[CERPEN] Salam untuk Orang Mati

Ras orang mati kian mewabah mengerikan 

Sueb menatap gamang sosok di depannya. Tinggi besar, dengan kotak-kotak persegi tercetak dari balik kaus ketatnya. Seru benar untuk main SOS. Tak seperti perut datarnya – bahkan mencekung ke dalam – roti tawar pun tak masuk hitungan. Apalagi roti sobek merek kenamaan.

“Apa yang kau mau?” ia langsung menunding pertanyaan.

Sungguh ia tahu benar, orang seperti ini datang bukan tanpa alasan. Badan kekar khas bodyguard. Entah kaki tangan siapa. Meski ia selalu ingat peribahasa orang Barat, don't judge a book by this cover. Jangan menilai buku dari sampulnya. Orang bertubuh kekar ini mungkin tidak seperti yang ada dalam benaknya. Garang dan hendak menelan tubuh ringkihnya. Mungkin, ia selaras dengan orang kekar yang Sueb temui di gimnasium.

“Saya datang atas perintah Pak Koruptor.” Ia hendak mengeluarkan celurit, kapak, gergaji, dan semacamnya, tetapi tak jadi. Betapa ia tahu, Sueb satu sentil perpaduan ibu jari dengan telunjuk saja langsung mental.

“Apa mau Pak Koruptor?”

“Korupsi, lha Pak. Apalagi?”

“Saya tahu. Selain korupsi. Untuk apa menyuruh Anda datang ke sini?”

Sejak zaman Siti Nurbaya pun, mereka juga tahu pekerjaan koruptor itu korupsi. Kalau tidak korupsi, tidak akan disebut koruptor. Kalau tidak korupsi, tidak bisa ngantor.

“Harap Pak Sueb turun jabatan, menandatangani perjanjian. Berita tentang Pak Koruptor sudah menyebar, gara-gara Bapak sih...,” lelaki itu menampakkan wajah sebal. Merengut. Seperti anak perempuan berumur lima tahun kehilangan gula-gula,

Sueb menepuk dahi. Dia teringat wawancara dengan salah satu reporter televisi ternama. Terkait dugaan korupsi oleh Pak Koruptor. Ia lupa, orang Indonesia memanggilnya dengan nama kehormatan. Bukan, bukan Pak Koruptor, itu nama kotor! Tapi orang sudah seharusnya tahu, bukan? Korupsi itu pekerjaan Pak Koruptor. Tak ada lagi embel-embel nama kehormatan ataupun puji-pujian disematkan.

“Namun, Pak Koruptor tidak mau diketahui pekerjaannya, Pak. Jadi sebaiknya, sebelum semuanya menjadi lebih buruk, Bapak menandatangani pernyataan sekaligus perjanjian ini.” Si Badan Kekar – begitu Sueb menyebutnya saat ini – mengempaskan lembar kertas dalam sebuah map hijau ke atas meja kerja Sueb. 

Sueb tersudut.

“Saya tidak mau menandatangani itu! Entah pernyataan. Entah perjanjian. Bodo amat!” Sueb mendengus. “Meskipun Pak Koruptor mau sogok saya pakai album Super Junior ditambah posternya Kyuhyun, sekali lagi, gak, gak, gak ...!”

“Apa saya perlu pakai kekerasan? Sedangkan meski tampak sangar, saya berhati lembut dan rajin pergi ke langgar,” si Badan Kekar bergumam. Dia dilanda kebingungan. Aduh, iiih .... mau bagaimana ini? Celurit, kapak, gergaji tadi itu agar tampak seram saja.  

“Tentu tidak perlu. Katakanlah, sebuah permisalan. Engkau bilang bahwa si penulis suka menulis. Adakah kejanggalan?”

Si Badan Kekar menggeleng-gelengkan kepala. Alisnya bertaut heran.

“Tetapi ini berbeda, Pak. Pekerjaan koruptor masih belum diterima orang banyak. Massa bisa mengamuk dan mendemo Pak Koruptor. Dan Pak Koruptor akan mengamuk pada saya, huhuhu ....,” urai si Badan Kekar mengadu.

Ia menangis sampai-sampai ruangan Sueb kebanjiran karena tangis sedih tak terkira Si Badan Kekar, membayangkan nasibnya yang ditentukan Pak Koruptor.

“Tenanglah. Aku yakin, masih banyak orang mati di negeri ini. Bukan jasadnya yang mati, tetapi rohani. Hati. Mereka tak cukup peduli dengan satu Pak Koruptor yang tersiar kabar soal pekerjaannya. Masih banyak Pak Koruptor dan Bu Koruptor lainnya di negeri ini. Merekah-rekah. Berbiak tiap detiknya. Hanya soal waktu koruptor adalah pekerjaan lazim, dan mungkin beberapa dekade ke depan tercatat sebagai profesi di KTP.”

Sueb menenangkan si Badan Kekar, sebelum air matanya membanjiri lantai tiga. Huft. Masih mending kalau yang menangis ini gadis rupawan, sekalian ia bawa ke pelaminan agar tak lagi kesepian.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Orang mati ... bukan raga tetapi hati, sudah berkembang pesat di negeri ini. Selaras dengan kemajuan teknologi. Mereka tidak lagi hanya turun ke jalan, tetapi juga di dalam rumah, apartemen, restoran, atau hanya sela-sela gang sempit dengan jalan penuh lubang. Ah, apa susahnya memanfaatkan media sosial?

Selalu saja menuliskan ragam kebencian pada hal putih, tetapi abai pada si hitam. Pada akhirnya, memadupadankan kedua hal tersebut menjadi abu-abu adalah pilihan baik mereka. Hanya menunggu waktu, koruptor disambut orang-orang mati.

Sok berpikir rasional. “Mereka memang berbakat korupsi, lantas untuk apa mencegah lahirnya koruptor? Sama saja seperti anak kita, pasti punya impian. Jangan buat mereka menyerah terhadap cita-cita". Lantas banyak yang saling angguk mengiyakan hingga menjadi tren abad ini.

“Lalu apa yang harus saya katakan pada Pak Koruptor?” si Badan Kekar menyeka bulir air mata yang mendarat di pipi. Sueb sendiri mengepel lantai yang sudah bercampur dengan genangan air asin entah dari mata atau melalui cairan lembek di hidung.

Mapnya tadi juga sudah basah. Mengurungkan segala perjanjian. Carik kertasnya sudah berubah menjadi bubur kertas untuk didaur ulang. Tak ada kompensasi.

“Katakan saja, salam saya untuk Pak Koruptor dan keluarganya. Mereka sekeluarga, ras orang mati. Turun temurun tak pernah merasakan indahnya kehidupan hati, sungguh menyedihkan. Nasibnya memang baik rata-rata. Cemerlang. Koruptor berprestasi, perampok ulung, pebisnis sumber daya ilegal kelas lele. Bilang, lain kali saya mampir,” tutur Sueb sembari memperbaiki posisi dasi.

Si Badan Kekar memasukkan celurit, kapak, dan gergaji ke balik gespernya kembali. Mendapat pencerahan. Semoga saja Pak Koruptor tidak marah kepadanya.

“Siap laksanakan, Pak!” si Badan Kekar berbalik arah dengan pipi merona merah. Senang tidak lagi ditiban gelisah.

Sueb kini bisa menarik napas lega. Ia kembali membereskan ruang kerjanya. Sebagai pejabat papan atas, komentarnya bisa menyulut api atau menebar kuntum bunga. Selalu saja jadi bahan berita.

Sembari rebah di sofa, Sueb membuka portal berita daring. Namanya terletak di kepala berita laman utama. “Syu’aib Makmur Maklum bin Sejahtera, mengatakan secara mutlak bahwa Pak Fulan mutlak koruptor! Pak Fulan dengan tegas mencicit, itu fitnah". 

Sueb mengernyitkan dahi. Teringat tentang wawancara pekan lalu. Ia hanya bilang bahwa Pak Koruptor memang koruptor, lha namanya saja Pak Koruptor, memang sudah kotor, dia bukan penyebar hoaks demi honor seperti para pesohor. Dia hanya Sueb, pejabat papan atas. Atas segalanya. Asik. Tapi, ia tidak sekalipun menyebut kata mutlak. Ia mencari berita-berita lain, yang justru kini balik menyudutkan dirinya.

Ah, tidak salah lagi. Penulis beritanya pasti ras orang mati. Entah berasal dari warga lokal atau pendatang, ras itu dengan cepat menyebar di berbagai daerah. Menciptakan etnik-etnik, mengelabui negeri dengan ilusi bikinan sendiri. Enak saja.

Sueb cepat-cepat menelepon si Badan Kekar. Mereka baru bertukar nomor menjelang kepergian si Badan Kekar alias Udin. Entah di mana lelaki itu sekarang. Setelah beberapa menit, telepon baru tersambung.

“Halo, ada apa, Pak?” terdengar suara riang di seberang.

“Tolong sampaikan pada Pak Koruptor. Saya minta maaf.”

“Oh, baiklah Pak.”

Sueb mengelap peluh yang mengucuri dahi. Ah, apa salamnya tak mempan untuk Pak Koruptor? Dia punya orang setia dimana-mana. Sekali diusik, langsung tergerak satu sayap membantu dirinya.

Ia hanya orang hidup biasa. Terimpit di antara ras orang mati yang merongrong negara.***

2017

Baca Juga: [CERPEN] Tetesan Tinta dalam Jurnal Mimpi

Alanis Kavi Photo Verified Writer Alanis Kavi

move

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya