[CERPEN] Percakapan Batin

Aku selalu berusaha menanamkan hal-hal jahat di kepalanya

Aku menatapnya dengan pijar kebencian. Aku tidak menyangka, cowok seperti itu yang membuatnya benar-benar berpaling dariku. Apakah ini yang dinamakan ketulusan cinta? Perasaanku mendadak meluap memikirkannya, membuatku sulit bernapas.

“Kamu pasti kasihan, makanya kamu tergila-gila padanya. Selama ini cowok yang selalu dekat denganmu selalu cowok-cowok tampan, gaul, modern, dan idola sekolah. Hmm, kamu pasti cuma mau tahu gaya berpacaran cowok sekelas dia. Aku tahu, kamu selalu ingin mencoba hal baru,” ujarku dengan nada mencemooh saat melihat dia mematut dirinya di cermin dengan wajah semringah bahagia serta lengkung senyum yang menawan.

Dia tidak memedulikan ocehanku, tetap sibuk dengan penampilannya. Hanya karena ada orang baru dalam hidupnya, dia mencoba melupakan aku. Aku tidak suka dia berpaling dariku, mengkhianatiku.

“Kamu enggak perlu dia. Cowok itu akan membuatmu lemah. Dia akan membuat langkahmu terkunci. Dia akan menyusahkanmu,” cecarku, mengingatkan.

Dia mendengus kesal dan marah.

“Kamu selalu enggak suka kalau aku bahagia,” balasnya, ketus.

“Kamu lupa, bagaimana sikap semua orang di keluarga ini padamu? Mereka tidak peduli kamu ada atau tidak ada.”           

Sejenak dia tertegun dengan napas tertahan.

Aku menyeringai puas karena selalu membuatnya tak berdaya setiap kali mengingatkan bagaimana selama ini dia tumbuh tanpa perhatian dan kasih sayang dari orang-orang yang seharusnya selalu ada untuknya dan mendukungnya, terutama lelaki berstatus ayah yang selalu ia harapkan membalas cinta yang dia berikan.

“Aku enggak peduli. Aku enggak mau hidup dengan menyimpan dendam. Bagaimanapun sikap dan perlakuan Papa padaku, aku akan selalu memaafkan dan menyayanginya.”

Hah! Bola mataku rasanya mau keluar. Sejak kapan dia jadi lemah dan pemaaf? Aku rasa ada yang salah dengan otaknya.

Aku paling benci bila dia jatuh cinta. Saat itu terjadi, aku seperti orang lain baginya. Sepertinya aku tidak ada lagi dalam hidupnya. Aku benar-benar lenyap dari siklus kehidupannya. Di hati, pikiran, dan hari-harinya. Jangan salahkan aku bila sebongkah rasa iri dan cemburu bersarang di hatiku.

“Kamu enggak akan bahagia! Camkan itu!” teriakku gusar.

“Kamu salah, sejak aku kenal dia aku selalu merasa bahagia.”

“Dia akan meninggalkanmu setelah tahu siapa kamu.”

“Aku sudah biasa ditinggalkan. Jadi, aku sudah siap kalau suatu hari dia pergi dariku. Sedikitnya, aku pernah merasakan seseorang yang sayang, perhatian, dan peduli padaku,” jawabnya tenang.

Mulutku ternganga, masih tidak percaya kata-kata itu keluar dari mulutnya. Sejenak, kutatap matanya yang bening dan berwarna cokelat tua. Dia memang cantik dengan bibir yang menawan serta kulit sedikit gelap. Suaranya amat khas dan menarik. Tidak seharusnya dia tumbuh sebagai sosok yang tersisih dan terabaikan. Dia tidak meminta untuk dilahirkan dari seorang perempuan yang tidak setia. Dia juga tidak berharap punya ayah yang tidak bertanggung jawab. Dia cuma butuh kasih sayang dan perhatian dari orang-orang  terdekatnya, yang sepertinya enggan memberikan semua itu padanya.

“Kamu lupa kalau kamu anak yang tertolak?  Sejak dari rahim ibumu kamu sudah tidak diharapkan. Ibumu berusaha melenyapkanmu dengan segala cara,” cecarku, menyerangnya.

Selama ini aku selalu berhasil menggunakan cara itu agar dia tidak berpaling dariku dan mengabaikanku. Di kepalanya selalu kutanamkan kebencian. Aku tidak suka dia lemah karena orang-orang yang telah mengabaikannya dan menganggapnya tidak ada. Aku tidak suka dia terpuruk hanya karena cinta yang tak berbalas.

Sejak dia tahu rahasia perempuan yang melahirkannya, dia tumbuh dengan kesedihan, kekecewaan, amarah, serta perasaan tersisih karena menyadari bahwa kehadirannya di dunia ini tidak pernah ada yang menginginkannya, aku selalu berusaha menanamkan hal-hal jahat di kepalanya.

“Aku jauh lebih beruntung daripada anak-anak jalanan di luar sana atau anak-anak yatim piatu yang tidak punya orang tua. Aku masih punya keluarga dan tinggal di rumah besar tanpa kekurangan. Jadi, aku akan berhenti menyesali diri dan merasa tidak puas.”

Astaga! Bola mataku serasa keluar mendengarnya. Jika tidak ingat siapa dia dan bagaimana besarnya arti dia buatku, aku sudah membenturkan kepalanya ke cermin di hadapannya. Aku ingin melihat isi kepalanya yang bermasalah itu hancur berserakan di lantai. Mungkin seperti isi kepala keledai dungu. Kali ini dia benar-benar membuat aku hampir gila. Penuh dengan pikiran jahat.

Biasanya, aku selalu berhasil membawa dia kembali padaku. Dengan sedikit menghasut, memengaruhi, dan mengingatkan bagaimana orang-orang terkasih dalam hidupnya telah membuatnya bersedih, kecewa, dan terluka, dia akan selalu kembali padaku dan meninggalkan cowok-cowok yang mendekati dan memujanya atas nama cinta.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Aku sering mengingatkan dia agar tidak mudah memberikan seluruh hati dan perasaannya pada siapa pun, terutama pada seorang cowok dengan dalih cinta. Dia harus tahu, kata cinta itu kerap menghancurkan. Dia harus ingat, atas nama cinta juga dia terlahir, meski tak diharapkan. Atas nama cinta juga dia berusaha menjadi anak manis yang membanggakan. Atas nama cinta juga dia selalu kembali kecewa, terluka, dan terpuruk. Aku mau dia mengerti, cinta itu tak lebih dari pergulatan hati yang melelahkan; menguras pikiran dan air mata.

“Otakmu pasti bermasalah! Aku tahu cowok bernama Elkan itu pasti telah mencuci otakmu,” kecamku seraya menatapnya tajam.

“Aku mencintainya. Dia membuatku nyaman,” akhirnya dia berujar juga dengan kepala tertunduk.

“Cinta? Cih! Sejak kapan kamu peduli apa itu cinta? Cinta sudah lama pergi dari  hidupmu. Sejak kamu lahir, dunia tidak peduli seberapa besar usahamu untuk mendapatkan cinta dan perhatian dari lelaki yang saat ini kamu panggil papa.  Sementara papa biologismu sendiri pun kamu tidak pernah tahu,” cibirku, geram. Kepalaku rasanya mau meledak menahan luapan emosi yang tak terbendung.

“Buat ibumu, kamu adalah batu sandungan. Buat ayahmu, kamu adalah bukti nyata kegagalan sebuah pernikahan dan buat keluargamu kamu adalah duri. Sekarang kamu mengerti, mengapa  ayahmu hanya peduli pada abangmu Sean dan adikmu Imanu? Kamu lupa dengan kenyataan itu?!” semburku penuh cemooh. 

“Karena itu aku selalu berharap cinta akan datang padaku, walau cuma setitik,”  ujarnya dengan suara patah. Kepalanya semakin tertunduk dalam.

Sempat kulihat matanya yang muram mengerjap. Sejenak aku tertegun dan trenyuh melihatnya, tetapi seketika itu juga perasaan itu kubunuh. Aku tidak boleh lemah bila tidak ingin kehilangan dia. Sampai kapan pun dia adalah milikku. Aku tidak suka berbagi.

Aku benci sekali bila ada orang lain memasuki kehidupannya. Tidak cukupkah aku dalam hidupnya? Tidak ada yang memahami dia sebaik aku. Sejak kecil kami selalu bersama, melewati banyak hal, berbagi banyak hal, sejak aku tahu dia adalah anak yang tertolak, anak yang tidak diharapkan kehadirannya. Anak yang terlahir sebagai buah terlarang. Aku sangat mengerti, terlukanya menjadi bagian yang terabaikan. Aku memahami perasaannya menjadi bagian yang tak kasatmata.

Aku benar-benar benci saat melihat dia jatuh cinta. Sebongkah rasa iri seketika bersarang di hatiku. Aku ingin sekali meninju wajah cantik dengan pijar cinta itu. Saat seperti itu, dia adalah mimpi burukku. Kepalaku selalu dipenuhi pikiran jahat saat melihatnya.

“Sudahlah, Ayana, lupakan saja cowok itu! Kamu enggak perlu dia. Dia sama seperti Bara, Timo, maupun Efram, semuanya berakhir dengan meninggalkan kesedihan dan luka.”

“Mereka semua adalah masa laluku. Aku hanya ingin hidup untuk masa depan.”

Aku menatapnya gusar dan putus asa. Akhir-akhir ini dia sulit sekali kukendalikan. Pengaruh cowok bernama Elkan  itu benar-benar telah mengikatnya. Memenuhi ruang di kepalanya. Cowok itu tidak tampan dan gagah, terlalu biasa. Bukan tipe Ayana. Namun, dia memiliki sorot mata teduh. Tatapannya selalu hangat–sehangat fajar pagi–seperti yang selalu Ayana bilang. Sosok yang santun dengan tutur kata yang membuat siapa pun merasa nyaman saat bersamanya. Aku tidak bisa memungkiri itu.

“Dia akan meninggalkanmu juga,” aku mendengus keras.

“Aku sudah siap menerima kenyataan terburuk sekalipun,” suaranya tegas.

“Seperti semua cowok yang berusaha menarik perhatianmu, dia akan melakukan segala cara agar bisa memikatmu karena kamu memiliki semua kriteria yang cowok butuhkan. Orang tuamu kaya, kamu cantik ....”

“Dia tidak seperti itu! Kenapa kamu enggak pernah suka aku bahagia?” tukasnya dan tatapan tajam, setajam bilah pedang yang siap menembus jantungku.

Wajahku mengeras dengan lidah kelu. Sejenak, aku kehilangan kata-kata. Tentu saja aku tidak suka. Saat bahagia dia tidak membutuhkan aku lagi. Selama ini aku yang selalu ada untuknya. Di saat-saat terburuknya. Saat dia bersedih karena merasa tersisih, saat dia sendiri karena tak ada yang peduli, saat dia terluka karena perhatian dan cinta yang dia harapkan dari ayahnya tak berbalas. Padahal, dia telah berusaha menjadi anak yang baik dan berprestasi, hanya untuk sebaris kalimat pujian yang tidak pernah dia terima.

“Dia hanya cowok panti asuhan. Karena itu, kamu merasa iba padanya,” aku masih berusaha memengaruhinya.

Dia  mendesah,  membenamkan wajahnya  pada tangan. Namun, sesaat kemudian senyum rapuh tersungging di bibirnya.

“Kamu benar, dia memang cowok panti asuhan yang dibuang orang tuanya. Karena itu, dia sangat mengagumkan. Darinya aku belajar banyak hal. Bersamanya aku menjadi lebih baik. Dia membuat aku menyadari bahwa selama ini aku terlalu banyak menuntut, selalu mengeluh, tidak pernah mensyukuri apa yang telah aku miliki. Aku senang bisa berbagi banyak hal dengannya. Aku merasa nyaman saat bersamanya. Jadi, apa pun omongan orang tentang dia, aku enggak peduli. Aku bersyukur karena dia hadir dalam hidupku,” ujarnya dalam. Ada getar samar pada suaranya. Luapan dari rasa cintanya yang besar.

“Aku tidak bisa berpura-pura tidak menyukainya. Rasanya seperti hidup tanpa udara.”

Mulutku ternganga, tetapi tak satu kata pun yang keluar. Dengan gusar aku menatap raut wajahnya yang bersinar bahagia dan mata yang berpijar hidup. Entah mengapa, kali ini, aku merasa tidak bisa menjangkaunya. Aku merasa tersudut di tempat gelap, sendiri. Cowok itu, Elkan, dia memang seperti malaikat buat Ayana. Membawa pengaruh baik dalam hidup Ayana. Begitu hangat, perhatian, mengasihi dengan tulus–tidak hanya buat Ayana–serta menerima Ayana dengan segala sisi buruknya, luka batinnya, dan kesepian yang kerap menimbulkan pikiran jahat.

Saat ini,  aku memang gagal. Namun,  aku tahu ada saat-saat tertentu  di  mana Ayana sedang kecewa, marah, dan terpuruk. Saat itu, aku selalu berhasil menguasai dan mengendalikannya karena aku sangat mengenal dia. Karena aku adalah sisi gelap dari dirinya.*

Ana Lydia Photo Verified Writer Ana Lydia

God's plan is always more beautiful than our desire

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya