[CERPEN] Mendebat Ayah

Terkadang mendengarkan pilihan orang tua adalah yang terbaik

      Waktu memang baru menunjukkan pukul dua siang. Tapi aku sudah rapih berdiri di depan cermin untuk melihat apakah penampilanku sudah cukup baik untuk pergi siang ini. Selesai menyisir rambutku, aku buru-buru menuruni tangga dan bergegas menuju motor – berharap ayah tidak akan mengetahui kepergianku.

           “Mau ke mana kamu?”

           Ah sial! Kenapa juga ayah bangun dari tidur siangnya? Udara masih berhembus sepoi-sepoi. Seharusnya ayah masih bisa terlelap di buatnya.

           “Kenzie kan udah izin, Yah.”

           “Emang ayah ngebolehin?”

           Sudah sejak jauh-jauh hari aku merencanakan acara ini bersama teman-temanku. Touring menggunakan sepada motor masing-masing dengan rute Bandung-Bogor. Kami tidak memilih rute yang terlalu jauh, mengingat kami semua masih di bawah umur, masih kelas dua SMA. Mayoritas belum memiliki SIM termasuk aku.

           Pada awalnya ayah mengizinkanku untuk pergi. Ia tahu acara touring berbeda dengan acara balapan. Ia percaya aku tidak akan membahayakan diri sendiri meskipun aku belum memiliki SIM. Tapi belakangan ayah berubah pikiran. Ia ingin aku tetap di rumah untuk ‘menyambut’ kedatangan bunda yang sudah dua minggu belakangan pergi ke luar kota.

           Aku sangat mengerti bagaimana perasaan rindu ayah terhadap bunda, dan bagaimana ayah menjadi sangat sensitif bahkan bersemangat di waktu yang bersamaan. Hal itu tentu bukan situasi yang menguntungkan bagiku untuk berdebat dengan ayah. Terlebih perasaan ayah yang sedang uring-uringan membuat semuanya menjadi salah di mata ayah.

           “Yah....” Ujarku berusaha menjadi lembut. “Kenzie tahu ayah pasti pernah ada di posisi Kenzie. Bukan Kenzie nggak mau ketemu bunda. Jujur, Kenzie juga kangen sama bunda. Tapi bunda pasti ngerti kan, Yah?”

           “Yang harusnya ngerti itu bunda atau kamu?!”

           Ah! Ayah masih belum mau kalah rupanya!

           Emosiku semakin menjadi. Aku pikir ayah sudah egois. Ayah punya keinginan untuk memberikan sambutan hangat ketika bunda pulang, dan ayah mau aku mengerti dirinya. Tapi ketahuilah aku juga punya keinginan. Aku punya acaraku sendiri yang bahkan sudah direncanakan jauh sebelum ayah memintaku untuk tidak pergi. Dan tentu, aku ingin ayah mengerti itu.

           “Ayah mau Kenzie ngertiin ayah. Tapi kenapa ayah nggak bisa ngertiin Kenzie duluan? Kenapa, Yah?!”

           “Kamu yang seharusnya bisa mikir! Kamu harusnya bisa bedain dong mana yang lebih penting dan nggak!”

           “Jadi ayah pikir Kenzie nggak bisa mikir? Kan ayah sendiri yang ngajarain Kenzie buat loyal, buat bertanggung jawab. Ayah juga yang ngajarin buat menunaikan kewajiban sebelum menuntut hak. Sekarang mana semua omongan ayah? Ayah sendiri nggak bisa ngebuktiin omongon ayah!”

           Aku tidak sampai hati mau memaki ayahku sendiri. Aku hanya berusaha membela diri karena ayah selalu menempatkan bahwa akulah pihak yang harusnya disalahkan. Tentu aku tidak terima dengan semua itu. Aku harus mengeluarkan pembelaanku.

           Setelah berdebat dengan ayah, aku memutuskan untuk berbalik badan dan bergegas menuju halaman rumah. Dengan kasar ku pakai sepatu yang ada di rak dan helm yang menggantung di spion motor. Sudah tidak ada lagi kebimbangan. Aku putuskan dengan mantap aku akan benar-benar pergi.

           Rupanya ayah mengejarku.

           “Kamu mau pergi?” Ujar ayah masih dengan nada yang tinggi. Malas ku jawab, yang ku lakukan hanya memutar sepeda motorku dan bersiap menancapkan gas untuk segera keluar dari halaman rumah.

           “Oke! Silakan kalau kamu mau pergi.” Ada nada bicara yang tidak enak di sana. “Tapi jangan harap kamu bisa balik lagi ke rumah ini!”

           Deg!

           Aku tahu betul sosok ayah. Ayah adalah sosok luar biasa, yang jujur, sangat aku segani. Tapi kadang jika ayah sudah memiliki suatu keinginan, ia bisa menjadi sosok yang egois. Dan jika sudah begitu, aku tidak suka ayah!

           Ayah tidak pernah memarahiku. Ia lebih banyak memelukku ketika aku senang, sedih, bahkan mengantuk. Banyak cara bagi ayah untuk membuatku jera tanpa pernah mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan. Tapi aku tidak menyangka, rasa rindu ayah kepada bunda yang telah membuatnya begitu uring-uringan, bisa membuatku terusir dari rumah ini.

           “Nggak apa-apa....” Aku berusaha mengatakannya dengan mantap. Aku adalah laki-laki kuat jagoan ayah yang harus tetap tangguh dan tegar. Meski tetap saja, aku tidak bisa menyembunyikan air mata di balik keangkuhanku.

           Aku akhirnya pergi meninggalkan ayah sendiri di depan pintu rumah. Aku tidak melampiaskan amarahku dengan kebut-kebutan di jalan. Sebaliknya, aku malah memacu motorku begitu lambat sampai beberapa kali kendaraan di belakangku harus membunyikan klaksonnya. Pikiranku terus melayang entah ke mana. Terlalu kompleks sampai membuatku tidak bisa fokus di jalan.

           Aku sampai di tempat meeting point yang telah ditentukan saat azan ashar berkumandang. Aku senang melihat teman-temanku sudah berkumpul di sana. Mendengar salam sapa dari mereka membuat perasaanku sedikit lebih baik.

           Salah seorang teman mengajakku menunaikan salat ashar bersama. Aku mengiyakannya. Kemudian selepas salat, aku memutuskan untuk beristirahat sebentar di musala. Ku lihat telepon genggamku bergetar. Ada beberapa pesan yang masuk. Saat itu juga aku tahu aku memiliki masalah baru.

 

           Kayla  : Kenzie

           Kayla  : Kamu di mana?

           Kayla  : Kata ayah kamu jadi pergi?

 

           Dia kekasihku, Kayla. Rupanya ayah tahu kelemahannku. Ayah pasti sengaja meminta bantuan Kayla di kala aku tidak mau mendengarkannya. Aku pun berharap begitu. Tapi nyatanya semua tidak berakhir indah.

 

           Kenzie : Kenapa?

           Kayla  : Kamu nggak mikir apa? Bunda kamu mau pulang dan kamu malah pergi keluyuran nggak jelas. Maksud ayah tuh baik. Kamu harusnya ngerti. Pake dong otak kamu!

           Kenzie : Oh.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

 

           Mungkin karena merasa geram, Kayla meneleponku. Pembicaraan kami lebih banyak mengandung perdebatan dibandingkan dengan negosiasi. Kayla ada dipihak ayah. Dan tentunya ia mati-matian membela ayah untuk membujukku pulang. Entah sudah berapa ribu kata yang ia lontarkan. Telingaku semakin panas dibuatnya. Tangan kananku mengepal dan berkali-kali meninju lantai.

           "Ya udah sekarang kamu mau apa?!" ujarku akhirnya membentak. Aku sudah tidak tahan lagi.

           "Ya kamu pulanglah!"

           "Kamu ngerti apa soal aku? Hah? Nyatanya kamu nggak ngerti apa-apa kan? Udah pergi aja semua! Nggak usah ada orang yang ngertiin aku."

           "Kok gitu? Kamu yang susah dikasih tahu!"

           "Cukup! Nggak usah ngurusin hidup aku!"

           "Oke. Aku nggak akan ganggu kamu lagi. Aku cuman mau nyampein amanat ayah doang."

           Dan panggilan pun diputus.

           Aku tidak tahu apakah itu semua berarti hubunganku dengan Kayla sudah berakhir atau tidak. Aku tidak bisa memikirkan itu dengan jernih. Aku hanya mmenganggap bahwa dengan begitu tidak ada yang bisa mengangguku lagi. Tidak ada makian untukku lagi. Dan dengan begitu hidupku akan lebih tenang.

           Aku terbangun sesaat sebelum azan maghrib berkumandang. Kepalaku terasa berat sekali. Rasanya ada sebuh batu besar yang menghantam kepalaku. Ya, batu permasalahan. Terlintas dalam benakku kejadian sesaat sebelum aku pergi tadi, saat aku bertengkar dengan ayah. Terbersit pula detik-detik saat hubunganku dengan Kayla berakhir.

           Aku jauh lebih tenang sekarang. Aku merasa semuanya seperti mimpi yang terlalu nyata untuk menjadi sungguhan. Sesuatu yang hampa begitu terasa di hatiku. Aku merasa kosong. Aku merasa sendirian. Orang tuaku sudah mengusirku, dan kekasihku sudah pergi meninggalkan aku. Siapa lagi yang ku punya?

       Bodohnya aku!

           Salah seorang teman menyadarkanku dan mengajakku untuk menunaikan salat maghrib. Aku mengiyakaannya. Selesai salat aku menyalami beberapa orang yang turut salat berjamaah bersamaku. Aku berusaha tersenyum dibalik kemelutnya wajahku yang entah menampakkan ekpresi apa – kesal atau sesal. Sampai saat aku menyalami salah seorang temanku sendiri, seseorang yang mengajakku salat tadi.

           "Pang, urang teu jadi milu nya. Teu pararuguh hate." Artinya, "Pang, aku nggak jadi ikut ya. Nggak srek hati."

           "Wios we, Ken. Ngke urang bejaan ka barudak." Artinya, "Nggak apa-apa, Ken. Nanti aku bilangin ke anak-anak (teman-teman yang lain)."

           Entah apa yang membuatku mengatakan hal itu. Mungkin hati nuraniku memang tidak benar-benar ingin pergi meninggalkan ayah. Aku mengatakannya begitu saja. Dan mungkin memang itu keputusan terbaik yang harus ku ambil.

           Pukul 18.30, teman-temanku sudah bersiap dengan motornya masing-masing. Dengan aba-aba dari sang pemandu, semuanya berangkat dengan suka cita. Di sana, di kafe itu, hanya tersisa aku dan Hari. Ia juga tidak ikut touring karena sedang sakit. Jadi ia hanya ikut kumpul di kafe ini saja, tidak berangkat.

           Sementara Hari sibuk memainkan ponselnya, otakku berusaha keras memikirkan apa yang harus aku lakukaan selanjutnya. Aku terlalu gengsi untuk pulang ke rumah dan meminta maaf pada ayah. Sekali lagi, aku sama sekali tidak merasa bersalah. Lucu sekali membayangkan jika aku pulang ke rumah dan harus tersendu-sendu menangis untuk bisa dimaafkan oleh ayah. Aku berusaha memikirkan cara lain yang terlihat lebih jantan, baik untukku maupun ayah.

           Pelarianku jatuh kepada eyang papa, orang tua dari ayah. Sebagaimana aku menyegani ayahku, ayah juga sangat menyegani orang tuanya. Aku yakin eyang bisa menjadi penengah yang hebat untuk mendamaikan aku dan ayah tanpa membuat kami canggung.

           Bergegas aku pamit kepada Hari, tapi ternyataa ia juga mau pulang. Akhirnya kami jalan bersama-sama menuju halaman kafe. Hari pulang ke arah timur, sementara aku mengambil jalan ke arah barat.

           Meski aku merasa malu pada ayah, aku cukup bersamangat untuk memperbaiki hubunganku dengannya. Setiap jalan dan tikungan kulewati dengan lihai untuk segera sampai di rumah eyang.

           Lalu bagaimana hubunganku dengan Kayla? Ah itu akan ku pikirkan nanti saja!

           Aku tidak tahu seberapa semangatnya aku memacu kendaraan. Kepalaku sibuk memikirkan kata-kata seperti apa yang harus kukatakan saat bertemu ayah nanti. Semua itu membuatku menjadi tidak fokus.

           Lampu lalu lintas dihadapanku masih terlihat hijau. Namun sialnya, lampu itu berubah merah tepat saat aku hendak melewati persimpangan jalan terakhir. Tentu tidak ada waktu bagiku untuk menurunkan kecepatan, atau bahkan menghentikan kendaraan hanya dalam waktu sepersekian detik. Aku hanya bisa berdoa Tuhan masih mau melindungiku dengan membiarkan aku lewat kali ini saja.

           Nampaknya doaku belum didengar Tuhan.

           Dari arah kiri sebuah kendaraan yang nampak buru-buru sepertiku langsung menancap gas ketika melihat lampu lalu lintas dihadapannya berubah hijau. Bak seorang pembalap ysng hendak mermulai start, dengan sigap ia menekan gas mengikuti instruksi lampu lalu lintas.

           Di sanalah kami bertemu, di persimpangan jalan.

           Bruakkk!

           Aku mendapati tubuhku sudah terbaring lemah di atas aspal. Rasanya sakit sekali di sekujur tubuhku. Aku melihat seorang pria di hadapanku telah berlumuran darah. Keadaannya sangat mengenaskan. Tapi yang membuatku semakin terkejut adalah sebuah cahaya menyilaukan yang ada di belakang pria itu.

           Cahayanya semakin terang. Sangat menyilaukan. Ku pikir, apakah itu Ilahi? Apa aku sudah mati? Semakin dekat benda itu denganku, semakin bisa aku menyadarinya — sebuah truk!

           Sesaat semuanya menjadi gelap.

           Aku tidak lagi merasakan sakit. Apakah aku sudah sembuh? Aku tidak lagi merasakan pusing yang begitu membebani kepalaku. Apakah masalahku sudah selesai? Aku tidak bisa merasakan apa-apa. Semuanya terasa ringan. Hanya sebersit kalimat yang terus mondar-mandir di kepalaku. Hanya itu yang bisa aku lihat.

           Aku rindu ayah. Aku menyesal tidak mendengarkan ayah.

           Maafkan aku ayah. Mungkin aku belum bisa menjadi jagoan seperti yang ayah impikan. Aku hanya seorang anak durhaka yang senantiasa melawan ayah. Aku menyesal ayah. Andai aku diberi hidup satu kali lagi, aku mau mendengarkan ayah. Aku sangat menyesal!

           Maaf ayah. Aku merusak malam ayah yang begitu indah bersama bunda, pertemuan yang sudah ayah nanti-nanti selama dua minggu ini. Maafkan aku ayah, aku tidak bisa hadir di sana bersama ayah dan bunda. Maafkan aku malah membawa kabar duka untuk ayah...

           Nampaknya malaikat mendengarkan doa ayah siang tadi untuk tidak membiarkan aku kembali ke rumah itu.

Allisa Waskita Photo Writer Allisa Waskita

Unpredictable writer interested in exploring various topic.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya