[CERPEN] Bocah Koran dan Kopi Panas

Berbaurlah dengan semesta agar kau lebih bersyukur

Pagi itu, pagi-pagi sekali. Kau melihat seorang bocah dengan baju lusuh meringis memegangi perut. Bocah itu terlihat tak terurus. Kau membatin, bersyukur hidup berkecukupan bahkan lebih dari cukup. Masa kecilmu tak perlu berpeluh sedari subuh demi sesuap nasi seperti bocah koran itu.

Kau masuk ke minimarket. Di kepalamu kini ada bocah itu. Kau ambil dua bungkus roti dan sebotol air mineral. Kau juga membeli dua kopi panas. Hatimu menghangat padahal kau baru membayangkan telah membahagiakan bocah malang itu.

Kau keluar dari tempat itu dengan wajah berseri. Kau memanggil bocah yang sedang menawarkan korannya ke mobil putih namun dicampakkan. Bocah itu menghampirimu dengan wajah penuh harap. Berharap kau menjadi orang yang membuat dagangannya terjual satu.

"Koran, Kak?" Ia tersenyum manis padamu. Bocah laki-laki dengan kulit hitam legam.

"Iya, aku beli korannya. Tapi sebelum itu, makan ini dulu sambil ngopi. Biar badanmu anget." Kau mengajaknya duduk bersamamu. Kau yakin betul, dia belum sarapan. Roti ini mungkin tak mengenyangkan. Setidaknya kau hanya ingin membuatnya tak kelaparan dan tak keberatan bercengkrama denganmu. Sejenak meninggalkan kerjaannya menjajakan koran.

"Aku beli lima koranmu." Kau membuat bocah itu tersenyum sumringah dan bersedia duduk bersamamu. Menikmati pagi dengan lebih nyaman. Kalian berjabat tangan, berkenalan. Kau mulai tahu jika bocah itu juga sekolah. Hanya saja ia selalu menyempatkan diri banting tulang membantu perekonomian keluarganya yang memprihatinkan sebelum berbaur dengan teman sebayanya.

Aroma kopi menyeruak. Membuatmu terpejam. Mendengarkan kunyahan bocah itu yang sedikit terburu-buru. Aroma kopi itu membuatmu ingin menangis. Aroma yang menentramkan, tetapi jiwamu terbagi. Kau merasa tenang dengan aroma kopi, tetapi kau merasa teramat sedih dengan nasib bocah di sebelahmu.

"Kopinya enak, Kak." Bocah itu membuat lamunanmu buyar. Kau pun meraih puncak kepala bocah itu dan mengacak pelan rambut hitamnya.

"Aku beli semua koranmu ya, Dek."

"Jangan, Kak. Saya nggak mau ngerepotin. Saya sudah terima kasih banget Kakak belikan roti sama kopi. Saya nggak mau ngerepotin lebih lagi."

Kau tersentuh. Bocah sekecil ini, sepertinya paham sekali arti balas budi. Kau pun tersenyum lebar dan menggeleng. Kau keluarkan dompet yang isinya tak seberapa sebab telah memasuki tanggal tua anak kos. Kau melihat masih ada cukup dana untuk merealisasikan ucapanmu. Lagipula, uang itu juga hasil keringatmu sendiri. Melalui cara yang jauh lebih sederhana ketimbang yang dilakukan bocah ini. 

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Sama sekali nggak ngerepotin. Aku yang makasih banget sama kamu sudah mau nemenin sarapan sama ngopi. Sebagai ganti waktu kamu yang terbuang, aku mau beli semua dagangan kamu."

"Nggak usah, Kak. Beneran deh. Biar sisanya saya jual sendiri. Kalau Kakak beli semuanya, saya tahu korannya jadi nggak bermanfaat. Padahal Kakak cukup baca satu aja."

Kau merasa tertampar. Pemikiran bocah ini sungguh dewasa. Ia dewasa lebih dini karena nasib yang ia miliki. Kau lagi-lagi tersenyum sembari merenung. Asap kopi yang mengenai wajah membuatmu kembali memejamkan mata. Kau ingin menangis haru, tetapi kau laki-laki. Kau tahu itu memalukan karena kalian berdua sama-sama lelaki. 

"Kalau begitu, aku jadi beli lima koranmu. Aku janji akan bikin lima koran itu bermanfaat. Nanti aku kasih ke teman-temanku." Bocah itu mengangguk seperti pegas lalu memasukkan potongan terakhir rotinya. 

Kalian berdua memandang direksi yang sama. Lampu merah mulai memadat dari sebelumnya oleh kendaraan bermotor. Mentari juga sudah mulai memandikan setiap benda di bawahnya. Pengendara ugal-ugalan juga tak luput dari penglihatan.

Bocah itu telah lebih dulu menghabiskan roti dan kopinya. Padahal kau tahu sendiri itu adalah kopi panas, bukan es kopi. Mungkin lidahnya sedikit terbakar karena terburu-buru. 

"Kak, terima kasih ya." Bocah itu menyisihkan lima koran untukmu. Kau membayarkan sejumlah uang. Bocah itu hendak memberi kembalian, tapi kau tolak toh kembaliannya hanya dua ribu. Bocah itu sangat berterima kasih pada kebaikanmu. Lalu ia berlari kecil menghampiri pengendara mobil yang sepertinya hendak membeli koran. 

Kau tersenyum. Kau pandangi punggung bocah itu yang mengecil. Lalu kau beralih pada wadah kopi yang telah amblas. Kau menghela napas. Pagi ini kau baru saja mendapat pelajaran berharga dari seorang anak kecil. Pelajaran sederhana yang tak bisa kau dapatkan di bangku kuliah sekalipun, kecuali dengan cara membaur dengan semesta yang sering dipandang sebelah mata. 

Kau sesap kembali kopimu sambil mengawasi bocah itu dari kejauhan.

"Sehat-sehat terus ya kamu..." katamu menggumam. 

Baca Juga: [CERPEN] Perginya Perempuan Sunyi

Annisa Widi Photo Verified Writer Annisa Widi

Bachelor Degree of Psychology. Penyuka buku, mawar peach, matcha, dan kopi susu.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya