[CERPEN] Bus Malam

Bus malam tidak seindah langit berbintang

Aku melambaikan tanganku dari pinggir jalan. Badan kucondongkan ke depan, siap menghadang kalau saja supir bus itu tidak melihatku. Karena apapun yang terjadi, aku harus pulang malam ini.

           Bus bergaris merah di kedua sisinya itu berhenti. Aku segera menuju pintu belakang yang sudah dibuka oleh kernetnya. Tanpa pikir panjang aku duduk di kursi seberang pintu.

           “Ke mana mas?”

           “Madiun.”

           “Dua puluh delapan, ya,” jawabnya sembari mencorat-coret karcis.

           “Ini, Mas,” kuulurkan uang pas, kembalian beli es teh manis tadi.

           Ia menyobek karcis yang dicorat-coretnya tadi, mengambil uangku, lalu mengulurkan karcisnya. “Jangan ketiduran terlalu lama, enggak lewat terminal Madiun nanti,” ujarnya sembari berjalan ke kursi belakang. Aku hanya mengangguk.

           Aku memandangi karcis tadi, dicoret pada tulisan Surabaya dan Madiun. Aku melihat jurusan paling akhir dari karcis ini, “Oh, jurusan ke Jogjakarta. Pantas”.

           Bus berjalan kencang melawati bypass Krian. Di kanan kiri aku melihat pabrik yang mati. Tidak ada aktivitas sama sekali. Bahkan orang-orang tidak berlalu lalang, membuat bus semakin kepalang lajunya.

           Badanku bergoyang tak tentu. “Untung Puspa tidak ikut. Bisa muntah duluan dia belum sampai sepertiga jalan,” pikirku. Bayangku langsung melesat tak kalah karuan dari goyanganku. Aku jadi teringat dengan Puspa. Gadis yang sudah kucintai selama dua tahun ini.

           Kugeser dudukku hingga berdempetan dengan jendela. Di sana aku melihat bintang yang tak karuan membentuk jalur. Bukan bintang-bintang itu yang sedang kupikirkan, melainkan gadis kurus di ujung Surabaya sana. Aku rindu dengan dirinya. Sudah seminggu terhitung tidak bertolak mengunjunginya.

           Maaf maaf saja, kami tidak saling bertemu selama seminggu bukan karena pertengkaran. Toh, kami bukan lagi remaja berhati Romeo dan Juliet. Kami hanya sedang berfokus pada apa yang sedang dikejar. “Aku ingin menuntaskan skripsi, jadi tolong seminggu ke depan jangan hubungi aku dulu,” katanya kala itu di warung kopi.

           Aku hanya mengangguk. Yah, waktu itu fokusku memang sedang pada novel garapanku. Aku mendengar sampai “skripsi”, setelahnya entah apa yang dikatakan. Yang kuingat kami jadi jarang komunikasi dua hari. Lalu saat kutelpon ia malah marah dan menegaskan kembali perkataannya.

           “Aduh, setan,” badanku terhenyak ke depan saat bus tiba-tiba mengerem.

           Lamunanku hilang seketika. Aku mengelus keningku yang menghantam kursi depan. “Lewat depan saja!” Teriak kernet yang duduk di belakangku. Orang di depan yang berbaju sama dengan kernet itu tanpa jawaban langsung membukakan pintu.

           Seorang berjubah putih panjang muncul dari pintu depan. Bulu kudukku berdiri semua. Aku merinding, takut, tetapi mataku tidak mau lepas dari sosoknya. “Buset, rambut panjang sampai nutupin muka, kaki melayang, Ya Allah!” celetukku. Ia mengambil duduk tiga kursi di depanku.

           Pandanganku beralih ke kursi di barisan kiri. Aku baru sadar di sana juga ada yang membuatku merinding. Seorang pria hitam tinggi berambut berantakan. Dari belakang aku melihat rupanya yang lain. Hidung itu muncul samar-samar di balik rambut. Matanya juga terlihat saat sekelebat lampu jalan menerangi dalam bus, mengintip di antara helai rambut.

           “Mas, jangan melamun, mending tidur”

           Sontak aku konsentrasiku pada laki-laki itu kabur. Aku memandangi mas kernet dengan seksama, “Baik, mas. Maaf, ini pertama kali saya...” Ia hanya mengangguk sembari melempar senyuman tipis. Mas itu berjalan ke arah seorang berjubah putih tadi. Kupikir kuntilanak tidak bayar kalau naik kendaraan umum.

           Aku kembali memandangi jendela. Menikmati gelap yang dihiasi lampu jalanan, Sesekali aku melihat kendaraan lain lalu lalang. Tetapi, mereka sama saja tenggelam dalam gelapnya malam meskipun dengan lampunya.

           “Mojoagung! Mojoagung! Lewat depan!”

           Pandanganku kembali teralih, kali ini anak-anak kecil bercawat. Jumlah mereka ada lima, tetapi cukup duduk di bangku sebelah kanan. Padahal bangku sebelah kanan hanya berisi dua kursi sempit.

Kepala mereka semuanya plontos. Aku teliti lagi ternyata setiap dari mereka membawa segepok uang. Sontak aku mengecek saku dan isi dompetku. “Tenang, mas. Aman kok. Mereka emang tuyul, tapi enggak mengambil uang penumpang. La wong, mereka aja juga bayar naiknya,” ujar kernet di belakangku. Aku mengangguk lega.

Aku menatap keluar untuk kesekian kalinya. Perkotaan yang sepi membuat perasaanku semakin hening. Ah, jika saja di sini ada Puspa. Aku yakin dirinya akan mengoceh tentang puisi-puisi Chairil sepanjang perjalanan. Membuat semua menjadi ramai.

“Mas, jangan melamun!,” tepukkan di bahu membuatku terperanjat.

“Ah, iya mas. Maaf, tadi saya bingung mau ngapain”

“Boleh saya duduk di sini?”

“Oh, silahkan mas. Temenin saya juga. Kesepian ini. Hehe”

“Enggak punya pacar, Mas? Jomblo ya?”

“Wah, ngejek ini masnya. Saya punya pacar mas. Masnya mungkin yang jomblo,” ujarku sembari menaksir umur orang ini. Sekitar duapuluhan lebih sedikit, kupikir.

Ia terkekeh. Tangannya merogoh saku baju. Mengeluarkan selembar foto dan menunjukkan padaku. Foto itu memuat seorang gadis berambut pendek. Umurnya lebih muda, taksiranku sekitar belasan. Matanya tajam, tetapi senyumnya lembu. “Namanya Nina, bunga desa. Saya sayang sama dia, mas,” ujarnya.

“Cantik, kapan nikah, Mas?”

“Belum, mas. La wong saya aja enggak punya maskawin buat dia,” matanya berkaca-kaca.

“Walah, nikah enggak perlu maskawin mahal, mas. Kecuali, masnya kawin tanpa nikah,” ujarku menepuk jidat.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Ia hanya tersenyum tipis. Dikembalikannya foto gadis itu ke dalam saku. “Sebentar, saya muter dulu ngasih kembalian,” ujarnya sambil berdiri. Aku mengangguk dan membalas senyumnya.

Aku kembali menatap jendela. Kini sudah sampai di sekitaran Jombang. Aku tahu saat sekelebat papan dari toko kelontong menuliskan nama kota itu. Jombang memang penuh arti, apalagi penjual tahu sumedang dan lumpianya. Namun, sekarang sepi. Kosong tak ada penjual.

Bus berbelok, melewati jalan memutari kota. Jalan ini jauh lebih sunyi ketimbang tadi. Barangkali hanya kendaraan ini satu-satunya yang berisi manusia. Jalanan lengang, seperti hatiku yang menantikan pertemuan dengan Puspa.

Ah, Puspa lagi. Bagaimana aku bisa menghilangkan rindu di dada? Ia saja bosan dengan kata rindu. Tetapi, kenapa aku masih merindu dan berucap rindu?

“Hayo! Mikir jorok, Mas?” tepukan kembali menganggetkanku.

“Ngawur! Mana berani saya. Pacar saya galak, Mas.”

“Enak dong, ada yang ngomelin. Enggak kayak saya, diomelin ibu-ibu yang enggak dapat tempat duduk waktu siang,” celetuknya.

Aku meringis. Miris membayangkan keadaan mas ini. Jauh dari orang kesayangan. Jauh dari keluarga.

“Nina gimana, Mas? Kalem ya orangnya?”

Ia nyengir. Tidak berkata apa-apa dan membenarkan duduknya.

“Mas, maaf kalau menyinggung perasaan. Saya enggak ngerti apa-apa soal Nina,” aku mengangguk minta maaf.

Ia tertawa. Lama-kelamaan aku jengkel melihat tingkahnya itu.

“Saya memang sayang sama Nina. Tapi, saya enggak memiliki dia. Mana mungkin saya menyanding orang”

“Loh, kenapa?”

“Uang, mas. Saya tadi kan bilang, mas kawin. Pelik itu buat orang kayak saya.”

Aku terdiam. Ekor mataku menangkap sekelabat bayang putih yang berdiri. Sontak aku menoleh ke arahnya. Memandang dengan seksama. Seorang berjubah putih tadi melayang-layang.

“Sudah, mas. Dia emang gabut. Padahal sebentar lagi turun.”

Aku masih terpaku. Orang itu tak tampak seperti orang. Lebih tampak seperti kuntilanak mencari anaknya. Apalagi dengan pekikan tawa tipis itu.

“Mbak, maaf. Yang lain pada keganggu,” ujar mas kernet itu.

Ia tampak diam, namun masih melayang. Kulihat rambutnya yang panjang bergerak mengangguk. Ia kembali duduk di kursinya lagi.

“Maaf ya, Mas. Tadi sampai mana?”

“Saya enggak bisa menyanding Nina karena uang.”

“Ah, iya. Uang ya. Kan enggak perlu uang banyak buat nikah, Mas,” kelabakan jawabku karena masih tersisa rasa takut. “Kalau kawin, baru mas butuh uang banyak,” coba kuhibur.

“Yah, enggak juga mas. Kalau orang desa, apalagi saya yang akan menikahi kembangnya, butuh banyak uang, Mas. Cukup banyak untuk seukuran bocah seperti saya.”

Aku terdiam. Sisa takutku perlahan sirna. Kini aku coba mencerna tiap kata mas kernet ini dari memoriku. Ah, benar juga ia orang desa. Di desa kakek juga masih banyak tradisi kayak gitu.

Jadi teringat, waktu itu pergi ke pernikahan desa. Mempelainya kepala desa dan seorang kembang desa. Mereka melaksanakan resepsi di bawah tenda. Tenda yang sangat besar tentunya. Kala itu disediakan panggung dangdut lengkap dengan orkes dan biduannya. Lalu, makanan mereka tak tanggung-tanggung. Tumpeng yang tingginya melebihi bapakku (bapakku setinggi dua meter, tegap, karena seorang tentara), kambing guling, dan renik lainnya. Aku saja terkagum, karena memang jauh dari kata sederhana di desa.

“Tapi, saya enggak nyerah, Mas,” ujar mas kernet. “Saya kerja, banting tulang, sudah tiga tahun ini.”

“Wah, bagus dong, Mas. Kalau sudah cukup, lamar langsung aja, Mas”.

“Saya pikir juga begitu, tetapi dia kembang desa. Umurnya sudah matang untuk dipetik oleh salah seorang pria di desa”. Ia menghela nafas, “Pria anak kepala desa, juragan sapi, dan pemilik toko beras. Mereka semua juga tertarik dengan Nina. Pastinya mereka tidak tinggal diam. Tidak menunggu saya bisa sepadan untuk masuk ke dalam persaingan.”

Aku memasang kuping lebih erat. Mas kernet ini miris juga. Aku lebih beruntung hanya ditinggal Puspa menyiapkan skripsi. Semoga saja dia tidak menemukan lelaki lain yang sudah mapan.

Mas kernet tidak melanjutkan pembicaraannya. Ia berdiri dan berteriak, “Ayo yang Nganjuk yang Nganjuk”. Salah seorang penumpang dihampirinya. Seorang berjubah putih tadi. Ia tampak menepuk bantalan kursi dekat kupingnya. Lalu, mas kernet kembali berjalan menuju arahku.

Kuntilanak itu terbang melewati jalan kecil di antar kursi kanan dan kiri. Ia mungkin tak harus begitu. Ia kan bisa terbang, buat apa sopan melangkah seperti manusia?

“Tetap, saya enggak menyerah mas. Kabar dari teman saya janur kuning belum melengkung. Tenda juga belum dibangun. Saya masih punya kesempatan,” lanjutnya bercerita.

“Iya mas, semoga berhasil,” kutepuk bahu mas kernet itu.

Ia tersenyum, lalu pindah ke kursi belakang. Sepertinya ia tahu aku sudah dilanda kantuk. Benar saja, aku langsung terlelap hanya dengan sekali percobaan memejamkan mata.

aryasuta rajendra rahmatullah Photo Writer aryasuta rajendra rahmatullah

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya