[CERPEN] Aku Bukan Kartini Pingitan

Aku rindu kebebasan

 

Kirana membuka jendela kamarnya. Masih jauh datangnya malam. Akan tetapi, langit begitu suram. Cahaya sang api terselubung mendung. Muram, semuram wajahnya hari ini. Semilir angin menerobos jendela. Memainkan anak rambutnya. Tatapannya kosong. Pikirannya melayang. Perasaan kalut menggelayut di relung hatinya. Teringat pelajaran sejarah tadi siang. Raden Ajeng Kartini terikat adat pingitan. Mungkinkah dirinya bernasib sama dengan tokoh emansipasi wanita itu?

Dia tersadar dari lamunan ketika titik-titik air mendarat di wajahnya. Hujan turun membasahi bumi tempat berpijak. Memberi kesejukan tanah yang gersang. Kirana menutup jendela dan menguncinya rapat-rapat. Tak lupa tirai satin sematkan. Tirai itu tampak kusam. Debu menempel di sana-sini. Kirana menghempaskan diri di atas tempat peraduan. Dihitungnya bintang yang bertebaran di langit-langit kamarnya. Bintang-bintang yang selalu memberinya cahaya kedamaian di kala kamar itu gelap. Satu, dua, tiga, tujuh, sebelas, dan ia terlelap.

Kirana melayang dalam mimpi. Terbang menembus angkasa. Bermain dengan orang-orang awan. Mengendarai bulan. Menari-nari sesuka hati. Berayun-ayun bersama para peri dan bidadari. Kebebasan menaungi. Sesaat dirinya lalai. Lalai jika dia adalah tawanan abadi. Terpenjara di balik tembok yang menjulang tinggi. Terikat dan terbelenggu. Sementara itu, di luar sana kilat mulai menyambar-nyambar. Langit bergemuruh. Kirana pun tersentak dari mimpinya. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Dia berharap semuanya menjadi lebih baik. Kenyataannya tidak ada perubahan sama sekali.

---

Kirana melirik jam antik yang berdiri anggun di atas meja. Sudah menunjukkan pukul 7 malam. Tiba-tiba ia rindu suara bawel simbok yang mengingatkannya untuk segera makan malam. Tetapi, tak pernah sekalipun ia gubris sebab Kirana memang pantang makan malam. Simbok, seorang perempuan paruh baya yang sudah mengabdi kepada keluarga terpandang tersebut jauh sebelum Kirana lahir. Simbok juga ikut mengasuh Kirana. Orang tua Kirana sangat sibuk. Mereka jarang pulang ke rumah. Tak heran jika Kirana lebih dekat dengan simbok daripada dengan orang tuanya. Orang tua Kirana sangat protektif. Mereka tidak memperbolehkan Kirana keluar rumah dengan alasan apapun. Bahkan, mereka memilih metode home schooling untuk pendidikan anak semata wayangnya.

Awalnya Kirana menikmati semua peraturan yang dibuat orang tuanya. Namun, lama-kelamaan ia merasa jenuh. Ia iri melihat remaja seusianya bebas pergi ke mana saja, sedangkan dirinya terpuruk dalam penjara kesunyian. Tanpa canda, tawa, dan hura-hura. Jika sudah seperti ini ia hanya bisa menangis dan menumpahkan seluruh isi hatinya kepada Simbok. Ia merasa Tuhan tidak adil. Ia bahkan pernah menyesal mengapa ia dilahirkan ke dunia ini. Namun, berkali-kali Simbok memberikan petuah bijaknya. Mungkin Tuhan sedang menguji kesabaran kita.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Kini, suara bawel Simbok tiap pukul 7 malam tidak akan pernah Kirana dengar lagi. Simbok sudah pulang ke kampung halamannya. Ia diberhentikan karena mengizinkan Kirana keluar rumah. Padahal, ia hanya membeli buku referensi. Orang tuanya marah besar dan ia dikurung di dalam gudang.

---

Kebebasan, itulah yang selalu Kirana inginkan selama ini. Tanpa ada yang mengatur, melarang, maupun membatasi. Ia ingin melakukan sesuatu yang belum ia lakukan sebelumnya. Menghabiskan uang saku bulanannya untuk shopping, menjadi tukang parkir, makan bakso tenis 2 mangkok besar, menonton BF, memanjat pohon kelapa, mencukur rambut model mohawk, memelihara buaya, cheetah, gajah, badak, dan jerapah, memeluk patung Liberty, berenang di Laut Mati, dugem semalam suntuk, menghisap cerutu, browsing dunia maya 24 jam nonstop, menonton konser Avenged Sevenfold, berkemah di belantara Amazon, berkencan dengan Leonardo Di Caprio, mendarat di Planet Pluto, berendam di lautan lumpur Lapindo. Masih banyak hal lain yang ingin ia lakukan jika ia bebas suatu saat nanti.

Namun, semua itu seperti menguap begitu saja. Hilang entah ke mana. Ia sadar ia tidak akan meraih kebebasan. Merengkuh kebahagiaan. Bagaimana caranya agar orang tuanya memberi sedikit kebebasan? Haruskah ia memohon sampai menangis darah dan mencium kaki mereka? Tidak. Semua itu akan sia-sia. Apa pun yang sudah diputuskan oleh kedua orang tuanya tidak dapat diganggu gugat.

---

Kirana membuka jendela kamarnya. Kini tiba waktu malam. Langit menjadi suram. Cahaya rembulan terselubung awan mendung. Muram, semuram wajahnya malam ini. Tatapannya kosong. Pikirannya melayang. Teringat pelajaran tadi siang. Raden Ajeng Kartini terikat oleh adat pingitan. Mungkinkah dirinya juga bernasib sama dengannya?

 

Andina Candra Prasasti Photo Verified Writer Andina Candra Prasasti

Often alone, rarely lonely

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya