[CERPEN] Langit Senja yang Melukis Luka

Meski menyakitkan, cinta memesona sebagai anugerah terindah

Seren hanya bisa memandang Genta dari kejauhan. Sesuatu terasa lepas dari jiwanya. Semacam perasaan kosong yang tidak nyaman.

Ketika itu, entah apa yang membuat ibunya dan orang tua Genta melontarkan kesepakatan untuk menjodohkannya dengan Genta. Konyol sekali!  Tidak masuk akal! Ia masih kelas 2 SMA, tetapi sudah disuruh menjalin hubungan serius dengan seseorang yang tidak pernah menghadirkan debaran asing di dadanya.

Seren belum mau terikat. Lagi pula, apa yang menarik dari Genta selain tampang dan kecerdasannya? Ia cenderung tertutup dan pendiam. Ia lebih banyak mengisi waktunya dengan membaca dan belajar. Wajar bila ia mampu menyelesaikan kuliahnya dalam waktu tiga tahun.

Untuknya, itu bukan sesuatu yang istimewa. Alangkah membosankannya bila harus melewatkan waktu  dengan sosok seperti itu. Tidak punya pendirian dan selalu manut pada orang tua. Mau saja dijodohkan!

“Aku tahu, ini tidak mudah buatmu,” ujar Genta lirih. Matanya menatap Seren lembut. Menyiratkan perasaan kasih yang teduh.

Seren cuma bisa membisu. Menghindari tatapan Genta dengan perasaan benci yang tiba-tiba menyerbunya.

“Kamu yakin mencintaiku?” tanya Seren tanpa menatap wajah Genta.

“Bukan cuma perasaan sayang karena sejak kecil kita biasa melewatkan waktu bersama?” lanjutnya.

Genta menggeleng, tersenyum tipis.

“Awalnya memang perasaan sayang seorang kakak pada adiknya. Entah kapan, aku merasakan perasaan lain tumbuh di hatiku.”

“Karena itu kamu tidak menolak perjodohan ini? Jangan ... bukan kamu yang mengusulkan perjodohan ini, ‘kan?” tuding Seren gusar.

“Apa ada seseorang yang kamu sukai?” tanyanya lirih.

“Aku belum memikirkannya. Aku hanya merasa belum siap menjalin hubungan serius dengan siapa pun.”

“Aku tidak memintamu cepat menikah.”

“Aku masih ingin bebas.”

“Aku tidak akan mengekangmu.”

“Karena kita belum menjalaninya,” tukas Seren, menekan emosinya.

Genta menatapnya murung.

Sesaat, Seren merasa tidak enak hati melihatnya, tetapi ia tidak boleh goyah.

“Maafkan aku. Aku tidak bisa,” ujarnya kemudian.

“Aku belum mau terikat. Aku tidak mau melihatmu cemburu bila aku jalan dengan cowok lain. Aku juga tidak mau sibuk mencari alasan setiap kali ingin jalan dengan teman-temanku. Aku merasa tidak akan sanggup menjalani semua itu.”

Genta tercenung. Cukup lama, hanya keheningan yang memenuhi udara.

“Baiklah, aku mengerti,” ujar Genta mengoyak hening. Ada luka yang terlukis samar di matanya.

Entah karena mengerti atau merasa masih punya harapan, Genta tidak berubah. Tidak berusaha menjauh atau menghindarinya, walau sikap Seren tidak seperti dulu.

Genta memang baik, membuat Seren merasa bersalah dan tidak jarang menjadi serbasalah menghadapinya. Tidak baik memberi harapan kosong. Seren berencana mendekatkannya dengan Monik, sahabatnya. Sejak pertama kali bertemu dan berkenalan, Monik sudah tertarik pada Genta. Entah apa yang membuat Monik tertarik, bahkan tergila-gila pada cowok kutu buku dan kaku itu.

“Kamu bercanda?” Bola mata Monik melebar. Seren memang konyol dan keterlaluan!

“Tidak semudah itu memindahkan hati seseorang.”

“Karena itu kamu harus mendekatinya dari sekarang.”

“Aku ragu. Genta cuma perhatian dan sayang padamu.”

Seren menggeleng cepat.

“Aku hanya bisa menganggapnya sebagai kakak. Tidak lebih,” tegasnya.

“Selama ini kamu sangat bergantung padanya.”

“Aku tidak pernah meminta semua itu.”

“Kamu akan menyesal saat semua perhatian dan keberadaaanya bukan lagi untukmu.”

Seren tertawa.

“Hal itu tak akan terjadi.”

“Karena kamu belum menjalaninya,” protes Monik. Monik menyeringai, menatap Seren penuh selidik.

“Siapa dia, orang yang membuatmu menolak cowok sebaik Genta?”

Seren membuang napas, kesal.

“Harus berapa kali kukatakan kalau aku belum mau terikat.”                                                     

Seseorang menyentuh lengannya. Membawanya kembali ke alam nyata.

“Yakin, kamu tidak mau ikut?” Monik mengulang pertanyaannya, melihat Seren masih terdiam.

Seren mengerjap.

“Aku merasa tidak enak badan,” jawabnya, lesu.

“Baiklah, kalau begitu kamu langsung pulang, ya? Jangan lupa istirahat.”

Seren memandang punggung Monik yang menjauh sampai Genta membawanya pergi, meninggalkan perasaan getir di hatinya.

***

Suara ketukan pintu membuat Seren memutar tubuhnya.

“Boleh Tante masuk?”

Seren mengangguk dan menggeser duduknya ke sudut tempat tidur. Membiarkan Tante Danar duduk di sampingnya.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Kata Genta kamu sakit. Sudah minum obat?” tanya tante Danar dengan nada cemas.

“Seren cuma enggak enak badan, tapi sekarang sudah baikan kok.”

“Syukurlah, Tante takut tejadi apa-apa denganmu.”

Seren cuma mampu tersenyum kecil. Entah mengapa, rasanya sulit sekali menahan perasaan sedihnya. Selama ini ia telah salah menilai orang tua Genta. Mereka orang yang baik dan penuh kasih. Meski ia menolak perjodohan itu, mereka tidak membencinya, bahkan memintanya tinggal di rumah mereka begitu tahu ia tinggal sendiri karena ibunya memutuskan tinggal di Bali menyusul kerabat yang lain.

Tante Danar meraih tangan Seren dan mengelusnya penuh kasih.

“Kalau ada apa-apa, cerita sama Tante. Jangan diam dan menyimpannya sendiri. Apalagi kalau nanti Genta sudah pergi, Tante pasti sedih dan kesepian.”

“Kapan Genta berangkat ke Amerika-nya, Tante?” tanya Seren, parau.

“Minggu depan.”

Seren tercenung.

“Genta kok belum bilang apa-apa?” Seren tak mampu menyembunyikan rasa kecewanya.

“Mungkin Genta takut kamu sedih.”

“Monik sudah tahu?”

“Tante rasa sudah. Soalnya ia sudah sibuk mencatat dan mempersiapkan barang-barang yang akan Genta bawa.”

Seren mendesah. Sejak Genta dan Monik semakin dekat, perasaan tersingkir itu kerap merasuki pikirannya. Ia sekarang tahu, apa arti kehilangan. Celakanya, ia tidak punya seseorang untuk berbagi resah. Ia menelan kecewanya dengan dada sesak.

***

Semburat merah berbaur jingga membuat langit senja bagai gadis remaja berhias diri. Semilir angin yang berembus bebas di balkon sesekali membuat rambut Seren tersibak. Ia menatap kejauhan dengan mata murung. Anyaman resah dan sedih di hatinya terurai begitu saja. Ia menghela napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Tetap tidak mampu mengurangi resah di hatinya. Sosok yang selalu memberikan perhatian dan kehangatan lekat di pelupuk matanya. Dadanya kembali berdesir, seiring hati yang terasa getir. Begitu menyakitkan ketika akhirnya tahu apa yang ada di hatinya. Saat bayangan Genta melintas di pelupuk mata, gelisahnya semakin menumpuk.

“Seren ....”

Tanpa menoleh pun Seren tahu siapa yang datang. Ia mencoba meredam gemuruh halus di dadanya, sebelum memutar tubuhnya. Sekilas matanya menatap Genta muram, tetapi setelah itu datar tanpa ekspresi. Anehnya, ada sebersit penyesalan yang tiba-tiba hadir di hatinya. Andai ia mau mengalah. Andai ia bicara baik-baik, andai ia mengungkapkan semua isi hatinya .... Ya, begitu banyak pengandaian yang selalu saja berakhir tak sesuai dengan harapannya.

”Aku sengaja tidak memberi tahumu dulu. Maaf, aku tidak bermaksud mengabaikanmu.”

Seren mengerjap, masih sibuk menata debar di dada.

“Aku mengerti,” ujar Seren lirih.

“Syukurlah, aku lega mendengarnya.”

“Aku hanya terkejut. Aku juga ikut senang. Menyenangkan melihatmu kelak kembali dengan meraih gelar MBA-mu,” Seren tersenyum, patah.

“Kesempatan tidak datang dua kali, ‘kan?”

Ya, kesempatan belum tentu datang lagi. Seharusnya ia juga punya keberanian untuk mengungkapkan isi hatinya saat ini. Saat Genta ada di hadapannya. Namun, ia tidak bisa melakukannya. Ia yang mendorongnya pergi untuk menemui hati lain. Menyadari itu, uap panas seketika menyerbu matanya.

“Sebelum memutuskan, aku telah membicarakannya dengan Monik.”

Akhirnya, selalu tentang Monik. Tersingkir dari hati orang yang ternyata berarti, membuat perasaannya terluka. Benar-benar terluka.

“Jaga dirimu baik-baik. Makanlah dengan teratur dan jangan tidur terlalu malam.”

Seren kelu. Dadanya terasa menyempit tiba-tiba. Baru sekarang ia menyadari, betapa selama ini Genta amat baik dan berarti buatnya. Monik benar, ia merasakan kehilangan itu sejak perhatian dan waktu Genta bukan lagi untuknya. Ia hanya bisa menangis menyadari keputusannya mengabaikan dan menolak Genta.

“Aku titip Mama. Kalau ada apa-apa jangan kamu pendam sendiri. Ada Mama dan Monik untuk teman berbagi.”

Seren tidak sanggup lagi menahan uap panas di matanya. Butiran kaca bening itu pun meluncur di pipinya dan pecah membentuk parit kecil.

Genta terkesima melihatnya.

“Jangan menangis,” Genta menyentuh pipi Seren, menghapus air matanya dengan hati-hati.

“Aku akan sering berbagi kabar. Lagi pula, ada Monik. Ia akan selalu ada untukmu. Kamu bisa menceritakan apa pun padanya,” Genta merengkuh pundak Seren dan memeluknya erat.

Seharusnya tidak ada air mata. Selama ini ia sendiri yang yang membuat keputusan menganggap Genta sebagai kakak. Mengapa ia harus menyimpan perasaan sedih dan kehilangan ini begitu dalam?

Seren menatap Genta murung. Ia tidak rela kehilangan Genta, meski hanya untuk sementara. Andai ia punya keberanian untuk mengungkapkan isi hatinya, mungkin ia masih bisa memiliki Genta. Seren yakin masih melihat pijar kasih itu di matanya.

“Terima kasih karena selama ini telah menjadi kakak dan teman yang baik,” ujar Seren parau. Ia menatap Genta lekat-lekat. Ia merasa melihat sebuah jendela yang terbuka lebar sehingga ia bisa mengetahui perasaannya sendiri. Ia masih selalu ingin menjadi orang yang istimewa buat Genta. Walau persaudaraan yang ia tawarkan. Meski ia tahu semua itu akan selalu melukai perasasaannya.

“Seperti harapanmu, kamu akan selalu menjadi adikku,” Genta mengusap puncak kepala Seren.

Seren ingin berteriak dan mengatakan kalau ia tidak mau menjadi adik Genta, tetapi ia tidak mampu mengucapkannya. Semua kalimat yang sudah tersimpan di otaknya seakan tersekat di tenggorokan.

“Selama ini kamu telah menjadi bagian penting dari hidupku. Terima kasih karena telah mengenalkan dan memercayakan Monik menjadi belahan jiwaku. Aku akan selalu menjaga dan mencintainya,” suara Genta dalam, penuh tekanan.

“Aku meyesalinya. Maaf ... seharusnya aku tidak menolak dan mendorongmu pergi. Aku benar-benar bodoh telah melakukan semua itu. Aku terlambat menyadari perasaanku sendiri.” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Seren. Entah apa yang mendorongnya membuat kekacauan.

Genta terkesima. Cuma sesaat, kemudian berubah datar, tanpa ekspresi. Lelaki itu mencoba menyembunyikan kecewanya meski dadanya terasa sesak.

“Monik ... dia telah melakukan banyak hal untuk hubungan kami,” ujarnya, patah. “Aku mulai mencintai dan tergantung padanya.”

“Aku tidak memintamu untuk meninggalkannya. Tak pernah terlintas di pikiranku untuk mengganggu hubungan kalian,” Seren membuang tatapnya ketika mata Genta menyergapnya, tajam.

“Aku tidak bermaksud membuatmu bimbang. Aku yakin kamu mencintainya. Melihat betapa mudahnya Monik masuk menjadi bagian dari keluargamu.”

Genta tergugu. Perih yang ia rasakan saat ini melebihi perih yang ia rasakan saat Seren menolaknya dulu. Ia mendesah, menatap kejauhan dengan gamang. Langit senja mulai berubah warna. Tak lagi cantik layaknya gadis remaja berhias diri. Gelap perlahan-lahan mengusirnya pergi. Seperti perasaannya saat ini. Sesuatu terasa lepas dari jiwanya.      

“Maafkan aku, tanpa sengaja telah membuatmu terluka,” ujarnya getir, sebelum meninggalkan Seren termangu sendiri.

Sesuai perkiraannya, tidak akan mengubah apa pun. Namun, ini lebih baik. Ia telah mengungkapkan apa yang selama ini meyesakkan dadanya. Sekarang ia tahu, sekalipun menyakitkan cinta tetap memesona manusia sebagai anugerah terindah.

Mungkin, sudah saatnya ia merelakan dan melepas Genta pergi dari hatinya. Walau sulit, ia harus mengikhlaskan apa yang bukan takdirnya.***

*Kado spesial 10022019 Textratis-Penakata

Baca Juga: [CERPEN] Percakapan Batin

Ana Lydia Photo Verified Writer Ana Lydia

God's plan is always more beautiful than our desire

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya