[Cerpen] Calon Istri Pak Guru

Sebuah pertemuan tak terduga

 

Aku memasuki kedai itu bersama kedua muridku. Kami baru saja mengadakan kelas tambahan sepulang sekolah. Mengingat semangat mereka untuk belajar yang luar biasa, sebagai gantinya, aku akan mentraktir mereka es krim hari ini.

"Terima kasih banyak, Pak Guru!" ujar si gadis kecil.

"Kami kan bermaksud belajar sama Pak Guru. Tapi malah dibeliin es krim di sini, hehe!" imbuh si bocah laki-laki terkekeh.

Aku tersenyum. Mereka hanya dua orang murid kelas 3 SD. Tapi dengan segala kepolosan mereka, mereka sangat gigih sampai mau belajar hingga sore hari.

"Itu bukan apa-apa jika dibandingkan dengan semangat kalian. Aku yakin suatu saat nanti kalian akan menjadi orang yang sukses!" Aku menatap kedua pasang mata itu dengan mantap.

"Apakah itu berarti aku akan menjadi seorang ratu Inggris, Pak Guru?" Itu Yura yang bertanya. Dia selalu bercita-cita ingin menjadi seorang ratu.

"Berarti kau harus pindah ke Inggris. Kau kan mau jadi ratu Inggris!" Itu Koni. Dia pintar sekali bicara.

Yura tidak menjawab, ia hanya tertawa mendengar jawaban dari temannya itu. Ia nampaknya tahu bahwa mimpinya sulit menjadi kenyataan. Tapi tentu saja bermimpi sesuka hati merupakan hal yang menyenangkan bagi anak kecil seperti mereka.

"Kalau Pak Guru sendiri mau jadi apa?" Kali ini Yura yang bertanya padaku.

Mendengar kalimat itu aku terhenyut. Rasanya sudah lama aku tidak ditanya seperti itu. Terakhir kalinya adalah dulu sekali ketika ibuku masih ada.

"Uhmmm... Mungkin menjadi pengawal Ratu Yura?" Aku hanya membalikkan pertanyaan karena sesungguhnya aku tidak tahu harus menjawab apa. Maksudku di usiaku yang tengah menuju 30-an sudah tidak mungkin untuk bermimpi indah seperti mereka.

"Hihihihi!" Yura tertawa di sebrang meja. Ia menutup mulut dengan kedua tangannya.

"Apa mungkin Pak Guru ingin menikah?" Kini giliran Koni yang bertanya.

"A-apa?" Aku sedikit gugup mendengar pertanyaannya. Namun dengan sisa tawa di bibirku, sepertinya aku bisa menutupi kekalapanku.

"Yah... Mungkin...," jawabku asal.

"Asikkk! Aku kan menjadi pembawanga bunga di pernikahan Pak Guru!" Yura bersorak dengan riang, membuatku bingung dengan respon yang diberikannya.

"Kalau begitu aku akan menjadi pembawa cincin!" Koni pun tak ketinggalan bersorak.

"Hey! Tunggu dulu! Aku belum akan menikah," ujarku meluruskan keadaan. Tapi nampaknya mereka tak menghiraukanku sama sekali.

Sekali lagi aku hanya bisa tersenyum. Lihatlah, mereka hanya dua orang anak kecil yang sungguh tidak tahu apa-apa. Tanpa sadar itu membuatku teringat untuk segera mencari pendamping hidup.

"Baiklah, ayo kita pulang!" Aku berusaha mengalihkan pembicaraan dan mengajak mereka pulang.

"Hujan, Pak Guru!" Yura memanyunkan bibirnya.

"Itu, ada payung di sana!" Koni menunjuk sebuah payung ungu di samping pintu masuk.

"Bukankah itu milik orang lain?" Yura merasa tidak yakin.

"Kita pinjam saja, nanti kita kembalikan."

"Oke, kita akan pulang dengan payung ungu itu!" seruku.

 

**********

 

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Hari itu, hari Sabtu, ada sebuah festival robot yang diselenggarakan di balai kota. Dengan izin dari seluruh orang tua murid, aku meminta anak-anak mereka untuk hadir di festival tersebut.

Hujan turun di siang harinya. Memang tidak terlalu besar, tapi cukup membuatku khawatir untuk meminta semua murid mengenakan jas hujan mereka. Sengaja ku minta mereka membawa jas hujan dibandingkan payung, karena aku tahu mereka akan sangat suka bermain air di bawah rintiknya hujan.

Aku sendiri membawa payung ungu yang waktu itu ku pinjam di kedai es krim. Belum ku kembalikan. Tapi rencanya sore ini, selepas menemani murid-muridku, aku akan kembali ke sana dan mengembalikannya.

Sebagian murid nampak tengah bermain kejar-kejaran. Dan sebagian lainnya hanya melompat sambil asik menyiprat-nyipratkan air kepada temannya. Ah, andai saja aku seumuran mereka, pasti senang rasanya bisa bermain hujan-hujanan.

"Kau gurunya?"

Aku terkejut ketika menyadari seorang wanita sudah duduk di sampingku. Ia nampak memakai sebuah nametag yang menggantung di lehernya. Sepertinya ia salah seorang peserta bazaar di festival itu.

"Apa aku terlihat kurang meyakinkan?" Aku membalikkan pertanyaannya.

Ia tertawa. Sungguh, manis sekali!

"Tidak, aku hanya takut kalau aku salah menyangka orang lain."

"Mungkin kau beruntung. Karena kali ini kau benar."

Aku penasaran apa tujuan wanita ini menghampiriku. Ketakutanku adalah apabila salah seorang muridku telah membuat suatu kesalahan yang telah merugikannya. Tapi ia bilang tidak ada suatu hal khusus yang terjadi. Ia hanya iseng menghampiriku.

"Aku tertarik dengan payung milikmu. Bukan hal yang sulit menemukan sebuah  payung ungu di tengah payung abu."

Aku mengalihkan pandangan ke sekitarku. Ia benar. Mayoritas orang di sana menggunakan payung berwarna abu. Payungku memang tampak mencolok. Dan, jujur, aku cukup malu untuk mengetahuinya.

"Lalu... Menurutmu apa yang harus aku lakukan?" Aku menatapnya bingung.

"Mungkin... Kau bisa mengembalikannya padaku."

"Maksudmu?" Kali ini aku benar-benar bingung,

"Uhmm... Yah... Itu payungku," ujarnya ragu-ragu.

Memoriku kembali memanggil kejadian saat aku mentraktir Yura dan Koni makan di kedai es krim. Saat bagaimana kami bingung harus pulang dengan cara apa. Dan saat akhirnya aku memutuskan untuk mengantar mereka pulang dengan payung ungu yang entah milik siapa.

Seketika aku menjadi salah tingkah. Aku merasa seperti maling yang tengah tertangkap basah. Malu sekali rasanya.

Dengan ragu aku menyodorkan gagang payung itu kepada wanita yang bahkan belum sempat aku tanya siapa namanya. Aku hanya tersenyum, berusaha meminta maaf. Tepat saat ia juga menyentuh gagang payung itu, Yura dan Koni berhamburan menghampiri kami.

"Pak Guru! Apa ini calon istri yang akan dinikahi Pak Guru?" Yura dengan cepat mengambil kesimpulan versinya.

Aku saling melempar tatap dengan wanita itu. Aku berusaha meyakinkannya untuk tidak menanggapi perkataan Yura dengan serius. Namun yang ia lakukan malah tersenyum di hadapanku. Lagi!

"Apakah itu berarti aku jadi membawakan cincin?" Giliran Koni yang bertanya.

Oh Tuhan! Ku mohon kalian mengertilah dengan keadaannya!

Dengan lembut aku menjelaskan perihal kejadian yang sesungguhnya. Tapi bukanya mendengarkanku, mereka justru berlari kembali ke arah mereka datang tadi sambil terus bersorak.

"Mereka hanya anak kecil," ujarku berusaha menguasai keadaan.

Ia menarik kembali tangannya dari gagang payung dan tersenyum. Kali ini aku turut membalas senyumnya. Namun kata-kata selanjutnya yang ia katakanlah yang membuat hatiku semakin berdebar.

"Kalau begitu kau kembalikan saja payung itu ke tempat asalnya. Mungkin kita bisa mendiskusikan 'pernikahan kita' lebih jauh." Ia tertawa geli sambil berlalu di kejauhan.

Aku tahu itu adalah sebuah undangan. Mungkin memang sudah waktunya aku memikirkan kehidupan pribadiku. Keinginan itu semakin kuat, terutama saat ia mengatakan kata 'kita'.

 

Allisa Waskita Photo Writer Allisa Waskita

Unpredictable writer interested in exploring various topic.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya