[CERPEN] Lelaki yang Becermin di Telaga

Telaga rindu

Senja semakin matang. Langit beranjak malam. Lereng perbukitan kembali dihinggapi camar-camar berkelepak. Selain itu, bersisa lengang menggenang telaga. Tiada riak. 

Suara sedan menderu di jalanan berkerikil. Sedikit mengejutkan bagi beberapa camar – berkecipak di telaga – lantas terbang menjauh. Sedan itu menepi tepat di samping pohon eru. Pintu mobil terbuka.

Seorang lelaki dengan kemeja putih beranjak dari kursi pengemudi. Usianya mungkin sekitar seperempat abad. Perawakannya tegap, rahangnya tegas dengan kulit sawo matang yang biasa ditempa matahari. Keringat mengucur di dahi. Langkahnya patah-patah mendekati telaga tanpa bicara.

Lelaki itu berlutut di tepi seraya menundukkan kepala. Kembali mengenang sekelebat masa kecil yang membekas. Matanya yang hitam pekat berlinang tak tertahan. Jemarinya gemetar meremas kain celana.

***

Taksi biru lazuardi meninggalkan seorang perempuan dengan usia penghujung dua puluh yang menggamit lengan anak kecil berambut ikal. Di tangan sebelahnya, ia membawa keranjang berisi bekal untuk kesempatan hari ini.  Sederhana, piknik.

“Alif, tunggu Mama!”

Anak berusia delapan tahun itu mana mendengarkan. Matanya berbinar-binar menatap polesan Tuhan begitu apik memanjakan. Langsung membiarkan bagian betisnya basah oleh air jernih.   

“Indah sekali, Ma!” telunjuk mungilnya mengarah pada hamparan perbukitan hijau yang memagari telaga. Paduan alam nan asri itu masih disempurnakan dengan desauan bayu dari rimbunnya pepohonan dan langit biru disaput awan. 

“Kau senang?” tanya perempuan itu seraya tersenyum.

Alif menganggukkan kepala riang. Baru beberapa menit saja, bagian bawah celana kremnya sudah menggelap basah.

Perempuan itu menggelar tikar pandan di tepi telaga. Mengeluarkan nasi, ayam goreng, tumis buncis, roti isi, dan beberapa jenis buah yang dibawa dalam keranjang. Tidak ada siapa-siapa di sana kecuali mereka. Bagai berada dalam surga yang tersembunyi dari manusia. Burung camar melintas di kepala lantas mengunjur di telaga, melayang kembali kepaknya di cakrawala.

“Mama tahu tempat ini dari teman sewaktu kuliah dulu. Tenteram. Sejenak mengusir segala gelisah. Tidak banyak orang yang tahu. Mama juga tidak mengerti kenapa. Katanya sih, orang-orang lebih senang pergi ke mal.”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Aku lebih suka di sini daripada di mal, Ma.” Alif mengunyah setangkup roti pelan. Enak. Buatan mama selalu enak. “Tempat ini juga lebih baik daripada rumah. Papa suka mengurungku di gudang kalau ada tamu. Aku tidak tahu siapa nama tamunya. Rambutnya lebih panjang dari Mama, tapi Mama lebih cantik!”

Perempuan itu tercenung sejenak. Murung. Hanya beberapa detik sebelum kembali menampilkan ekspresi lemah lembut miliknya.

Sayangnya, waktu memang terasa cepat ketika dihabiskan bersama orang-orang yang kita cintai. Sore terbit di cakrawala. Batas waktu harus ditepati sesuai perjanjian. Perempuan itu menatap gawainya, bersiap memesan taksi untuk berpisah kemudian.

“Mama ikut pulang, kan?” tanya Alif penuh harap.

“Tidak bisa, Nak,” lirih perempuan itu.

“Kenapa? Aku bosan tidur sama Papa. Tidak ada dongeng seru sebelum tidur. Papa juga melarang untuk mematikan lampu kalau tidur. Padahal, aku lebih suka kamar gelap agar tidurnya nyenyak. Seperti Mama.”

Pertanyaan Alif menggantung tanpa jawaban. Perempuan itu memeluk anak semata wayangnya. Tergugu. Tidak mampu menjelaskan, biarlah waktu yang menutur kata.

***

Lelaki itu terisak. Sekelebat ingatan di benaknya diputar bagai tayangan dokumenter. Pertemuan terakhir mereka. Mama tidak pernah muncul lagi sejak saat itu. Entah ke mana. Entah di mana. Entah apakah masih ada mama.

“Kenapa menghilang, Ma? Mama belum lihat aku mengenakan toga. Tadi aku membacakan pidato kelulusan dan menyebut Mama. Papa tidak hadir. Aku tidak peduli. Lagi pula, sekarang aku memang hidup sendiri. Selama kuliah, aku membangun bisnis bersama teman. Mobil ini aku beli sendiri, Ma. Tidak pakai uang Papa. Uang Papa habis untuk Tante Vina. Ya, Papa sekarang bangkrut.”

“Hanya telaga ini yang mengobati rindu, meski akan kambuh lagi berkali-kali. Kumohon kembalilah, Ma.”

Meski ia sendirian memasrah, tampak pantulan sosok perempuan yang tersenyum erat mendekapnya. Bahkan setelah bertahun-tahun, permukaan telaga tidak pernah menghilangkan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya.***

2020

Baca Juga: [CERPEN] Tetesan Tinta dalam Jurnal Mimpi

Alanis Kavi Photo Verified Writer Alanis Kavi

move

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya