[CERPEN] Setelah Aku Berhenti Mencintai Dia

Aku terjebak di antara dua bersaudara yang bermasalah

“Leon!”

Aku mencoba tidak peduli. Pura-pura tidak mendengar seruannya yang emosional dan histeris. Langkahku semakin panjang, semakin kupercepat, tetapi dia tidak menyerah. Ya, karena itulah dulu aku mengaguminya, lalu berubah jadi suka, kemudian sayang.

Aku mendengar langkah kakinya semakin mendekat, seperti berlari disertai napas memburu dan “plaakk!”, tangannya mendarat di pipiku begitu tubuhku berbalik karena cengkeraman jemarinya di bahuku.

Aku terkesiap, ternganga dengan mata membeliak. Jejak panas yang dia tinggalkan di pipiku adalah gambaran dari perasaannya saat ini.

“Kamu ....” Napasnya masih terengah karena berlari mengejarku dan juga amarah.

Kucoba bersikap tenang, kumulai dengan mengambil napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Harus berapa kali aku katakan bahwa aku tidak bisa melanjutkan hubungan kami. Seharusnya dia berusaha menerimanya. Cinta, bila sepihak, apa layak untuk dipertahankan? Lagi pula, perasaan yang kumiliki pun telah berubah.

“Apa lagi?” tanyaku, enggan. Lelah bila harus membahas sesuatu yang sudah tidak perlu dibahas lagi.

“Siapa Benaya?”

Hah! Aku nyaris tersedak. Mendengar namanya saja bulu kudukku serasa berdiri.

“Apa pedulimu?” balasku ketus.

“Jadi, karena dia? Karena dia kamu memutuskan aku?” Lulu berusaha meredam emosinya.

“Apa sih hebatnya dia dariku?”

Aku menatapnya gusar dengan mulut setengah terbuka dan napas tertahan. Sejenak, aku menyesali keputusanku pernah menjalin hubungan dengannya. Cewek emosional seperti Lulu suasana hatinya sulit ditebak. Mudah meledak-ledak, sesaat kemudian berubah kalem dan manis. Aku baru menyadarinya saat hubungan kami memasuki bulan ketiga. Dia terlalu posesif. Lama-lama aku merasa terganggu menghadapi sifatnya, ditambah hal lain yang memicunya.

“Kenapa enggak kamu tanya saja sama abangmu?” cibirku dengan nada mencemooh.

“Maksud kamu?” Matanya menyipit.

Aku melengos. Sebenarnya Lulu tahu atau pura-pura tidak tahu? Aku tidak tahu isi kepalanya. Bukan salah Lulu juga bila aku memilih mengakhiri hubungan kami yang baru berjalan empat bulan ini. Aku telah berusaha untuk menjauh darinya tidak dengan seketika.

Dimulai dengan menolak datang ke rumahnya, berbohong ada acara lain sehingga tidak bisa menjemputnya les piano. Sibuk latihan futsal agar tidak perlu menemaninya ke mal. Apa pun akan aku lakukan agar dia tahu bahwa aku enggan bertemu dengannya. Agar dia tahu perasaan yang kumiliki untuknya tidak sedalam dulu.

Aku mengenal Lulu dari Marko, teman satu sekolah dan main futsal.

“Yon, kamu dapat salam dari Lulu,” celetuk Marko saat kami bersiap untuk pemanasan.

“Lulu siapa?”

“Teman sekelasku. Dia selalu merhatiin kamu kalau latihan atau lewat di depan kelasku. Anaknya manis. Kamu enggak bakalan nyesel deh kenal dengan dia.”

“Salam balik lagi saja deh.”

Saat itu aku tidak serius, namun Lulu menanggapi salam balikku dengan serius. Entah karena Marko yang membumbui kata-kataku. Yang pasti, sejak saat itu kami mulai dekat, mulai sering berbincang, jalan bareng, dan akhirnya jadian.

Sejak kami jadi pasangan kekasih, aku sering mengantar Lulu pulang. Sesekali menjemputnya. Saat hari libur atau ada waktu senggang, sering kami lewatkan di rumahnya. Papa Lulu yang seorang pengusaha jarang ada di rumah. Mamanya pun terlalu sibuk mengurusi beberapa usaha salon dan butiknya. Alhasil, Lulu hanya ditemani oleh pembantu, tukang kebun, seorang sopir untuk antar jemput dia, serta abangnya, Ben.

Sebenarnya aku kasihan melihat Lulu yang selalu kesepian di rumah sebesar itu. Semua penghuninya sibuk dengan urusannya masing-masing, termasuk abangnya.

“Aku senang kamu selalu ada untukku. Aku enggak merasa kesepian lagi.”

Aku merasa tersanjung karena punya arti buat Lulu. Benar, kemewahan atau materi, tanpa perhatian dan kasih sayang, tidak menjamin hidup akan bahagia. Lulu merasakan itu. Dia selalu kesepian, selalu merasa sendiri. Ada yang pernah bilang bahwa kesepian itu seperti sebilah pedang berujung runcing yang siap menembus jantung. Uh, membayangkannya saja aku ngeri. Seperti itulah hidup Lulu.

“Jadi, abangmu jarang di rumah, ya, sampai kamu enggak punya teman curhat?”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Dulu sih iya, tapi sekarang Ben jadi sering di rumah, kok. O ya, kayaknya dia juga senang dan mendukung aku jadian sama kamu. Dia selalu tanya soal kamu.”

“Oh.”

Seharusnya aku senang karena hubunganku dengan Lulu lancar-lancar saja. Seharusnya aku senang karena bisa masuk dan berbaur dengan abangnya. Seharusnya aku senang karena kami bertiga bisa berteman baik. Seharusnya ....

“Kamu kok tahu aku di sini?” tanyaku heran saat kulihat Ben menantiku di tempat biasa aku latihan futsal.

“Ada apa? Lulu enggak apa-apa, ‘kan?” aku bertanya was-was.

“Lulu enggak tahu kok aku ke sini. Aku punya semua jadwal kegiatanmu.”

“Kok bisa?” Sepintas aku melihat Ben memalingkan wajahnya. Cowok gagah dan setenang dia kok bisa tersipu juga. Aku memang tidak menyadari sikapnya. Terlalu bodoh untuk menyadari bahwa dia menyukaiku.

Awalnya aku  memandang wajar sikap Ben yang ramah, bersahabat, dan penuh perhatian. Namun, lama-lama aku merasa privasiku terganggu karena dia selalu muncul di saat yang tidak pernah kuharapkan. Tanpa rasa segan atau malu dia selalu turut serta dalam percakapan kami, bahkan mengekor ke mana pun kami akan pergi. Ke mal, ke bioskop, ke toko buku, atau sekadar cari makanan.

Bukan itu saja, aku juga sering merinding bila dekat-dekat dengan Ben. Pandangan matanya terlalu aneh dan kerap membuatku gugup.

“Aku enggak pernah lihat abangmu bawa cewek,” ujarku saat menjemput Lulu les piano.

“Dia ingin menyelesaikan kuliahnya dulu baru pacaran.”

Sejenak aku kehilangan kata-kata. Benarkah? Cowok setampan dia aku rasa punya banyak pengagum.

“Kenapa? Enggak hanya kamu kok cowok yang terpesona dengan dia,” Lulu terkekeh, seperti tahu isi kepalaku.

Ih, tanpa sadar aku bergidik. Aku selalu merinding, juga takut manakala memergoki mata Ben yang selalu mengekor ke mana pun aku melangkah, membuat gerakku terkunci.

“Aku sih senang dia belum mau punya cewek. Aku bisa makin kesepian kalau dia sibuk terus ngurusin ceweknya. Di rumah ini  hanya dia tempat curhatku,” suara Lulu berubah sendu.

Aku jadi tidak enak hati membuat Lulu sedih. Barangkali mereka memang dua saudara yang butuh perhatian serta kasih  sayang, batinku, dengan sebongkah sesal telah berprasangka buruk. Aku pun berusaha bersikap wajar dan tidak mengungkitnya lagi.

Lalu, Ben mulai berani meneleponku (bahkan terlalu sering), nekat mendatangiku saat latihan futsal dan kerap mengirimiku pesan-pesan mesra (menggunakan nama Benaya) yang biasa dilakukan pasangan kekasih. Hatiku mulai berontak dan merasa terganggu. Aku hampir tidak bisa bernapas dibuatnya.

Ben memang “aneh”! Aku merasa tidak nyaman berada di antara mereka. Perlahan, aku mulai menjaga jarak. Mulai menolak setiap ajakan Lulu, mulai tidak menepati janji, seiring dengan perasaanku yang mulai berubah. Sampai akhirnya kuputuskan untuk mengakhiri hubungan kami.

Walau Lulu terkejut, walau Lulu tidak terima, walau Lulu menatapku dengan tatapan terluka, aku teguh dengan keputusanku. Karena itulah, kini dia ada di hadapanku, dengan kemarahan yang meluap, dengan luka yang kutorehkan di hatinya.

“Kamu lihat saja nanti,” ancamnya serius.

“Apa...?” Aku kehilangan kata-kata.

“Kamu akan tahu ... aku tetap yang tebaik untukmu,” Lulu membalik tubuhnya dengan bahu terguncang.

Kubuang napas berat. Kepalaku mendadak jejal. Cewek meledak-ledak seperti Lulu aku masih bisa terima, walau dia rada-rada psycho. Namun, bila harus menghadapi cowok seperti Ben ... ihh, bulu kudukku seketika berdiri.

Sejak putus, aku sering melihat Lulu diantar Ben. Aku berusaha cuek atau bersikap wajar. Bila tatapan kami bertemu tanpa sengaja, aku melihat senyum di bibir Ben, tepatnya seringai menjijikkan. Mungkin karena aku antipati padanya. Tubuhku selalu bergetar. Mungkin dia juga dendam padaku karena telah menyakiti adiknya atau karena hal lain, entahlah.

Sesekali–tidak bisa kuhindari–aku berpapasan dengan Lulu. Aku mencoba bersikap biasa di hadapannya. Sekadar menyapa  “hai” atau mengangguk kecil.  Balasan yang kuterima adalah tatapan sebeku es. Namun, tak jarang aku memergoki Lulu tengah memandangku dengan tatapan lembut penuh rasa sayang. Dalam sekejap, ekspresinya langsung berubah begitu mata kami bertemu, dingin dengan aura kebencian dan dendam.

Sejak saat itu, setiap cewek yang mulai dekat denganku, perlahan-lahan menjaga jarak sebelum aku mengungkapkan perasaanku. Aku tahu, ada Lulu dan Ben di balik semua ini–dari pesan-pesan singkat yang kuterima dari mereka–ketika cewek yang kudekati terang-terangan menjaga jarak dan berubah sikap saat bertemu aku. Gosip yang beredar, seleraku meyimpang! Uhh ...!

Aku harus bagaimana? Aku terjebak di antara dua bersaudara yang “bermasalah"!

Baca Juga: [CERPEN] Tidak Semua Cowok Berengsek, Kak

Ana Lydia Photo Verified Writer Ana Lydia

God's plan is always more beautiful than our desire

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya