[CERPEN] Selalu Ada Rindu yang Menyengat

Berpura-pura tidak mencintainya seperti hidup tanpa udara

Angin mempermainkan susunan rambut Bri sehingga menutupi pandangannya. Ia menyibak rambut sebahunya ke belakang. Sehelai daun kering yang jatuh di rambutnya ia tepis perlahan. Kemarau tahun ini memang lebih panjang dari biasanya, membuat daun-daun kering berserakan memenuhi halaman depan perpustakaan sampai pelataran parkir depan kampus.

Bri memutar langkahnya menuju taman di kantin belakang. Pandangannya tertuju pada satu arah, sudut kantin tempat ia biasa melihat sosoknya. Benar saja, dia sudah ada di sana, asyik mengaduk minumannya dengan sendok plastik. Tangan kanannya segera melambai begitu melihat Bri.

Seperti berjalan di awan. Mungkin itu kalimat yang tepat untuk mengungkapkan apa yang Bri rasakan saat berjalan menghampirinya. Sulit sekali meredam gemuruh di hatinya. Sebenarnya, sudah berulang kali Bri mencoba mengabaikan perasaan hatinya setiap kali mereka bertemu. Bahkan, terlalu sering ia menghindari pertemuan dengannya. Sialnya, setiap kali melakukannya, ia sendiri yang tersiksa oleh perasaannya.

“Senang melihatmu. Aku kira kamu tidak menerima pesanku,” sambutnya hangat dengan mata berpijar.

Bri membalasnya dengan senyum tipis. Ia sibuk meredam riak di dada.

“Kamu baik-baik saja? Hampir dua minggu aku tidak melihatmu di kampus. Teman-teman di sanggar pun menanyakanmu. Kamu selalu saja menghilang tanpa kabar,” cecar Bri.

“Kamu merindukanku?”

“Bukan begitu, maksudku ....”

“Aku mengerti, mana mungkin kamu merindukanku, meskipun aku mengharapkannya,” ujarnya tanpa menghapus senyum tipis di bibirnya.

Bri menghela napas, memainkan jemarinya.  Ia merasa tidak enak hati. Apa susahnya bila ia mengakuinya? Ia memang merindukan Ezra, sosok yang akhir-akhir ini membuat pikiran dan angannya mengembara jauh. Sejak pertemuan pertama mereka di sanggar Mas Gigih.

“Aku pesankan makan siang, ya? Aku tahu kamu belum makan siang. Aku sengaja menunggumu agar bisa makan siang bersama.”

“Sejam lagi aku ada kuliah. Bagaimana bila semangkuk bakso?”

Ezra tersenyum dan mengangguk. Menatap lekat gadis yang kini duduk di hadapannya. Saat ini, perasaan sudah mengenal Bri begitu lama membungkus hangat hatinya. Dia tidak berusaha menghindar ketika tatapan mereka bertemu. Lain dengan Bri yang buru-buru mengalihkan tatapannya ke seberang jalan. Ezra cuma bisa mendesah.

“Dua bulan ke depan, kemungkinan aku agak sibuk. Mungkin aku akan jarang muncul di sanggar."

Bri menghentikan suapannya. Menatap Ezra sekilas tanpa kata, kemudian melanjutkan suapannya.

“Aku ikut pelayanan mengajar di GKI. Aku tidak mengganggumu bila sesekali meneleponmu, ‘kan?” Ezra menatapnya dalam.

"Sejak kapan menelepon harus izin dulu?” Bri balik bertanya hanya untuk menutupi kecanggungannya.

“Hemmm, kata-kataku salah, ya? Maaf, aku memang tidak pandai bergaul dengan cewek. Teman-teman bilang aku membosankan dan kaku,” suaranya lemah, nyaris tak terdengar, tetapi bibirnya tetap mengukir senyum tipis.

Refleks Bri menggelengkan kepalanya dengan perasaan tidak nyaman.

“Aku tidak pernah berpikir begitu. Kamu selalu membuatku terpojok.”

“Aku salah lagi, ‘kan?”

“Ezra ... aku akan membencimu kalau kamu terus mengolokku,” Bri mendaratkan cubitannya di lengan Ezra.

Ezra tertawa tanpa suara. Sulit memungkiri ketertarikannya pada Bri. Yang masih membuatnya cemas dan gelisah, apa Bri memiliki perasaan yang sama? Mengingat, betapa perbedaan terasa mengurai jarak.

“Oya, bukankah kamu masih ada kuliah?”

Bri melirik jam di ponselnya.

“Kamu enggak ada kuliah lagi?” tanyanya sembari menatap Ezra serius.

“Kuliah terakhirku jam sebelas tadi. Dari sini aku akan langsung ke sanggar. Ada pesanan lukisan yang harus aku selesaikan,” jawab Ezra. Entah mengapa, ia selalu ingin memberitahukan semua kegiatannya pada gadis itu. Ini melenceng dari kebiasaannya.

“Aku duluan, ya. Salam untuk Mas Gigih dan anak-anak sanggar,” pamit Bri seraya melangkah meninggalkan Ezra yang mengantar kepergiannya dengan pandangan resah.

***

Bri menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Sulit sekali menahan matanya yang terasa berat dan perih menahan kantuk. Kuliah kali ini terasa membosankan dan lama. Ia menggeliat.

“Semalam kamu tidur jam berapa?” bisik Wanda seraya menyikut lengan Bri.

“Hampir tengah malam,” jawab Bri lirih.

“Katakan padaku, siapa dia?” goda Wanda.

“Aku tidak mengerti maksudmu,” Bri melirik Wanda dengan ekor matanya.

“Tentu saja cowok si pencuri hatimu.”

“Ngaco! Kamu sok tahu dan selalu mau tahu,” Bri mencibir, sebal.

“Loh,  kukira kamu ada hubungan khusus dengan Ezra, anak Ekonomi yang jago melukis dan belakangan ini sering sekali kulihat nongkrong di depan senat Fakultas Sastra,” seloroh Wanda tanpa perasaan. Ia mengerlingkan matanya.

Bri mendelik, lalu memutar kepalanya dan berlagak serius mendengarkan kuliah Pak Gondo. Sementara angannya ia biarkan mengembara jauh; melintasi ruang dan waktu. Bri merasa hati dan pikirannya sulit sekali ia kendalikan. Antara hati dan pikiran tidak sejalan. Setiap kali ia memungkiri perasaannya dan mengabaikan gemuruh halus di hatinya, ia merasa sulit bernapas. Begitu menyiksa dan menyesakkan dada.

Ezra terlalu biasa, terlalu sederhana. Ia begitu tenang dan tidak banyak bicara. Cowok itu lebih suka mendengar dan berbicara dengan matanya. Impian Bri tentang sosok tambatan hati tidak ada pada Ezra. Jadi, apa yang ia rasakan terhadap Ezra bukan cinta. Selalu itu kesimpulan akhir Bri tentang perasaan hatinya.

“Kamu masih mau di sini? Kuliah sudah selesai, Non.”

“Apa?” Bri tersentak, gelagapan. Matanya mengerjap, mengedarkkan pandangannya ke sekeliling.

“Kamu banyak melamun sekarang. Kuharap bukan dia yang membuatmu seperti ini.”

“Siapa? Oh ... tentu saja bukan Ezra.”

“Nah, ternyata dia,” Wanda tergelak senang.

“Aku rasa kamu menyukainya.”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Siapa? Oh, maksudmu .... Dia terlalu jauh dari kriteriaku,” desah Bri gamang dengan pikiran mengawang.

“Kadang kita jatuh cinta dengan orang yang tidak kita harapkan.”

“Aku tidak jatuh cinta,” sangkal Bri dengan nada lemah, ragu.

Wanda hanya mengangkat bahunya. Berdebat dengan orang yang bersikeras menyangkal perasaannya sendiri percuma. Perjalanan waktu yang akan membuktikannya.

Bri menghela napasnya. Masih lekat di mata dan pikirannya, bagaimana ia menghindari pertemuan  yang sudah mereka  sepakati dengan menyelinap diam-diam tatkala melihat sosoknya berdiri di dekat pilar beton Fakultas Ekonomi. Seharusnya, ia menghampiri cowok itu dan pergi ke sanggar bersama sesuai janji. Namun, entah apa yang membuat Bri dengan cepat memutar tubuhnya ke kanan dan berlindung di antara lalu-lalang mahasiswa, lalu bergegas pergi menghindari pertemuannya dengan Ezra. Sesuatu yang kemudian ia sesali dan mengganggu pikirannya.

Setelah hari itu Bri tidak pernah melihat Ezra lagi. Hampir dua minggu,  tidak ada lagi pesan, telepon, atau kabar apa pun darinya yang bisa mengusir resah di hatinya. Celakanya, Bri tidak punya keberanian untuk menghubungi atau menanyakan kabarnya. Ada perasaan segan atau tepatnya gengsi yang membuatnya bertahan dalam kegelisahan. Tanpa sadar, desahan panjang terlepas dari mulutnya.

“Kamu pasti merindukannya. Karena merindukannya kamu tidak bisa berhenti memikirkannya,” Wanda berujar prihatin melihat sikap Bri yang gelisah dan lesu.

Bri tidak bereaksi. Melirik Wanda sekilas, kemudian kembali melempar pandangannya ke luar. Anehnya, ia berharap melihat sosok Ezra di sana. Sosok yang hampir dua minggu ini mengukir alam lamunannya. Semakin kuat ia berusaha mengabaikan perasaannya, semakin sering bayang Ezra menyelinap di pelupuk matanya. Gelisahnya semakin menumpuk. Tanpa ia sadari, ia telah menabung asa pada sosok sederhana itu. Dalam dirinya seakan ada dorongan yang hebat untuk selalu memikirkan Ezra. Bri merasa sangat tertekan. Wanda benar, ia telah jatuh pada cowok itu.

“Oya, aku dapat titipan pesan dari Bayu. Mas Gigih menyuruhmu ke sanggar. Ezra menitipkan sesuatu untukmu.”

Refleks Bri memutar kepalanya, menatap Wanda dengan sorot berbinar.

Wanda tersenyum tipis. Segigih apa pun Bri menyangkal, sikap dan binar di matanya tidak bisa menutupi perasaan hatinya. Kita tidak selalu bisa menuntut kesempurnaan dari orang yang kita cintai, tetapi cinta itu sendiri yang membuatnya sempurna.

***

Bau cat minyak seketika menyambut kedatangan Bri ketika ia menjejakkan kakinya di ambang pintu sanggar. Mas Gigih langsung berdiri menyambutnya.

“Lama tidak kemari, apa kabar?”

“Baik, aku ....”

“Mau ambil titipan dari Ezra, ‘kan?” sela Mas Gigih dengan senyum penuh arti.

“Maaf, aku telat memberikannya karena ada pesanan lukisan yang harus aku selesaikan. Jangan bilang Ezra kalau aku terlambat memberikannya padamu. Kalau ia tahu, aku pasti dibunuhnya,” selorohnya dengan tawa lepas.

 “Aku hampir enggak percaya orang kaku dan membosankan seperti dia tertarik dengan cewek,” komentar Mas Gigih seraya menyerahkan sebuah bungkusan besar. Dari bungkusnya saja Bri sudah bisa menebak.

“Aku pernah melihat dia melukismu. Rupanya kamu gadis yang telah membuatnya jatuh cinta,” Mas Gigih menatap Bri lekat, membuat gadis itu tersipu.

“Ia orang yang sulit tertarik dan jatuh cinta. Buat orang seperti Ezra yang harus bertahan hidup agar bisa membiayai kuliah dan hidupnya sehari-hari, cinta itu sangat berlebihan dan memberatkan.”

Kata-kata Mas Gigih membuat hati dan mata Bri terasa menghangat. Kata-kata itu membekas dalam di sanubarinya. Sebersit rasa sesal dan bersalah menyergapnya. Selama ini ia selalu menghindar dan takut dengan perasaannya sendiri. Pasti menyakitkan bagi Ezra bila ia tahu bahwa selama ini ia selalu berusaha menghindarinya.

“Hampir dua minggu aku tidak melihatnya. Ia pun tidak pernah menghubungiku,” Bri tak mampu menyembunyikan rasa kecewanya.

“Ia pulang ke Magelang. Ayahnya meninggal karena sakit.”

***

Bri mempercepat langkah kakinya. Seandainya tidak malu, Bri ingin berlari sekencang-kencangnya. Menerobos lalu-lalang mahasiswa yang baru ke luar dari ruang kuliah, menerobos pelataran parkir, lalu menyeberang jalan menuju taman belakang perpustakaan pusat. Sayangnya, semua itu hanya ada di angan dan pikirannya saja. Nyatanya, kaki dan hasrat di hatinya tidak mau bekerja sama.

Begitu Bri membaca pesan WhatsApp-nya, pikiran, hati, dan sikapnya sudah tidak berjalan dengan semestinya. Perasaannya begitu meluap dan rasanya hampir tak tertahankan sampai mukanya pun ikut memanas. Semakin mendekati tempat yang ia tuju, degupan di jantungnya semakin cepat berpacu, apalagi saat sosoknya tertangkap pandangan matanya. Bri mengerjap,  berusaha meredam gemuruh di hatinya tatkala Ezra melambai dan tersenyum.

“Terima kasih karena kamu mau datang,” ujarnya begitu Bri tiba di hadapannya.

Bri tak mampu berkata-kata, menatap lekat wajah Ezra. Ia merasa tidak punya kekuatan untuk menjauh dari Ezra.

“Mengapa tidak menghubungi dan mengabariku? Aku mencemaskanmu,” semburnya sewot. Aneh, seketika perasaannya begitu ringan dan lapang.

“Jadi, kamu mulai merindukanku, ya? Tahu begitu aku akan sering meninggalkanmu dan tidak menghubungimu.”

Bri mendelik. Bagaimana bisa Ezra mempermainkan perasaannya? Apa ia tidak tahu, ia telah membuat hati dan pikirannya mau meledak?

“Kamu sengaja menguji dan mempermainkan perasaanku, ‘kan?”

“Jadi, kamu sekarang sedikit menyukaiku, ya?” tanyanya konyol.

Bri menghela napasnya.

“Tidak, aku sangat menyukaimu,” tegasnya.

“Kamu seperti hama yang ingin kubasmi sampai habis, tapi selalu saja datang lagi.”

Ezra tertawa tanpa suara. Sorot matanya yang teduh selalu mampu melumpuhkan perasaan Bri.

“Haruskah kita berkencan?” Ia menatap Bri lekat, tanpa berkedip, membuat ombak seketika bergulung di dada gadis itu.

“Kamu baru terima honor mengajarmu?”

“Apakah kamu akan menolak karenanya?”

“Aku sudah jatuh ke tanganmu, tidak seharusnya kamu meragukan perasaanku.”

Ezra tersenyum tipis. Menyapu wajah Bri dengan tatapan lembut.

“Terima kasih karena menerimaku apa adanya,” Ezra meraih tangan Bri dan meremasnya lembut.

“Aku memilihmu karena denganmu aku merasa jadi lebih baik,” Bri berujar dengan suara halus. Bodoh, bila ia bersikeras berpura-pura tidak mencintai Ezra, sama saja dengan hidup tanpa udara. Bri tidak bisa menutup hatinya dari apa yang ia rasakan. Ia bisa menutup matanya dari apa yang tidak ingin ia lihat. Ia juga bisa menutup telinganya dari apa yang tidak ingin ia dengar. Namun, ia memilih untuk membuka hatinya untuk seseorang yang biasa, tapi mampu membuat perasaannya menjadi luar biasa.***

Baca Juga: [CERPEN] Ketika Saat Itu Tiba

Ana Lydia Photo Verified Writer Ana Lydia

God's plan is always more beautiful than our desire

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya