[CERPEN] Hukuman

Ia tak pernah tahu bahwa semua kembali padanya

"BANGUN. SAMPAI KAPAN KAU MAU TIDUR PENJAHAT TENGIK!"

Teriakan itu mengembalikan kesadarannya. Matanya berusaha fokus dari silaunya matahari. Perlahan dia melihat sesosok dengan badan besar setalah siluet tadi.

Ia mendapati dirinya terikat di tiang besar dikelilingi oleh pria-pria berseragam. Keheningan sahut menyahut di dalam pikirannya yang semrawut. Kenapa ia berada di sini?

Kepalanya menggeleng ke semua arah yang memungkinkan untuk mencari tau apa yang yang sedang terjadi. Sekelilingnya hanya tanah lapang yang tandus. Orang-orang berseragam dan beberapa orang dengan pakaian lusuh. 

"CEPAT KATAKAN APA PESAN TERAKHIRMU KEPARAT!"

Kali ini hantaman melayang ke pipinya. Ini tidak sakit, karena ia sering mendapatkannya selama pendidikan militer. Yang lebih sakit adalah pikirannya yang sedari tadi bertanya - tanya. Ia lebih fokus pada ikatan di tangan dan kakinya daripada dengan pertanyaan yang diteriakkan.

Belum sempat kepalanya kembali seperti semula, perutnya dihunjam oleh kaki bersepatu keras. Cairan berbau amis keluar dari mulutnya tanpa adanya sisa makanan. Apa dia belum makan?

Nyeri mulai menghinggapi dirinya. Ia makin bingung kenapa hanya dengan dua hantaman membuat bekasnya begitu nyeri. Padahal ia memiliki tubuh kekar dan kebiasaan untuk diterpa pukulan dan tendangan.

Kepalanya menunduk lesu lalu melihat badannya dari dada hingga ke bawah. Kurus seperti bukan dirinya. Pikirannya semakin kacau menghadapi itu. Bagaimana mungkin tubuh seorang perwira kurus tanpa otot sama sekali?

DUAR! DUAR! DUAR!

Suara tembakan dari senjata api dimuntahkan ke udara. Tiga orang yang mengelilinginya mencoba apakah yang mereka pegang berfungsi dengan baik. Mereka memastikan agar nantinya dengan sekali tembak target tidak mengalami delay kematian.

Sebenarnya apa yang sedang terjadi dengannya? Kenapa dia seperti orang yang akan dihukum mati? Apa yang daritadi orang-orang itu teriakkan?

"Sudah langsung bunuh saja!"

"Ayolah dia seorang bajingan! Buat apa terus menunda!?"

"Hei biarkan aku yang membunuhnya!"

"Cih! Akhirnya dia akan mati. Ini akan jadi awal baik bagi semuanya."

Semua teriakkan yang dari tadi sayup menjadi jelas. Kini ia mengerti kalau ini semua memang eksekusi hukuman mati. Ia yang sering mendapat medali akan mati sebentar lagi.

Tangannya mencoba beberapa hal agar dapat lepas dari ikatan. Kakinya pun mencoba hal sama. Tanpa ia sadari semua bagian tubuhnya mencoba untuk lepas dari semua ini.

Satu pukulan di pipi kanan. Dua pukulan di pipi kiri. Tendangan di rusuk. Hantaman gagang senjata api di kaki kiri dan kanan. Tidak jarang juga batuan mengenai tubuhnya. Semua orang berusaha membuat dia berhenti berusaha meloloskan diri.

"APA YANG KALIAN LAKUKAN!? AKU INI JENDERAL! AKU ATASAN KALIAN! KALIAN INGIN AKU HUKUM!"

Sekilas hening menghinggapi situasinya. Hanya sekilas dan diganti dengan tawa yang keras. Semua orang yang berada di sekitarnya tertawa sambil menghujat dan memaki dirinya.

Dirinya yang selalu berseragam lengkap dengan medali menggantung di sana sini. Yang bertubuh besar kokoh ditakuti semua orang. Tukang pemberi hukuman bagi setiap yang tidak disukai.

Sekarang ia menjadi kurus kering tanpa pakaian kebesaran yang selalu dia kenakan. Jabatan bukan pembicaraan membanggakan sekarang. Kematian perlahan akan menghampirinya dan keberadaannya akan sirna tanpa kehormatan.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Ayah, kasihan orang itu. Kenapa dia diikat seperti hewan ternak?"

Seorang gadis cilik lugu membuat pandangannya terarah padanya. Gadis itu seperti anaknya yang selalu mengenakan gaun merah dengan pernak-pernik bunga. Bagaimana keadaan gadis kecil kesayangannya itu ya?

Ia harus hidup apapun caranya. Bagaimanapun keadaannya ia tidak boleh membiarkan malaikat kecilnya kehilangan ayah. Lolos. Ia akan lolos.

Satu tangannya telah lepas dan menggengam tali agar tidak ketahuan. Satu kali putaran tangannya akan lepas. Kakinya akan dilepaskan setelah dia merampas pisau dari tentara di depannya.

Tangannya diputar dengan tali yang dilempar menuju leher tentara tersebut. Dibarengi dengan ancaman untuk membunuh tentara tersebut, pisau sudah di tangannya. Ia terus mencekik tentara itu dan berteriak mengancam. 

BRUK!

Dia terjatuh setelah kepala belakangnya ditembak peluru karet. Kesadarannya memudar sedikit demi sedikit. Teriakan - teriakan yang sedari tadi memekakkan konsentrasinya sirna.

Sebuah siluet muncul setelah gelap menelannya. Tampak jelas bahwa itu adalah Rian Saputra. Salah seorang tentara bawahannya yang ia hukum mati.

Rian Saputra menunjukkan beberapa kilas balik kehidupan dirinya. Keluarga kecil bahagia yang terdiri dari satu istri dan tiga anak. Mereka yang menunggu suami sekaligus ayahnya. Ciuman di kening akan membuat semua kerinduan akan kehadirannya terpuaskan.

Satu lagi wujud muncul di hadapannya. Bagus Perkasa si Pencuri yang dia siksa hingga mati. Ia menunjukkan sebuah gubuk reyot dengan beberapa orang di dalamnya. Kurus kering bahkan tidak bisa dikatakan bahwa daging menempel di tubuh mereka. Mereka menunggu sedikit makanan yang biasanya didapat dari hasil usaha Bagus. 

Beberapa orang muncul terus menerus menghadapnya. Mereka mengantri untuk memberi balasan kepada Sang Jagal berselimut keadilan. Sebuah kenangan dengan kesengsaraan dan tragedi dari 128 orang yang telah ia "matikan".

Keluarga yang menanti di rumah. Mulut-mulut yang harus diberi makan. Seorang anak yang ingin disambut ayahnya. Istri yang menunggu calon anaknya untuk diberi nama oleh suaminya. Itu semua hanya secuil dari kisah pilu yang-telah-dimatikan.

Air mata mengalir melalui pipinya. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya ia mengasihani orang lain selain keluarganya. Seorang Jagal maha benar kini telah mengakui bahwa ia salah. 

Kesadarannya kembali dengan tubuh terikatnya. Ia telah mengakui bahwa semuanya adalah kesalahan. Hidupnya tanpa ada belas kasih adalah keburukan. Dirinya yang mengeyel pada keadilan dan subjektivitas absolut hanya membawa kematian sekaligus tragedi lain.

Kematian dirinya mungkin tidak pantas. Bahkan seluruh hidupnya tidak akan cukup untuk memberikan balasan. Ia hanya seorang yang pantas untuk tidak ada di dunia.

"KAU SUDAH SADAR HAH!? MARI KITA LANJUTKAN, INGIN MATI LANGSUNG ATAU PERLAHAN!?"

"Tolong beri aku sedikit waktu untuk berpesan kepada keluargaku. Mungkin mereka tidak mengenaliku, tetapi aku ingin tau bahwa aku sayang mereka. Mereka adalah istriku Siska Sudarwasih dan anakku Bunga Liamm."

"HA? SEKARANG KAU MENGAKUI ISTRI JENDERAL KAMI SEBAGAI ISTRIMU!? KESINTINGANMU SUDAH SAMPAI MANA!? DASAR GILA!

"Apa? Apakah dia jenderal yang baik? Apa dia tidak semena - mena? Apa dia menyayangi semuanya?"

"DIAM KAU SINTING! KALAU TIDAK KARENA JENDERAL, KAMI SUDAH MEMBUNUHMU TANPA MEMBERI KESEMPATAN UNTUK PESAN TERAKHIRMU!"

"Baiklah kalau begitu. Silahkan."

Tentara itu menyelesaikan siksaan terakhirnya dengan pukulan di rahang bawah. Ia merasakan rahangnya rusak dan tidak bisa bergerak lagi. Tidak apa, toh dia akan mati. 

Ibu. Bagaimana ya dengan ibu? Jika keluarganya saja sudah digantikan dengan yang lebih baik, mungkin ibunya juga diberi anak yang lebih baik. Sekali saja dia ingin menangis di pangkuan ibunya sambil menikmati usapan di kepalanya. Semoga Ibu terus hidup dan bahagia dengan anaknya. Terimakasih sudah melahirkan aku ibu.

Baca Juga: [PUISI] Menjemput Memori Bersama Kereta Sore Hari

aryasuta rajendra rahmatullah Photo Writer aryasuta rajendra rahmatullah

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya