ampun, berteriak kalau dia pembawa sial.

Ibunya yang sudah lelah menarik-narik ayahnya agar berhenti memukuli akhirnya membungkuk, memeluknya erat dan menjadikan tubuh sendiri sebagai tameng yang siap menerima hantaman pedang atau palu godam. Selalu begitu di setiap malam.

“Mereka memang harus berpisah,” ucapku sambil mengelus lembut punggungnya.

Dia mengangguk setuju, meski tahu orang-orang takkan begitu. Besok-besok, atau sepulangnya dia dari taman ini, dia tahu kalau orang-orang akan mengatakan hal yang sama tentang keluarganya yang dinilai berantakan. Padahal, aku tahu dengan jelas, kalau keluarganya yang dulu, yang tidak pernah dikomentari oleh banyak orang, jauh lebih berantakan. Malah, sekarang, keluarganya sudah bisa dibilang menemui titik terang.

Gadis ini, yang duduk di sampingku sambil menangis. Kurasa dia pantas bahagia seandainya seseorang tetap bungkam seperti dulu.***

 

Jakarta, 29 Mei 2019

Baca Juga: [CERPEN-AN] Antara Baik dan Buruk

Lily Rosella Photo Verified Writer Lily Rosella

Penulis kumcer "Iblis Pembisik" (2019)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya