[CERPEN] Perempuan Pemimpi

Seperti kebanyakan janji indah, perempuan itu terus bermimpi

Perempuan itu bermimpi. Terkadang dia pikir itulah satu-satunya hal yang paling tepat untuk dilakukan. Semesta dalam buku dan film tampak jauh lebih hidup baginya ketimbang dunia yang ia jalani.

True Love Waits-nya Radiohead mengalun. Jutaan orang di dunia ini, pikir perempuan itu, semuanya merindukan seseorang, mencari orang lain yang bisa memuaskan mereka, untuk saling mengisi, namun semuanya malah mengisolasi diri mereka sendiri. Petikan gitar dan suara lemah Thom Yorke mengisi kuping perempuan itu, menyesaki kepalanya.

Perempuan itu selalu merasa kehilangan sesuatu; seseorang yang belum pernah ia temui, seseorang di seberang sana yang akan melengkapi, seseorang yang entah ada atau cuma sebuah gagasan. Bukan hanya kekasih idaman, tapi juga jenis kencan idaman: di kafe sambil menyesap Americano, berpelukan di bawah guyuran salju, dan mengenakan pakaian necis warna-warni sesukanya, ala drama Korea.

Dia mengingat begitu banyaknya dongeng yang berakhir dengan kalimat, “Akhirnya pangeran dan putri menikah dan hidup bahagia selamanya.” Dia memimpikannya juga.

Dia menengok ponselnya, menggulirkan linimasa, dan mendapati satu judul artikel soal prediksi banyak pekerjaan manusia yang bakal diserobot robot. Dia hanya membaca sekilas, dan menutup kembali. Perempuan itu tidak takut robot mengambil alih pekerjaan, karena baginya pekerjaan robotik yang selama ini dipraktikkan manusia tak kalah mengerikannya.

Meski menatap hari besok untuk dirinya sendiri masih buram, tapi dia memimpikan masa depan yang lebih cerah, dengan sains dan teknologi futuristik yang bakal memudahkan manusia. Para robot bekerja, dan dia tinggal leyeh-leyeh mendapat tunjangan dari hasil kerja para robot itu.

Perempuan itu memang penyuka fiksi ilmiah. Selain mesin waktu, teknologi yang sangat ingin ia miliki adalah pintu ke mana saja. Dia ingin pergi jauh ke tempat entah.

Perempuan itu ingin pindah ke Ladyland. Tempat khayali dalam cerita pendek Sultana’s Dream yang ditulis oleh Rokeya Sakhawat Hussain, seorang penulis dan aktivis Bengali. Dalam kisah yang dibentuk tahun 1905 itu peran gender dibalik dan dunia dijalankan oleh perempuan, berkat sebuah revolusi yang diletuskan perempuan lewat kehebatan ilmiah mereka untuk mengalahkan para lelaki.

Sebagai hasilnya, dunia jauh lebih damai dan menyenangkan. Para perempuan mengandangkan para lelaki agar tetap berada di dalam rumah, sebuah balas dendam yang sangkil membuat dunia lebih nyaman ditinggali. Para ilmuwan perempuan menemukan cara memanfaatkan tenaga surya dan mengendalikan cuaca. 

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Di sana, stereotip tradisional seperti “pria punya otak lebih besar” dan “wanita lemah secara kodrati” dimentahkan dengan logika bahwa “gajah punya otak yang lebih besar dan lebih berat” dan “singa lebih kuat daripada manusia” namun tidak satu pun dari mereka yang mendominasi manusia. Di Ladyland, kriminalitas menghilang, karena lelakilah yang bertanggung jawab akan ini semua. Jam kerja hanya dua jam, karena tak seperti lelaki yang bisanya cuma buang-buang waktu dan bekerja tak efektif. Agama yang diakui adalah cinta dan kejujuran.

Setelah berkelana jauh menjadi seorang Sultana di utopia feminis itu, perempuan itu dipaksa balik pada dirinya sendiri. Satu-satunya tempat di mana tak ada kebutuhan untuk pikiran-pikiran utopis adalah di utopia, renung perempuan itu, maka sistem yang kita jalani hari ini berkat para pemimpi yang menyebut diri mereka realis.

Perempuan itu teringat kembali wejangan dari kawannya: Ingat ini, selalu ikuti passion-mu, tapi kalau passion-mu enggak klop sama kapitalisme global, itu artinya kamu gagal menjalani hidup. Nasihat setengah bercanda tetaplah sebuah nasihat. Perempuan itu malah makin mengiyakannya.

Perempuan itu mulai bertanya-tanya, kenapa kesuksesan hanya direduksi cuma jadi sukses secara finansial, dengan lingkaran kehidupan yang terbentuk berkat slip gaji, studi pascasarjana yang diambil, tempat kopi yang sering disambangi, merk baju yang dipakai, jumlah pengikut di sosial media, dan beragam tektek bengek yang membuat orang-orang begitu menghakimi, dan sangat cemas untuk dihakimi.

Lewat jendela besar di sampingnya, dia melihat ke luar. Sudah hampir seminggu, hujan belum datang-datang lagi. Orang-orang berjalan bergegas, ingin cepat-cepat terhindar dari cuaca panas, dan masuk ke kantor-kantor berpendingin mereka. Perempuan itu samar-samar mendengar suara yang akrab di masa bocahnya.

Suara nyaring dari pepohonan dan berlangsung konstan. Serangga yang mempunyai sepasang mata faset yang letaknya terpisah jauh di kepalanya dan punya sayap yang tembus pandang. Bentuknya seperti lalat yang besar. Ia ingat betul, dulu di siang terik yang lampau dia tak sengaja menginjak seekor.

Perempuan itu tersenyum. Senyuman untuk kenangan masa kecilnya. Antara pikiran atau telinganya yang sedang tak sehat, pikirnya, tapi suara paling akrab itu tak ada di sana, di sebuah kedai kopi di Kemang Timur Raya.

Perempuan itu bermimpi. Terkadang, dia pikir itulah satu-satunya hal yang paling tepat untuk dilakukan. Pada akhirnya, seperti banyak janji indah dalam hidup kita, perempuan itu hanya akan terus bermimpi, terbenam dan terbebani.***

Baca Juga: [CERPEN] Lelaki Bibliokas

Arif Abdurahman Photo Writer Arif Abdurahman

Wibu bau uang.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya