[CERPEN] Ketika Saat Itu Tiba

Ia berharap waktu akan berpihak padanya

Anneth hanya mematung menatap punggung Juan. Ada perasaan hangat dan riak halus yang berbaur menjadi satu di hatinya. Aneh, dulu Anneth tidak pernah merasakan perasaan seperti ini. Jauh sebelum ia menyadari bahwa Juan menyimpan getar tersendiri di hatinya. Tepatnya, setelah ia merasa tersiksa melihat Juan dekat dan bersikap manis pada Lasea, cewek yang akhir-akhir ini dekat dengan Juan.

Cemburu? Astaga! Tanpa sadar Anneth menggeleng cepat. Sesaat, Anneth tertegun menyadari perasaannya. Sesuatu yang sulit ia percaya. Sekian lama mengenal Juan dan juga Tristan, Anneth tak pernah merasa resah dan tidak nyaman  seperti sekarang ini. Ia mengenal kakak beradik itu sejak kanak-kanak, lalu berpisah ketika SMP karena orang tua Juan dimutasi ke Surabaya hingga akhirnya kembali ke Bogor. Mereka bertemu lagi saat orang tua Anneth yang dimutasi ke Timika menitipkannya pada keluarga Om Agus–orang tua Juan dan Tristan–hampir dua tahun ini karena Anneth memilih melanjutkan SMA-nya di Bogor.

Selama ini perasaannya pada Juan biasa-biasa saja. Ia lebih dekat dan lebih banyak menghabiskan waktunya bersama Tristan yang periang dan supel daripada Juan yang tenang, tak banyak bicara, dan lebih suka menyendiri. Hal itu yang membuat Anneth sedikit enggan berbincang dengan Juan.

“Sampai kapan kamu akan berdiri di situ?” Juan membalik tubuhnya, memutus perjalanan Anneth mengarungi masa lalu.

“Aku boleh masuk?”

“Sejak kapan kamu sesantun itu?” Juan tertawa geli.

Anneth meringis. Ia menghampiri Juan dan berdiri di sampingnya.

“Kamu sedang apa? Ngetik tugas sekolah, ya?”

“Hmm, cuma tinggal dua baris lagi, kok.”

“Aku dengar kamu ngambil Teknik Arsitektur di Yogya,” Anneth membuka percakapan.

“Kenapa enggak yang dekat saja. ITB dan UI juga ada arsitekturnya, ‘kan?”

Juan tidak menjawab. Ia mengeklik save sebelum memutar tubuhnya menghadap Anneth.

“Aku perlu suasana baru. Bogor akhir-akhir ini membuatku sulit bernapas.”

“Oh, aku kira kamu sengaja menghindariku,” ujar Anneth asal bicara.

Sedetik, Juan tertegun. Apa Anneth tahu isi hatinya? Ia merasa cemas memikirkan kemungkinan Anneth mengetahui perasaannya. Sejak awal Anneth datang dan menjadi bagian dari rumah ini, Juan telah menyimpan asa itu di hatinya. Namun, ia tidak berani mengungkapkannya setelah ia tahu Tristan pun menyukai Anneth dan Anneth pun agaknya membalas perasaan Tristan.

Anneth selalu bahagia dan tampak nyaman bersama Tristan. Karena itu, Juan memutuskan untuk melupakan perasaannya. Celakanya, ternyata tidak semudah itu membunuh perasaan di hatinya karena Anneth ada dalam satu ruang yang sama, menghirup udara yang sama, dan selalu ada di dekatnya. Melihat wajahnya, mendengarnya tertawa, berbicara, dan merajuk. Bahkan, mendengar langkah kakinya pun kerap membuat jantungnya melesat sesaat. Semua itu membuat Juan sulit bernapas. Perasaan itu menyiksanya.

“Lasea juga ngambil Arsitektur di sana?”  Anneth tak kuasa menahan keingintahuannya.

“Aku enggak tahu.”

“Kok, enggak tahu?” Kening Anneth membentuk lipatan halus.

“Iya, aku belum sempat tanya dia,” Juan tersenyum geli melihat reaksi Anneth.

“Bukannya kalian dekat?”

“Dekat bukan berarti aku harus tahu semua tentang dia, ‘kan? Kebetulan saja kami satu kelompok belajar yang mengharuskan aku bersama dia.”

“Jadi, kalian enggak pacaran?” Anneth merasa lega.

Juan tidak menjawab. Sesaat, mata cokelatnya yang gelap menatap lekat gadis yang hampir dua tahun ini menguasai hati dan pikirannya. Sesaat kemudian ia menghela napasnya, manakala bayangan Tristan melintas di matanya. Bagaimanapun, Anneth telah menentukan pilihan dan ia menghargai itu.

“Bagaimana menurutmu?”

“Apa?”

“Lasea.”

Anneth tertegun. Sejujurnya, Anneth tidak nyaman membicarakan Lasea. Nama itu membuat dada Anneth menyempit tiba-tiba. Apa pun alasannya, Anneth merasa tersiksa bila harus membenci orang lain. Namun, sulit sekali mengendalikan perasaannya.

“Aku enggak suka dia. Setiap kali bertemu, dia enggak pernah ramah dan selalu menatapku dengan sinis.”

Juan tidak mampu menahan senyumnya.

“Tapi, Lasea manis, pintar, supel, dan baik,” timpal Juan.

Bola mata Anneth membeliak.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Tetap saja, aku enggak suka. Apa enggak ada cewek lain?” tanya Anneth, gusar.

Juan hanya mengangkat bahunya, memutar tubuhnya, dan diam-diam menghela napas, berharap dapat mengurangi keresahan hatinya. Jika semudah itu menyukai seseorang, tentu ia tak akan semerana ini. Masalahnya, Juan merasa tidak memiliki hati lagi yang bisa ia berikan. Ia telah memberikan hatinya pada gadis yang kini ada di dekatnya. Anneth adalah pusat dari kegelisahan dan kegilaannya.

***

Juan tengah sibuk merapikan pakaiannya saat Anneth masuk. Tangannya bergerak cekatan melipat dan merapikan pakaian yang akan ia bawa. Sebagai cowok, tidak ada rasa sungkan mengerjakan pekerjaan yang biasanya dikerjakan cewek. Kepalanya tengadah saat melihat bayangan Anneth, tersenyum samar, lalu melanjutkan pekerjaannya.

“Di Yogya, kamu sudah dapat tempat kos?” usik Anneth.

“Untuk sementara aku akan tinggal di rumah Bude Manto sampai aku mendapat tempat kos yang dekat dengan kampus.

Mulut Anneth membulat seraya manggut-manggut.

“Tinggal hari ini ... aku pasti merindukanmu,” gumam Anneth tak kuasa menahan perasaannya.

“Tiap libur semester aku pasti pulang. Bogor–Yogya enggak terlalu jauh,” Juan berusaha menekan suaranya serendah mungkin. Di sana, Juan berharap bisa menata kembali perasaannya. Walau akhir-akhir ini hubungannya dengan Anneth semakin dekat dan terbuka, tetap saja ia tidak bisa berharap lebih dari itu.

"Tahun depan, rencanamu mau melanjutkan ke mana? Masuk kampus yang sama dengan Tristan?” Juan menghentikan pekerjaannya dan berbalik menghadap Anneth.

“Mengapa harus ikut dia?” Anneth balik bertanya dengan heran.

“Jadi?”

Anneth tampak ragu-ragu.

“Di kampusmu ada Jurnalistik?” Anneth belum pernah segugup ini. Matanya menatap Juan dengan ekspresi sulit ditebak.

Alis mata Juan hampir bertaut, menatap Anneth. Sedikit kaget, walau begitu ia tersenyum lebar.

“Ah, lupakan saja. Kamu masih punya banyak waktu untuk menentukan pilihan. Masih setahun lagi, ‘kan?” Juan berusaha mengalihkan pembicaraan.

Anneth hanya diam. Tidak berapa lama ia tersenyum senang.

“Karena kamu enggak ada, boleh aku memakai kamarmu?”

Juan tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Masih dengan raut bingung ia sibuk berpikir dan bertanya dalam hati. Sikap Anneth yang berubah, lebih perhatian serta tidak lagi menjaga jarak dengannya, semata-mata bukan karena ...? Juan merasa berdebar. Apakah Anneth memiliki perasaan yang sama dengannya? Juan menggeleng halus, menepis kemungkinan itu.

“Asal jangan kamu ubah saja dekor aslinya,”  Juan merasa tidak tega menghapus senyum di bibir Anneth.

“Serius?! Kamu enggak bercanda, ‘kan?” Anneth nyaris memekik kegirangan sampai melonjak.

Juan hanya mengangguk kecil, takjub melihat kegembiraan Anneth yang mirip seorang bocah mendapat mainan impiannya. Tidak masalah, anggap saja kado perpisahan sebelum pergi. Enam bulan ke depan sudah dipastikan ia tidak akan melihat segala hal tentang Anneth. Ia hanya bisa mengenangnya, saat rindu menyergapnya.

“Terima kasih. Janji, aku enggak akan mengacak-acak kamarmu,” janjinya seraya mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya. Selanjutnya hanya keheningan yang memenuhi udara hingga ....

“Aku rasa ... aku  tidak akan bisa berhenti memikirkanmu, Juan,” gumam Anneth, nyaris tak terdengar. Kalimat itu meluncur tanpa dapat ia tahan. Setelah sadar, Anneth merasakan wajahnya memanas seketika. Ia tidak peduli. Anneth berharap, Juan akan menyimpan kalimat itu di hatinya.

Juan tertegun. Terkejut dan juga bahagia. Namun, ia hanya tersenyum sekadarnya.

Anneth terlihat kecewa.

“Juan ... kamu tidak ingin mengatakan sesuatu?” Anneth tampak kikuk.

“Apa?” Juan berlagak tidak mengerti.

“Yeah ... sudahlah,” Anneth berujar lirih. Mungkin bukan saat yang tepat mengungkapkan isi hatinya. Lagi pula, mungkin selama ini Juan menganggap ia dan Tristan punya hubungan. Meski tidak  ia pungkiri, Tristan sering mengungkapkan perasaannya secara tidak langsung, tetapi Anneth tidak pernah menanggapinya dengan serius, hanya sebatas kelakar saja. Sampai ia menyadari perasaannya pada Juan. Anneth merasa–ia yakin tidak salah menyimpulkan–Juan pun memiliki perasaan yang sama.

Juan tidak tega melihat Anneth yang gugup dengan wajah bersemu. Sedikit pun tak terlintas keinginan untuk menolak, apalagi sebelumnya ia sudah tahu dari Tristan bahwa Anneth menolaknya dengan alasan sudah punya seseorang yang istimewa. Sesaat tadi, Juan sempat tak percaya kalau cowok itu adalah dirinya. Juan hanya perlu sedikit waktu, juga menjaga perasaan Tristan.

Juan tak kuasa untuk tidak memeluk Anneth. Ia berharap waktu akan berpihak padanya. Ketika saat itu tiba–bila Tuhan berkehendak–ia ingin menjumpai Anneth masih sendiri. Terlalu egois, tetapi itulah isi hatinya yang terdalam.

“Jaga dirimu baik-baik. Jangan telat makan dan jangan lupa belajar. Bukankah kamu mau menyusul aku ke Yogya?” Juan tidak dapat menahan tangannya untuk tidak memainkan rambut Anneth. Untuk saat ini, hanya kalimat itu yang bisa ia ucapkan sebagai janji perpisahan. ***

Baca Juga: [CERPEN] Setelah Aku Berhenti Mencintai Dia

Ana Lydia Photo Verified Writer Ana Lydia

God's plan is always more beautiful than our desire

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya