[CERPEN] Rindu

Belum pernah berjumpa tapi sudah rindu

      Aku tidak tahu persis apa yang baru saja menimpaku. Bahkan satu detik yang lalu pun, tak bisa kepala ini ingat. Hanya untuk membuka mata saja aku perlu bersusah payah. Apalagi untuk mengangkat tubuhku sendiri, aku belum sanggup melakukannya.

           Aku terbangun di sebuah persimpangan jalan. Motor yang kutumpangi telah hancur tak berbentuk. Waktu seolah berjalan lambat hanya untukku, dan berjalan begitu cepat untuk yang lain. Semua orang yang ku lihat berjalan sigap menapaki pedestrian menuju destinasinya masing-masing. Mereka berjalan dengan pandangan lurus ke depan, sehingga tidak sempat barang sedetik pun menengok keadaanku.

           Aneh!

           Semua itu terlalu rumit untuk bisa kupikirkan dengan kepala yang rasanya lebih berat dari batu. Sakitnya semakin terasa. Perlahan pandanganku mulai kabur. Satu dua detik kemudian, hanya bayangan hitam yang kulihat.

*****

           “Hei! Kau sudah bangun?”

           Itulah suara pertama yang ku dengar ketika aku mulai bisa merasakan tubuhku lagi. Aku belum sanggup membuka mata, rasanya masih sangat berat. Tapi telingaku bisa mendengar dengan baik. Rasanya seseorang tengah berdiri tepat di sebelah kananku.

           “Keadaanmu sedikit mengkhawatirkan. Kau seperti seseorang yang baru saja jatuh dari langit!”

           Aku hanya tersenyum geli mendengar perkataannya. Mungkin memang benar, mengingat rasa sakit yang aku rasakan nampaknya tubuhku babak belur karena kecelakaan itu. Tetapi mengatakannya sebagai ‘jatuh dari langit’ terdengar hiperbola.

           Rasa penasaranku akhirnya membuat mataku terbuka. Kini bisa kulihat dengan jelas siapa yang sedari tadi mengajakku bicara. Kalau kau mau tahu pandanganku tentangnya, ia adalah seorang gadis yang manis. Rambutnya panjang sebahu berwarna cokelat emas. Matanya bulat berbinar seperti mata boneka.

           “Oh! Kau sudah benar-benar bangun?” Serunya saat ia mendapati aku yang tengah memperhatikan wajah cantiknya.

           “Iya....” Meski terdengar lemah, nampaknya aku sudah benar-benar sadar.

           “Kenes.” Ia mengulurkan tangannya. Wajahnya kini menatapku dengan penuh percaya diri.

           Aku berusaha mengangkat tanganku seadanya, setidaknya sampai aku bisa menjabat tangan Kenes. Jika ia menyebutkan namanya, aku juga akan menyebutkan namaku, “Kevin.”

           Sungguh aku tidak mengharapkannya, tapi ia malah tersenyum kepadaku. Oh seandainya dia tahu, senyumannya itu bisa membuatku semakin sekarat! Aku menjadi salah tingkah dibuatnya. Aku bahkan tidak tahu harus melakukan apa selain kembali menutup mataku untuk tidak melihat wajahnya lagi.

           “Hei! Kau tidak bisa tidur lagi! Bangunlah!” Tangannya terus menggoyang-goyangkan badanku. Ia nampak tak membiarkanku untuk kembali bermimpi.

           Ah! Dia pikir siapa dia ini?

           Begitulah hari terus berlalu. Kenes selalu ada di sana, di sampingku. Ia yang membantuku berkomunikasi dengan para perawat dan dokter. Ia yang selalu membawakan jajanan terbaik yang ada di kota. Ia yang selalu menggonti-ganti channel teve sampai mendapatkan tontonan yang bisa membuatku terhibur. Dan dia yang selalu membuatku jatuh cinta padanya setiap hari.

           Sore itu dokter memperbolehkan aku pulang. Dibandingkan saat aku mengalami kecelakaan beberapa waktu lalu, kondisiku kini jauh lebih baik. Kenes bersedia menampungku di rumahnya. Jadi sore itu kami berjalan pulang menuju sebuah rumah yang berjarak cukup jauh dari rumah sakit.

           “Aku heran, mengapa selama sebulan belakangan ini orang tuamu sama sekali tidak mencarimu.” Kenes bergumam, entah pada siapa. Ia tidak terdengar seperti bertanya padaku.

           “Apa orang tuamu sibuk?” Kali ini ia benar-benar bertanya padaku.

           “Tidak.”

           “Lalu?”

           “Lalu apa?”

      Kenes menghentikan langkahnya, membuatku yang berjalan di sampingnya ikut berhenti juga. Ia menatapku dengan heran. Tatapannya seolah mencurigaiku dari ujung kepala sampai ujung kaki.

           “Kau pasti anak dari sebuah keluarga kaya kan? Bukankah semua orang kaya begitu menyayangi anaknya? Berharap anaknya bisa menjadi penerus usaha mereka?”

           Kali ini aku benar-benar bingung. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang dia katakan. Sebagai koreksi, aku bukanlah anak sebuah keluarga kaya. Ayahku hanya seorang karyawan swasta, dan ibuku adalah seorang ibu rumah tangga. Bagaimana bisa ia berpikir seperti itu?

           “Kau jatuh dari sebuah motor. Tidak ada orang yang memiliki motor di dunia ini selain orang kaya!”

           “Ku kira itu barang murah. Semua tetanggaku memiliki motor. Aku bahkan baru membeli motorku tahun lalu.”

           “Tahun berapa?”

           “2017,” ujarku.

           “HAH?!”

      Kenes berjalan mendekatiku. Dengan kedua tangannya ia terus menepuk-nepuk kedua pipiku, menimbulkan sedikit rasa sakit di wajahku.

           “Aw!” Aku menarik tangan Kenes. “Bisa kau hentikan itu?”

           “Apa kau manusia purba?”

           “Purba? Apa kau sudah gila?!”

      Kenes terus memandangi wajahku dengan tatapannya yang aneh. Matanya seolah tengah mencari sesuatu yang tersimpan di antara wajahku. Sementara aku, aku menatap Kenes dengan heran. Selain aneh, aku merasa sangat tidak nyaman dilihat seperti itu.

           Kami akhirnya pegi menuju sebuah taman, beberapa meter jauhnya sebelum sampai di rumah Kenes. Banyak hal yang kami bahas. Salah satunya mengenai semua keganjilan yang terjadi di antara kami.

           “Jadi, seperti ini kah penampakan di tahun 2033?”

           “Yups! Pusat-pusat kota sudah tidak boleh lagi dilalui kendaraan bermotor. Semuanya berjalan kaki. Motor seperti yang kau punya itu, itu menjadi barang mewah. Hanya segelintir penggiat motor saja yang punya.”

           Ah, itu dia!

           Aku mengerti sekarang. Aku hidup 15 tahun lebih cepat dari seharusnya. Seperti inikah masa depan? Ah, semuanya menjadi tidak menarik saat aku sudah pernah merasakannya.

           Aku kembali teringat saat-saat aku ‘terdampar’ di masa ini. Aku mengerti mengapa kala itu orang-orang berjalan dengan cepat. Mereka bukannya individualis. Mereka hanya manusia-manusia modern yang sangat menghargai waktu. Tak heran jika mereka berjalan seperti itu.

           “Bagaimana kalau aku pulang?”

           Suaraku membuyarkan lamunannya, “Maksudmu?”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

           “Iya, bagaimana kalau aku pulang? Bukankah aku tidak seharusnya hidup di sini?”

           Raut wajahnya berubah sendu. Ia mengalihkan pandangannya ke batu-batu alam yang ada di bawah kaki kami.

           “Kenes...” Sapaku lembut. “Apa aku salah mengatakannya?”

           “Ah! Tidak, Kevin. Kau tidak salah.” Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau benar. Kau memang tidak hidup di sini. Suatu saat kau pasti akan pulang.”

           “Lalu, ada apa denganmu?”   

           Ia tidak menjawab. Lagi-lagi ia mengalihkan wajahnya dari pandanganku. Kali ini ada sedikit rasa senang di hatiku. Aku tahu apa yang ia pikirkan. Dan hal itu membuatku jantungku berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.

           “Aku mencintaimu,” ujarku tanpa ragu.

           Mata bulat itu sontak menatap ke arahku. Baginya, aku seolah-olah menjadi target yang tidak boleh lepas barang satu detikpun.

           “A-apa?”

           “Kau mau aku mengatakannya sekali lagi?” Aku tersenyum kecil, berusaha menggoda gadis manis yang ada di sebelahku.

           “Ti-tidak. Tidak perlu.”

           Hahahaha!

           Kau harus melihat rona pipinya yang perlahan memerah. Ia tampak salah tingkah dan tidak tahu harus berbuat apa. Melihatnya yang begitu panik dan gugup, keberanianku semakin besar untuk menggoda gadis ini.

           “Hai...” Aku membenarkan posisi dudukku untuk menjadi lebih dekat dengannya.

           “Aku akan mengatakannya sekali lagi.” Kali ini aku membuat wajahku benar-benar dekat dengannya. “Aku mencintaimu, Kenes.”

      Aku mengecup bibirnya untuk yang pertama, dan mungkin terakhir kali.

           Rasanya seperti melayang.

      Semua udara yang ada di sekitarku seperti berputar, membawa tubuhku hanyut di dalamnya. Saking kencangnya, bahkan kedua mataku tidak bisa terbuka. Suara bergemuruh yang bising terus menghantam telingaku sampai berdengung. Aku tidak bisa mengendalikan diri. Tubuhku seolah dibawa oleh roller coaster yang sangat cepat menembus dimensi waktu menuju masa yang tidak bisa ku tentukan.

           Bruk!

           “Aw!” Aku menyentuh keningku yang baru saja menghantam meja. Rasanya tidak sesakit saat aku terjatuh dari motor.

           Kali ini yang ku lihat bukan suasana tengah kota yang ramai oleh hiruk-pikuk penduduknya, melainkan sebuah kertas kosong dan sebuah pena di sampingnya. Aku menatap kedua benda itu lekat-lekat, berusaha menyadari apa yang baru saja terjadi.

           “Kau tidur di meja lagi?” Seorang wanita datang menghampiriku. Tangannya yang lembut mengelus rambutku dengan perlahan.

           “Ah, Ibu!” Aku menoleh ke arahnya sebentar. “Sepertinya, iya.”

           “Sikat gigimu dan tidurlah di tempat seharusnya kau tidur.”

           “Hehe.” Aku hanya tertawa kecil mendengar perkataan ibu, sementara beliau sudah berjalan jauh meninggalkan kamarku.

           “Kenes...”

           Aku tidak tahu mana yang merupakan mimpi dan mana yang bukan. Keduanya nampak nyata di dalam benakku. Perasaan ini sungguh kuat. Tidak mungkin aku bisa merasa sesakit ini jika pertemuanku dengan Kenes hanya sebuah mimpi belaka.

           Ku harap hidupku ini hanyalah sebuah mimpi. Suatu saat nanti, aku akan terbangun di pangkuanmu, di taman kota itu, karena kisah kita baru saja dimulai.

           Aku berharap, di tahun 2033 nanti, aku benar-benar bisa bertemu dengan Kenes. Bukan, bukan sebuah harapan, tapi sebuah kepastian. Aku sudah pernah mengalaminya, dan itu memanglah aku, 15 tahun dari sekarang. Aku akan mengalami sebuah kecelakaan motor dan akan di bawa ke rumah sakit. Aku akan bertemu dengan Kenes. Aku akan sembuh. Dan sore itu, ketika aku pulang dari rumah sakit, kami akan pergi ke taman kota, menyatakan perasaan satu sama lain, dan menjadi sepasang kekasih.

           Ah! Sungguh mimpi yang indah!

           Buru-buru ku raih pena yang ada di meja. Kali ini aku akan menuliskan perasaan aneh yang aku rasakan – rasa rindu, pada seseorang yang bahkan belum aku kenal betul. Kuharap, ketika nanti aku benar-benar bertemu dengan Kenes, ia bisa membaca puisi buatanku ini.

 

RINDU 

Aku rindu

Entah pada siapa

Sosok yang sangat ku damba

Ku harap kenangan itu

Akan nyata adanya

Ku mohon, Tuhan

Jangan biarkan mimpi itu lenyap

Sebagaimana waktu ini ku lewati

Buatlah itu menjadi lebih indah

Untuk kamu masa depanku

Rindu untukku bukan untuk masa lalu

Tapi rindu untuk masa depan

Allisa Waskita Photo Writer Allisa Waskita

Unpredictable writer interested in exploring various topic.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya