[CERPEN] Tentangmu yang Menguasai Ruang Sunyi di Hatiku

Kamu mungkin akan tertawa melihat kebodohanku

Ada yang tidak mampu kulupa. Tentang percakapan dini hari kita. Percakapan yang hampir setiap dini hari kita lakukan, bahkan tak jarang baru berakhir ketika pagi menjelang. Sesuatu yang mungkin tidak kamu tahu, aku selalu berusaha mengoleskan sedikit kayu putih pada kelopak mataku, sekadar berusaha mengusir kantuk yang menerjang. Bahkan, aku masih berusaha menahan kepalaku yang berkali-kali terjatuh sekadar ingin membalas pesanmu dan menanti pesan apa yang kamu kirim untukku.

Aku selalu lupa, ah bukan, aku memang tidak ingat, mengapa kita bisa begitu dekat. Aku tahu, kamu bukan sosok yang mudah dekat dengan siapa pun. Aku juga tahu, kamu bukan tipe orang yang mudah membuka hatimu untuk siapa pun.

Sulit kupercaya saat kamu memberikan nomormu dengan alasan agar aku punya teman berbincang saat terjaga tengah malam. Saat ini, aku menyesal tidak menanyakan alasanmu. Apa aku terlalu terkesima mengetahui siapa dirimu? Apa aku terlalu bahagia kamu membuka hatimu untukku? Entahlah.

Terlalu banyak perbedaan di antara kita. Kamu seseorang yang memandang segalanya berdasarkan analisismu dan aku selalu menyertakan perasaanku. Dalam hal apa pun, kita tidak pernah bertemu dalam satu titik yang sama. Percakapan kita melalui pesan-pesan singkat dan panjang pun tak pernah berujung mufakat.

Bagaimana bisa, aku yang tidak suka diatur dan kamu yang suka mengatur serta memaksakan pendapatmu–yang aku akui kebenarannya–bisa terlibat percakapan panjang seolah tak berujung? Lucunya, kita seolah enggan untuk mengakhiri percakapan kita. Ya, itulah kita. Aku dan kamu.

Sejujurnya, aku menyukai percakapan dini hari kita. Saat tumpukan pekerjaan memaksamu untuk jeda sejenak. Saat dingin pagi membuat tanganku gemetar mengetik pesan untukmu.

Aku menikmati setiap detik yang bergulir bersamamu. Apakah ini salah? Perasaan yang aku miliki? Rasa yang tumbuh di hatiku? Perasaan yang menyiksaku. Perasaan yang membuatku takut suatu hari kamu akan pergi dariku. Ketakutan yang tidak beralasan dan konyol. Mungkin karena aku tahu bagaimana rasanya kehilangan. Menyedihkan, bukan?

Tidak ada yang salah di antara kita. Mungkin ini hanya rasaku saja. Sejujurnya, kamu tidak pernah menawarkan rasa apa pun padaku. Tidak juga hatimu. Sejak awal aku sudah tahu semuanya. Aku mengerti seperti apa hubungan kita. Mungkin karena aku terlalu nyaman bersamamu. Membicarakan segala hal denganmu.

Ah, seharusnya tidak kubiarkan hatiku bermain-main di hatimu. Tidak seharusnya kubiarkan perasaanku mengembara terlalu jauh hingga memasuki ruang di hatimu. Kamu seolah menyediakan celah yang memudahkan aku masuk ke dalam hatimu.

Perempuan seperti apa aku ini? Saat ini, apakah terlambat bagiku untuk menghapusmu? Sesulit inikah melepasmu dari ingatanku? Saat aku sadari, betapa aku selalu merindukan percakapan dini hari kita. Kerinduan yang sudah menjadi candu untukku.

Selamat malam, sudah tidur? Apa yang kamu lakukan seharian ini? Apakah harimu menyenangkan? Tadi kamu tidak terlambat makan siang, ‘kan? Sudah makan malam? Tidurlah, jangan terlalu malam! Tidak baik untuk kesehatanmu. Apa perlu aku menyanyi untukmu? Ingin aku pilihkan lagu untuk pengantar tidurmu malam ini? Jangan “And I am Telling You I’m Not Going” lagi, apa kamu tidak bosan lagu itu? Tidak juga “Perfect” atau “Flashlight”. Bagaimana kalau “Menua Bersama”? Saling bantu berdiri tersenyum dan menatih ....

Kamu sudah menyelesaikan novel yang kamu pinjam kemarin? Bagaimana ceritanya? Apakah aku harus membacanya juga? Oya, film yang aku bilang kemarin, apa sudah kamu tonton? Bagaimana menurutmu? Apa kita akan mengulasnya malam ini? Hmmm, jangan terlalu lelah. Jaga kesehatanmu. Aku sedih bila kamu sakit. Kamu membuat aku cemas. Jangan lakukan itu.

Betapa aku merindukan semua pertanyaan itu memenuhi aplikasi chat-ku. Perhatian kecil yang tidak pernah berhenti membuat perasaanku melambung. Perhatian kecil yang membuatku tidak peduli siapa dirimu. Perhatian kecil yang membuat aku menjadi perempuan serakah dan tidak tahu malu.

Konyolnya, hatiku menolak untuk tersadar. Ah, begitu besarkah artimu bagi diriku? Sehingga aku menolak untuk kehilanganmu? Kurasa, ada yang salah dengan isi kepalaku. Juga hatiku.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Kata perpisahan memang tidak pernah terlontar darimu. Baik secara langsung saat kita bertemu maupun melalui pesan. Namun, aku terlalu enggan untuk menanyakan perubahan sikapmu. Bisa jadi, aku terlalu takut mendengar pengakuanmu bila kutanyakan kesenjangan yang tercipta di antara kita.

Takut kamu mengatakan sesuatu yang akan membuatku terluka. Takut kamu mengatakan bahwa apa yang terjadi di antara kita adalah suatu kesalahan atau kekhilafan? Ketakutan yang seharusnya tidak boleh ada. Ya, seharusnya karena kita tidak pernah bersepakat dalam satu rasa.

Sejak awal kita tahu di mana posisi kita masing-masing. Di mana sebenarnya hati kita berada? Oh, bukan. Tepatnya, di mana hatimu berada? Namun, aku berusaha tidak peduli akan kenyataan itu. Aku terlalu nyaman bersamamu. Aku takut kehilanganmu. Aku takut bila tidak bersamamu, melewati dini hari yang hening tanpa menerima pesanmu.

Tidak rela kehilangan perhatian-perhatian kecil yang membungkus hangat hatiku. Perhatian kecil yang tak pernah gagal menghadirkan senyum tipis di bibirku, degup tak beraturan di jantungku, serta perasaan asing yang mengaliri sel-sel di tubuhku. Konyolnya, aku izinkan perasaanku lepas kendali karenamu.

Sesungguhnya, aku merindukan percakapan dini hari kita. Saat anganku tak mampu melupakanmu sedikit pun. Tentangmu yang terlalu dalam tertinggal di ingatanku. Menguasai seluruh ruang di kepalaku. Sesulit apa pun aku berusaha untuk melenyapkanmu dari ingatanku, tetapi aku selalu balik pada titik yang sama, aku terlalu takut kehilanganmu. Kamu mungkin akan tertawa melihat kebodohanku.

Aku selalu ingat apa yang kamu katakan di awal kedekatan kita. Saat itu aku hanya tertawa tanpa suara mendengar kata-katamu. Bila kamu tahu apa yang terjadi dengan hatiku, mungkin kamu yang akan tertawa melihat kebodohanku. Bisa jadi juga kamu kasihan padaku.

Kamu berhasil mengacaukan perasaanku. Mematahkan hatiku. Konyolnya, aku butuh patah berkali-kali untuk bisa melupakanmu. Membencimu. Terlalu banyak ruang di hati dan ingatanku yang kamu curi dariku. Menyedihkannya, kamu tidak tahu itu. Mungkin kamu memang tidak peduli itu.

“Jangan jatuh cinta padaku karena kamu akan terluka. Aku telah memilih di mana hatiku berlabuh. Tapi, jika kamu sedang bersedih dan perlu teman bercerita, hubungi aku. Aku akan selalu ada untukmu. Aku akan menghiburmu. Aku akan membuatmu kembali tersenyum.”

Kamu benar. Kamu telah berhasil membuatku tersenyum sekaligus menangis. Tidak ada sehari pun tentangmu yang lolos dari ingatanku. Tidak ada yang baik-baik saja denganku setelah kita menjauh. Ini bukan salahmu. Semua tentang rasa yang ada di hatiku. Sekali pun aku tidak pernah menyesalinya. Tentang rasa yang tidak pernah sampai ke hatimu. Tentang ingatan yang tidak bisa mati di benakku.

Sejujurnya, aku masih merindukan percakapan dini hari kita. Aku terlalu payah untuk melupakan segala tentangmu. Sepayah usahaku untuk tidak mengingat percakapan dini hari kita. Sesuatu yang ingin aku hapus tentangmu. Tentangmu yang menguasai ruang sunyi di hatiku. Ternyata sesulit ini melupakanmu. Apa aku yang terlalu payah dalam hal melupakan?

Bagaimana denganmu? Aku yakin kalian baik-baik saja. Aku melihat rona bahagia itu di wajah kalian. Ya, kamu dengan pemilik hati di mana kamu labuhkan hatimu. Aku masih waras dan tahu diri untuk tidak menjadi orang ketiga bagi hubungan kalian. Aku selalu mampu menyimpan perasaanku rapat-rapat darimu. Aku tidak pernah bisa merusak hubungan kamu dengan dia. Mungkin juga aku tidak punya keberanian untuk melakukannya. Sekalipun pikiran jahat itu ada di kepalaku.

Dini hari ini aku hanya ingin membencimu. Apakah itu bisa untuk menghapus seluruh tentangmu?***

 

Untuk siapa pun yang masih terjebak dalam friendzone.

Baca Juga: [CERPEN] Yang Hilang Bersama Hujan

Ana Lydia Photo Verified Writer Ana Lydia

God's plan is always more beautiful than our desire

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya