[CERPEN] Kita yang Serupa Daun Gugur di Musim Semi

Kita layu saat mekar

Aku membuat patahku sendiri, menggali luka yang tak pernah kau beri. Awalnya aku pikir tak mengapa jika cinta ini tumbuh, berkembang, dan mekar seperti yang aku impikan. Entah apa kau setuju atau tidak, itu bukanlah masalah untukku. Aku tak perlu persetujuanmu, tak perlu pula balasan cintamu. Aku sudah cukup senang dengan diberi kebebasan untuk mencintai seseorang, setidaknya begitulah yang kupikirkan.

Ini adalah musim penghujan tanpa setetes pun air yang jatuh dari langit. Tampaknya kemarau masih betah berlama-lama, membuat tanah semakin kering kerontang karena kekurangan kadar airnya. Tak ada yang istimewa hari ini. Bunga mawar di halaman depan rumahku yang tak mau tumbuh, ikan di kolom yang selalu kehausan, juga kucing putihku yang begitu sering memanjangkan tubuhnya, bersiap tidur setiap waktu. Semua masih sama seperti kemarin, hanya saja tidak dengan perasaanku untukmu.

Sejak malam itu, malam di mana aku tahu bahwa mencintaimu bukanlah hal yang tepat, maka aku memilih untuk menyerah. Dan bodohnya, aku menyerah setelah mengetahui bahwa kau memiliki perasaan yang sama sepertiku. Hanya saja aku pikir itu adalah pilihan yang tepat. Membunuh sesuatu yang belum benar-benar tumbuh di hatimu.

“Kamu mencintainya?” tanyaku sambil menyandarkan diri di kursi, menatap bintang-bintang yang enggan muncul untuk sekadar menyapa.

“Tidak.”

“Jangan berbohong. Semua orang di kampus tentu tahu kalau kamu mencintainya,” candaku.

Ia tersenyum dan mengangguk saru. Mengakui bahwa setiap jengkal rasa cinta di hatinya memanglah untukmu. Entah ia mencintaimu lebih dulu dariku atau tidak. Lebih besar dari cintaku atau tidak. Yang aku tahu, kau akan lebih baik jika disandingkan dengannya. Dia sempurna untukmu. Sesempurna kau di mataku.

“Kenapa kamu merahasiakannya dariku. Kita ini bukan hanya sekadar teman melainkan saudara, orangtua kita bahkan bersahabat sejak dulu, sama seperti kita. Untunglah kamu perempuan sehingga aku tidak perlu merasa frustrasi membayangkan sebauh perjodohan.” Aku tertawa kecil, diikuti olehnya.

“Aku hanya tidak tahu bagaimana harus menceritakannya. Memikirkannya saja aku merasa malu sendiri,” sahutnya dengan wajah semringah.

“Ah, kau bebas memikirkannya. Dia juga tidak tahu apa yang ada di pikiranmu. Tapi sangat bagus jika dia tahu,” jawabku.

Sejak saat itu ia mulai sering menceritakan tentangmu. Tentang perasaannya padamu dan semua kelebihan dan hal-hal apa saja yang ia suka tentangmu. Sedangkan aku menjadi pendengar setia, tapi tak lagi menjadi pencinta yang setia. Meski mekar, cintaku untukmu bak setangkai mawar di halaman depan rumahku yang layu.

Aku tak punya cara untuk menghentikan rasaku, hingga akhirnya aku hanya bisa mendapati diriku menjauh darimu. Bahkan tak ada sejengkal pun bayang-bayangku menyentuh ujung kakimu kala kulihat kau berjalan di sisi jalan yang sama denganku saat pulang dari kampus.

“Apa yang salah?” tanyamu di sore hari sebulan lalu.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Kau datang begitu saja setelah mengirim sebuah pesan singkat dan memintaku untuk menemuimu tak jauh dari rumahku. Seperti biasa kau mengenakan kaus lengan panjang. Pada bagian tubuhnya polos, sedangkan lengannya bermotif zig-zag. Rambutmu tersisir rapi, sedangkan mata besarmu kau sembunyikan di balik kacamata berbingkai hitam.

Aku menggeleng. “Tidak ada yang salah.”

“Lalu kenapa kamu menghindar?”

“Tidak ada yang menghindari sesiapa. Kamu hanya terlalu banyak berprasangka,” jawabku tenang. Setenang angin yang berembus menyapu lembut wajahku.

 “Apa karena dia?”

“Siapa?”

“Seseorang yang biasa mengenakan tas selempang warna merah polkadot.”

“Kenapa dia?”

“Kamu mencoba untuk memberikanku padanya.”

Aku bergeming. Memilih tak menjawab pertanyaan gilamu yang sebenarnya sangat tepat jika harus kujawab kebenarannya. Beranjak ke halaman rumahku dan meninggalkanmu beserta buku yang ada di pangkuanmu. Aku tak pernah menyangka kalau itu adalah pembicaraan terakhir kita. Karena nyatanya kau mulai menjauh. Setelah sore yang cerah itu kau tak lagi dekat denganku atau mulai dekat dengannya. Kau hanya kembali ke kehidupanmu yang abu-abu. Sama seperti pertama aku mengenalmu. Tanpa gairah.

“Aku melihatnya di lapangan basket. Dia terlihat sangat tampan dengan kaus lengan panjang dan celana jeans biru. Meski dia memang tak pernah tersenyum padaku, tapi melihatnya menoleh ke arahku saja jantungku sudah tidak keruan. Dan mungkin aku akan pingsan jika dia menghampiriku apalagi mengajak berbicara,” ceritanya yang kebetulan berkunjung ke rumahku.

Aku tersenyum mendengarnya. “Mungkin dia sudah menaruh hati padamu,” sahutku sembari tersenyum padanya. Berpura-pura ikut senang.

Saat ini, tak banyak yang aku tahu tentangmu. Tak pula aku tahu apa kau menyukai tempat terakhir kita bertemu. Apakah kau masih menyukai martabak asin sepertiku atau malah tak menyukai kata martabak sama sekali. Atau apakah kau bisa mencintainya susatu saat nanti. Aku tidak tahu. Yang kutahu hanyalah kita semakin jauh, pudar, lantas hilang seperti tak pernah ada atau bertemu sebelumnya. Kembali menjadi orang asing hanya karena perkara cinta yang tak berniat kusisihkan barang sedikit untukmu. (*)

Lily Rosella Photo Verified Writer Lily Rosella

Penulis kumcer "Iblis Pembisik" (2019)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya