[CERPEN] Pria di Gedung “The Cen uries Sec nd”

Dia menatapku atau mungkin kau juga

Kau bisa melihat 15 derajat ke arah barat dari halte ini. Di sana terdapat gedung berlantai empat yang catnya memudar. Entah dulunya warna kuning atau cream. Di atasnya terdapat papan besar bertuliskan “The Cen uries Sec nd”, mungkin maksudnya The Centuries Second. Tapi bukan itu yang mengganggu pikiranku. Di gedung tersebut, tepatnya di lantai dua, jendela urutan ketiga dari kanan. Aku bisa melihat seseorang tengah memandangiku. Wajahnya sendu, tapi sorot matanya tajam bak seekor elang yang hendak memangsa.

Seminggu lalu, hujan turun tak lama setelah awan kelabu menyelimuti langit kotaku, membuatku berlari kecil menuju halte bus yang berjarak sepuluh meter, kira-kira. Aku berteduh di sana, menepuk-nepuk pelan rambut panjangku yang basah, juga kemeja lengan panjang dan rok kotak-kotak sebetis. Menaruh tas jinjingku di bangku halte.

Hujan terus turun bergerombolan, berlapis-lapis dan tak juga mereda sejak sepuluh menit berlalu. Aku harus segera pulang atau Ibu akan mencemaskanku sambil berjalan ke sana-kemari menatap pintu, begitulah yang aku pikirkan. Namun sayangnya hujan bukan mereda melainkan bertambah deras.

Aku duduk di bangku samping tas jinjingku. Dua kursi dari tasku seorang pria berkacamata sepertinya juga tak membawa payung sehingga terpaksa menunggu hujan reda sambil kaki kanannya bergerak-gerak naik-turun. Pria itu, jika aku terka-terka seusia dengan ayahku, tapi beberapa tahun lebih muda. Dia mungkin tengah merisaukan rumah. Seorang istri yang berjalan ke sana-kemari serupa yang ibuku lakukan, rengekan anak kecil yang menunggu kedatangannya, serta semangkuk sup yang telah dingin dan nanti akan dipanaskan kembali setibanya ia di rumah. Tapi itu semua hanya mungkin.

Aku mengalihkan pandanganku darinya. Menatap jalanan basah yang diguyur hujan. Sebelumnya satu-dua mobil melintas dan keciprat airnya hampir saja mengenai sepatu merah jambuku yang baru dibelikan Ayah kemarin lusa. Tapi untunglah itu tidak terjadi. Hanya saja di sini begitu sepi, seperti biasa. Tak banyak orang lewat sembari memakai payung, atau kendaraan-kendaraan yang melaju dengan kecepatan lebih lambat bahkan mengebut saking lengangnya jalanan besar di hadapanku. Di toko-toko sekitar juga tampak begitu tenang, membuat rintik hujan menjadi pemandangan yang begitu monoton.

Baru saja aku hendak menatap jam di pergelangan tanganku, tapi dari sana—tepat di gedung berlantai empat itu—entah bagaimana aku menyadari keberadaannya ketika sekelebat cahaya menyilaukan muncul dan menarik perhatianku untuk memandang ke arah jendela lantai dua itu. Mataku bertemu pandang dengan pemilik sorot mata tajam tersebut. Di bawah guyuran hujan yang kian deras, serta warna-warna yang terkesan kelabu, aku dapat mengenali wajahnya yang pucat dan sendu. Ia memandangku tak berkedip, setelahnya aku tak mengingat apa pun selain hujan telah reda dan langit tetap gelap. Sedangkan pria berkacamata di sampingku telah hilang, mungkin sudah berada di rumah.

***

Aku kembali esok harinya, berhenti di gedung bertuliskan “The Cen uries Sec nd” ini. Entah angin apa yang membawaku ke sini, tapi … aku hanya ingin memastikan sesuatu yang mengganggu pikiranku semalam. Tentang seseorang yang tinggal di lantai dua dan memandangiku kemarin.

Dengan langkah yang sedikit ragu-ragu, aku menuju pintu masuk berbarengan dengan seorang wanita bertubuh gemuk yang mengenakan blazer ungu dan celana bahan panjang berwarna senada. Wajahnya agak lebar, serta lipstick merah yang menghiasi bibir tebalnya serta blush on dan eyeshadow yang begitu kentara. Di tangannya tergenggam tali yang terhubung ke leher anjing pudel berbulu pink. Sepertinya ia salah satu penghuni di gedung ini.

Setelah masuk aku tak mendapati apa pun di sini, termasuk wanita bertubuh gemuk dengan anjing pudelnya yang barusan berada selangkah di depanku. Hanya ada gedung kosong yang berdebu dan dipenuhi kabang-kabang di setiap sudutnya. Atapnya tinggi dengan lampu gantung yang bergerak sesekali saat tertiup angin. Bau lembap serta lantai kayu yang berderit ketika diinjak membuatku memikirkan ulang untuk tetap bersikukuh ke lantai dua. Mungkin gedung ini berhantu, pikirku.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

***

“Apa yang sedang kamu lihat?”

Aku menggeleng pelan, menatap Yuki yang berdiri di sampingku. Tadi, aku sempat berhenti ketika cahaya menyilaukan itu kembali muncul. Memandang jendela lantai dua yang kacanya agak retak serta seorang pria berambut keriting yang balik memandangku. Wajahnya tetap sendu seperti hari-hari kemarin. Juga sorot matanya yang masih tajam bak seekor elang.

“Itu,” ucapku sembari menujuk pria di lantai dua gedung “The Cen uries Sec nd“ tersebut.

“Kenapa di sana?”

“Kamu melihatnya?”

“Melihat apa?”

“Seorang pria berambut keriting.”

Yuki membenarkan kacamatanya. Menguapkannya dan mengelap dengan ujung kemeja, lantas memakainya kembali. “Tidak ada siapa pun di sana.”

Aku menghela napas. “Sepertinya aku salah melihat,” ucapku berbohong.

Aku sudah menduga kalau Yuki akan berkata begitu. Aku menyadari ada yang aneh dengan gedung itu setelah memasukinya seminggu lalu, terlebih setelah nekad ke lantai dua dan mencari ruangan tempat pria tersebut berada. Setidaknya aku hanya ingin mengetahui apa hanya aku yang melihatnya, atau Yuki juga menyadari keberadaannya. (*)

Lily Rosella Photo Verified Writer Lily Rosella

Penulis kumcer "Iblis Pembisik" (2019)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya