[CERPEN] Kasur Keramat

Harta ibu yang paling berharga

“Jadi cowok itu jangan penakut.” Ibu selalu bilang begitu setiap kali gue kabur kalau ngeliat kecoa terbang. Padahal … dalam hidup ini kecoa terbang adalah hal terhoror buat gue, tapi beliau seolah-olah gak mau tahu. Intinya, gue harus jadi cowok yang pemberani. Titik. Gak boleh tawar-menawar.

Maka, berkat Ibu yang gak pernah capek-capeknya bawelin gue soal ini-itu, sekarang gue udah jadi cowok pemberani. Berani patah hati. Berani ditolak berkali-kali. Berani juga sama kecoa. What? Kecoa? Oh, no! Gue masih tetap takut, dan semua wejangan Ibu rasanya gak mempan. Kecoa terbang mungkin bakal selalu jadi hal paling mengerikan. Bukan mengerikan sih, cuma menjijikan.

“Leh, kenapa kasur Ibu jadi begini?” teriak Ibu gak lama setelah masuk kamar.

Gue tersenyum bangga. Pasti Ibu senang bukan main. Di hari ulang tahunnya gue berinisiatif beliin beliau kasur baru, karena kasur yang lama itu bikin pegal dan remuk badan. Gue bisa liat kalau setiap pagi Ibu pasti pegangin pinggangnya sambil nelengin kepala ke kiri dan kanan.

“Mana kasur Ibu yang lama?” tanya Ibu yang sudah tiba di hadapanku.

“Udah dibuang. Biar gak sempit-sempitin rumah.”

“Dibuang?”

“Iya, Bu. Kan udah ada kasur baru, buat apa juga kasur buluk begitu disimpan.”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Bukannya menyuguhi gue senyum, wajah Ibu malah ditekuk. Matanya berapi-api dan bisa gue bayangin kalau dari kepalanya keluar tanduk. “Cepat cari atau kamu gak bakal dapat warisan!” Sesingkat itu ucapannya, terus pergi ninggalin gue yang cuma bisa melongo.

Paginya, setelah adu debat sama Ijul—teman nongkrong gue—perkara mana yang lebih gue takutin. Kecoa terbang atau jadi anak durhaka dan gak bakal dapat warisan. Meski gue gak ngerti apa faedah dari adu debat itu sendiri yang sama sekali gak ada sangkut pautnya. Alhasil berakhirlah gue dengan Vespa peninggalan almarhum Bapak, pergi ke tempat gue buang kasur kemarin.

Nahasnya kasur Ibu yang paling berharga itu ilang. Ya, itu kasur paling berharga sampai jadi penentu apa gue bakal dapat warisan atau enggak. Betapa kejam dunia ini. Warisan gue ditentukan di tangan kasur buluk yang gue buang lantaran pengen jadi anak berbakti.

“Gimana, udah ketemu kasurnya?” tanya Ibu sepulangnya gue dari muter-muter keliling kompleks bahkan kota buat nyari kasur kesayangannya.

Gue menggeleng lemah, tanpa pasrah. Berharap Ibu mau maafin dan masukin nama gue ke dalam daftar penerima warisan mengingat gue anak bungsunya dan paling berbakti dari empat saudara gue yang lain. Tapi bukannya dimaafin, muka Ibu tambah kecut. Beliau gak ngomong apa-apa sama gue, duduk di sofa dengan tatapan kosong.

“Bu, Soleh jangan dihapus ya dari daftar warisan,” ucap gue apa adanya. To the point.

“Apanya yang jangan?” bentak Ibu sambil mukul pegangan kursi. Matanya melotot ke gue. “Mau warisin apa kalau kasurnya ilang? Uang-uang Ibu semuanya disimpan di sana, Leh.”

Gue cuma bisa diam. Nelen ludah dan mikir keras gimana caranya supaya kasur itu balik ke tangan gue. Benar kata Ijul, gue udah jadi anak durhaka dengan ngilangin kasur berharga Ibu.

Baca Juga: [Cerpen] Cinta Singkat

Lily Rosella Photo Verified Writer Lily Rosella

Penulis kumcer "Iblis Pembisik" (2019)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya