[CERPEN] Potret Rindu

Aku berjalan di kota ini bersama rindu di dada

Puspa tercinta,

Bersama surat ini aku kirimkan potret malam, lengkap bersama kota dan seluk beluk isinya. Aku ingin kamu mengambilnya. Lalu, di dalam kamarmu yang sempit itu, menikmatinya sebelum terlelap.

Aku masih ingat dengan isi kota Malam. Seorang pemabuk di tengah jalan raya. Ia tidak terlalu bodoh ternyata saat sadar. Perempuan yang menyusui anaknya, tetapi tetap menjajakan dirinya. Belum lagi si kakek tua, penjual nasi goreng favoritku selama memotret kota ini.

Puspa, aku ingin kamu tidak banyak membaca kata-kata. Cukup nikmati potret kirimanku ini. Kata-kata tidak selalu bermakna. Apalagi kata-kata dari artikel di laman yang selalu kamu buka. Aku benci laman-laman itu membuatmu semakin tertelan depresi.

Cintaku, izinkan aku bercerita. Anggap saja intermeso sebelum kamu menikmati potret ini. Ini hanya tentang bagaimana pertemuanku dengan kota Malam.

Kamu tentu masih ingat. Dua tahun lalu, tepat pada hari ini, aku pergi meninggalkanmu di kamar sempit itu. Kala itu tanggal 29 Oktober 2015, hari ulang tahunku. Pastinya membekas, apalagi air mataku tertinggal di kaos berwarna krem yang kamu kenakan.

Aku bukan pergi tanpa alasan. Akan kuulangi sebentar, sayang, saat-saat paling kubenci. Perihal yang membuatku jengah hingga sekarang.

Ayahmu menelepon pada pukul 00.37 sehari sebelum aku memutuskan pergi. Aku masih terjaga bersama potret-potret yang selama ini aku kerjakan. “Pergi, kau harus pergi! Puspa tidak akan tahan dengan dirimu. Aku jamin pernikahanmu nanti tidak akan berhasil,” ujarnya lesu.

Aku hanya diam. “Katakan pada dia, kau akan pulang menjadi lebih baik. Kau akan menjadi pria idamannya. Lalu, pastikan kau pulang dengan maskawin,” ujarnya lagi, kali ini lebih semangat. Aku menghela nafas panjang, “Baik."

Aku jadi bernostalgia. Pada aromamu saat terbangun itu. Senyumanmu yang berat itu. Mata sembab bekasmu menangis itu. Aku menyesal tidak menjadi baik dulu, betapa bodohnya aku. Pria yang kamu pilih ini selalu menyakitimu. Padahal, kamu terus berada di sisi tanpa banyak pinta.

Namun kali ini kupastikan. Kamu akan melihatku sebagai seorang pria hebat nantinya. Pria tampan, lembut hatinya, dan jantan bersikap. Namun, tetap Arya yang kau cintai.

Baiklah sayang, mari kita lanjutkan. Pertemuanku dengan kota Malam tidak seburuk kenangan kala kepergianku. Tetapi, juga tidak sebaik kenanganku bersamamu.

Setahun yang lalu, saat aku memberi pesan instan. Aku merasa itu menjadi pesan instan terakhirku. Semenjak kamu memutuskan untuk tidak menghubungiku. Tetapi, aku masih terus mengharapkan suaramu datang.

“Aku sudah tidak tahan. Tanpamu, rindu ini tidak tersalurkan. Harus ke mana lagi? Apa aku sudah berubah? Kenapa kamu belum menghubungiku sama sekali? Apa ini berarti aku belum pantas menyandingmu?”

“Puspa, tolong jawab. Semua pemberitahuan mengatakan bahwa kamu dalam kondisi daring."

“Sebentar saja, aku sudah tidak tahu harus ke mana dan bagaimana. Terhitung dua kota telah aku telusuri. Kota kita berdiam, kota Senja, dan kota tempat orang bekerja, kota Pagi."

“Semua sudah aku lewati, aku pahami, dan aku resapi. Tidak ada yang penting. Bahkan aku lebih suka berdiam diri di warung tanpa berkata apa-apa. Aku kosong. Perjalanan ini kosong."

“Kenapa tidak kamu saja yang merubahku? Apa aku sudah terlalu bebal?”

“Baiklah, aku akan berubah. Akan kubuktikan!”

Aku tenggelam dalam emosi setelahnya. Telepon genggam aku banting. Kuinjak hingga hancur berkeping-keping. Kuambil salah satu botol arak. Kutenggak hingga hilang sadarku.

Saat kesadaranku kembali, aku sudah berada di pinggir jalan kota Pagi. Bajuku robek di mana-mana. Dompetku hilang entah ke mana. Badanku sakit tak terkira.

Aku mengambil duduk bersila. Orang-orang lewat memandangiku jijik. Beberapa jam aku hanya bersila. Menghela nafas panjang. Menatap dalam-dalam setiap orang yang matanya berpapasan dengan mataku.

Tidak ada yang bisa kulakukan lagi, bukan? Perasaanku sama dengan waktu itu. Saat aku tidak memiliki tujuan hidup. Yang bahkan bernafas saja aku tidak mengerti artinya. Kosong, tidak tahu harus berbuat apa. Masa dimana aku belum bertemu denganmu.

Usai merasakan perutku keroncongan, aku mengambil posisi. Posisi tidur dengan sisi kananku menghadap jalanan. Tekukan tangan ku jadikan bantal. Mataku tetap melihat lalu lalang orang-orang. Namun kali ini hanya sebatas sepatu mereka.

Aku memejamkan mata. Harapanku perut akan kenyang setelah aku tidur. Atau aku lupa bernafas lalu mati.

Bukan gelap yang kuterima saat memejamkan mata, melainkan dirimu. Puspa, aromamu semakin lekat saat mata ini terpejam. Halusnya sentuhanmu terasa mengelilingi tubuhku. Mata cokelatmu serasa mendekat. Tangisku pecah, aku rindu kamu.

Tangisanku sontak berhenti, Puspa. Bukan karena rinduku hilang, apalagi mati. Seseorang mengguncang tubuhku. “Mas, jangan tidur di sini. Mending ikut saya saja,” kata orang itu.

Aku mematung beberapa saat. Melihat langit yang tadinya cerah tanpa awan, sekarang gelap. Matahari menyilaukan menjadi bulan yang belum pernah kulihat. Bintang-bintang bertaburan.

Orang itu kembali mengguncang tubuhku yang sudah terduduk.

“Ayo, mas. Mau ngapain di sini?” Apa ia tidak tahu bahwa aku sibuk menelaah semua? Aku dibangunkan, lalu dipaksa mengikutinya. Ia mendorong gerobak “Nasi Goreng Bang Mamank”-nya itu bercerita ke mana-mana. Padahal aku tidak meminta. Aku butuh kejelasan

Aku linglung. Gedung-gedung lebih cerah daripada langit. Lampu jalan yang biasanya hanya jadi hiasan sekarang hidup. Kendaraan-kendaraan bergerak dengan meninggalkan berkas cahaya. Di mana aku?

Aku terhenti, menundukkan kepala dan mengernyitkan dahi. Ku usap rambutku. Ku seka wajahku dengan tangan. Tidak habis pikir. Aku di mana?

Begitulah Puspa, aku dikirim entah bagaimana caranya. Dari kota Pagi yang agung dengan para pekerjanya ke kota Malam yang tak tersentuh keindahan. Namun, benarkah begitu?

Sayangku, aku tetap mencintai kota Senja. Kota di mana kita saling bertemu. Banyak cerita di sana. Tidak berharga nilainya dibanding apapun. Karena ada dirimu di sana.

Aku akan bercerita tentang seseorang di sini. Ia bukan perempuan, walaupun nantinya ia mempertumakanku dengan seorang perempuan. Tetapi, sayang, aku cinta kamu. Sungguh, perempuan yang dikenalkan membuatku makin cinta padamu.

Seseorang itu adalah penjual nasi goreng keliling. Pria berumur empat puluh tahun dengan gaya kuno. Topi safari, kemeja putih yang kancingnya lepas semua dengan dalaman warna hitam, dan celana kombor warna cokelat. Namanya Mamank, cukup gampang untuk kuhafal.

Anehnya dengan penampilan seperti itu, ia tetap wangi. Kulitnya pun bersih. Aku saja kalah mulus dibanding dia. Padahal ia sering sekali bergulat dengan garam, bawang, dan renik bumbu lain.

Ia menyebalkan, sungguh. Selama setahun aku bertanya bagaimana bisa aku di sini, ia hanya tersenyum. Terkadang ia juga sok budek ketika aku bertanya bagaimana cara untuk keluar dari kota ini.

Di sisi lain ia sangat baik. Ia mau menampungku, orang asing yang ditemuinya di pinggir jalan. Walaupun, ditampung artinya aku ikut ia untuk tidur beralas tikar beratapkan pos kamling. Terkadang atap teras toko.

Selain itu, aku juga harus menemaninya berbelanja. Kamu tahu kan aku tidak bisa berinteraksi dengan baik? Ini malah disuruh belanja. Dipaksa menawar ikan, beras, bahkan bawang. Bayangkan, bawang ditawar hingga separuh harga olehnya dan aku harus meniru itu.

Ketika seluruh bahan usai dibeli, kami langsung berangkat. Aku mencoba untuk mengupas bawang. Gagal, pisau melukaiku. Membersihkan ikan, malah habis dagingnya. Membuka tutup botol minyak dan kecap, pecah botolnya. Saat itu aku paham bagaimana sabarnya kamu di dapur.

Akhirnya, aku hanya di posisi tukang bersih-bersih. Kamu pasti heran kenapa aku mau. Aku beritahu ya, sayang. Aku hanya tidak mau numpang makan dan tidur tanpa bisa membalas.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Tiga bulan semenjak aku mengikuti Mamank. Aku mulai jenuh. Lelahku sudah tidak tertahan. Malas dengan segala rutinitas pasar, dapur, dan alas tidur. Lalu, aku memutuskan untuk pamit. “Oh, baiklah enggak apa. Kalau saja kau mau kembali, aku di sini. Seperti biasa di tepi jalan ini, dekat pasar Trunojoyo, seberang toko A Hong, dan bersebelahan dengan pos kamling RT 002,” ujarnya tersenyum.

Aku berjalan menyusuri jalan. Rasanya aman juga, padahal kondisinya mengerikan. Coretan di dinding dengan segala suara risau. Bau alkohol menyerbak di udara. Asap rokok yang lebih tebal dari asap kendaraan.

Aku berbelok menuju jalan yang lebih sempit. Bukan gang, hanya saja jalannya sempit dan tanpa pertokoan. Penerangan di sini buruk. Udaranya juga busuk. Sudah lama aku berjalan, tanpa melihat tanda satu pun tanda manusia. Lalu, pandanganku menangkap sebuah warung. “Ah, aku harus cari pekerjaan. Bodoh!” Gumamku sendiri.

Seseorang keluar dari warung itu. Ia membawa botol di tangan kanannya. Bajunya compang-camping. Kakiku sempat bergetar hebat dan aku ambruk. Aku ketakutan setengah mati. Bukan karena pria mabuk di hadapanku, tetapi seseorang di belakangnya. Ia membawa pemukul!

Cintaku, aku benci ini. Tetapi harus kuakui saat itu aku hampir menangis. Padahal beberapa bulan yang lalu aku berharap untuk mati. Lucu bukan?

Wush! Dipukullah pria mabuk di hadapanku. Aku semakin takut, hampir kencing di celana. Aku merangkak mundur perlahan. Menghindar dari jangkauannya. Eh, ia malah menjulurkan tangan. “Maaf, bisa berdiri? Ke warung saja. Hiraukan pemabuk ini. Biar saya urus,” katanya.

Aku yang masih ketakutan segera lari menuju warung. Sambil terengah, kuambil duduk di bangku. Aku menunduk, keringat deras terkucur. Untung saja bukan kencingku yang terkucur.

“Saya Tatank, maaf keributan tadi.”

Aku terperanjat. Menatap dirinya dengan tajam. Tubuhku masih bergetar. Kurasa aku akan ngompol.

“Enggak usah takut, Mas. Saya yang punya warung ini. Bentar ya, saya buatkan teh hangat.”

Ini pertemuanku dengan Tatank. Ia seorang penjaga warung. Kepalanya plontos. Baju yang dikenakan rapi berlengan panjang. Ia juga memakai celana jin. Cukup mewah penampilannya ketimbang warungnya.

Sederhana dengan sangat, itulah warung milik Tatank. Temboknya bercat hijau pucat, lampu yang remang-remang, dan jajanan yang dipajang tidak bergairah. Ia hanya menyajikan tempe goreng yang besarnya hanya separuh dari tangan orang dewasa. Tape gorengnya sekali gigit habis. Tehnya pun tidak manis sama sekali.

Tetapi, warungnya selalu ramai. Karena ia menjual arak. Konon, araknya terenak di seantero kota Malam. Aku belajar mabuk dari dia. Karena mabukku yang terakhir kali gagal.

Tiga bulan aku bersamanya. Aku membantunya menjual arak. Juga memasak. Kamu tahu, sayang. Aku pertama kali memasak di sini dan tidak gosong. Anehnya lagi, masakanku enak. Tempe goreng, tape goreng, dan terkadang rebusan kentang semuanya enak. Aku tidak berbohong, nanti aku akan memasak untukmu.

Setelah merasa bosan dengan rutinitas mabuk dan kewarungannya, aku pamit. “Baiklah, bawa ini. Anggap ini gajimu. Cukup buat menyewa lonte. Juga ini jangan lupa, araknya." Dari situlah aku mulai heran, kenapa orang-orang di sini lebih baik dari kota lain?

Aku berjalan keluar jalan sempit, menuju jalan besar. Sangat besar bersama gedung-gedung bertingkat di pinggirnya. Di sana aku bertemu perempuan. Lebih tepatnya, banyak perempuan.

Maaf sayang, di sini aku mulai tergoda. Satu setengah tahun tanpa dirimu, aku bisa apa kecuali menikmati bayangmu? Tetapi, entah kenapa aku masih rindu padamu.

Perempuan itu memakai gaun merah. Gaun terusan yang memperlihatkan setiap jengkal lengkuknya. Rambutnya terurai panjang dengan warna segelap langit. Nafsuku memuncak hanya sekali memandang. Tenang Puspaku sayang, aku masih mencintaimu saat itu.

Ia menyapaku. Di antara banyak perempuan di pinggir jalan, hanya ia yang menyapaku. Kupikir kalau perempuan-perempuan mangkal akan menggoda siapapun yang lewat. Ternyata mereka cukup memilih, ya.

Rara namanya. Harganya pas dengan yang diberikan Tatank padaku. Aku langsung mengiyakan tanpa menawar. Pikirku, bagus juga untuk mengalihkan frustasi selama ini.

Setelah sepakat, ia mengantarkanku ke sebuah hotel. Hotelnya bagus, bahkan berbintang. Aku sempat khawatir dengan kantongku. Namun, Rara bilang bahwa harga kesepakatan sudah termasuk hotel.

Kami menuju salah satu kamar. Aku duduk di kasur dan Rara segera menuju kamar mandi. Aku membayangkan sebagus apa tubuh Rara saat mandi. Setelah ia keluar berbalut handuk, ganti aku yang kini mandi. Diterpa air pancuran, luruh nafsuku kepada Rara.

Puspa, gadisku berambut sejingga senja. Aku rindu padamu. Bagaimana bisa aku nafsu kepada orang asing? Kepada orang yang bahkan tidak tahu menahu tentangku? Padahal memilikimu yang menunggu di kota Senja.

Saat aku keluar dari kamar mandi, Rara sudah telanjang bulat. Aku tidak tertarik lagi dengan tubuh semampainya itu. Atau wajah oriental menggodanya itu. Aku hanya merindukanmu.

Ia menatapku, lalu tersenyum sinis. Kala itu Rara berkata bahwa wajahku menjengkelkan sembari mengelus pipiku. Ia sempat menggodaku, memelukku pelan. Secara halus kujauhkan ia dengan tanganku. “Maaf, ada gadis yang menungguku. Ini uangmu,” kataku yang ditampar setelahnya.

Aku linglung. Kenapa aku ditampar? Bukankah lebih baik memang begitu? Apa salahku?

Rara mengenakan kembali gaun merahnya. Ia menatapku sinis. “Kau bodoh? Kau pikir bagus berkata seperti itu di depan perempuan?” ujarnya. Aku semakin bingung.

Aku kembali duduk. Daripada kebingungan dan suasana semakin canggung, aku bercerita kepadanya. Tentangmu yang menemukanku tanpa arah dan menunjukkan arah. Pantai langganan kita saat jenuh. Tawa menjengkelkanmu. Wajah sebalmu saat aku lagi bodoh. Ah, aku makin rindu.

Kamu tahu reaksi Rara? Ia tertawa. Iya sayang, ia tertawa keras sekali. Aku jadi semakin bingung. “Sudah ikut aku saja kalau begitu. Kau juga tidak ada tempat tinggalkan? Anggap saja ganti dari malam ini,” ujarnya sembari menarik lenganku.

Aku rindu kamu, Puspaku. Rara membuatku semakin merindukanmu. Perlakuannya memang beda darimu. Tetapi, dia juga manja sepertimu. Dia juga sangat sering sebal persis denganmu. Aku merasa seperti bersamamu.

Rara sering mengajakku ke pusat perbelanjaan. Lama sekali saat ia memilih baju. Dua jam, tiga jam, bahkan sampai lima jam. Ujung-ujungnya tidak jadi beli atau hanya membeli satu setel. Sama sepertimu, bukan?

Ketika ia sedang bekerja, aku ditinggal di apartemen miliknya. Karena memang tidak ada pekerjaan, aku membersihkannya. Mengelap meja, kursi, dan lemari. Mengepel lantai dan menyapunya. Aku tidak mau berhutang, pada siapapun juga. Tidak Mamank, tidak Tatank, dan tidak pula Rara.

Ia mencintaiku, tetapi tentu saja aku mencintaimu. Berulang kali ia berkata bahwa mungkin saja kamu sudah bersama orang lain. Tetapi, bagiku itu bodoh. Aku tahu kamu memilihku. Kamu mencintaiku.

Tiga bulan aku bersamanya, aku pamit. Aku takut membuatnya semakin tersiksa dengan perasaannya sendiri. “Kau itu, benar-benar mencintai pacarmu ya? Baiklah, ini kalung pasangan untukmu. Mungkin saja bisa untuk maskawin, bukan?” Aku mengiyakan saja. Aku tahu setiap kata yang keluar dariku hanya membuatnya semakin terluka.

Aku keluar dari apartemen Rara. Kutengok belakang, menilik kembali apartemen itu. Ah, aku jadi semakin merindukanmu. Sebelum aku keluar dari apartemen Rara berkata padaku untuk menemui Mamank. Ia bisa membuatku keluar dari kota ini.

Benar sayang, aku bisa kembali! Aku dapat memelukmu lagi. Aku dapat membuatmu sebal lagi. Aku dapat menemuimu dengan diriku yang baru!

Kutemui Mamank, ia menyambutku seperti sebelumnya. Aku terus bertanya pada Mamank bagaimana caranya keluar dari kota ini. Nihil. Mamank masih tetap sok budek.

Aku mengambil duduk. Mamank menyiapkan nasi goreng, padahal tidak ada yang memesan. Aku bercerita kepada Mamank. Saat bertemu Tatank dan Rara. Ia hanya tersenyum sembari mengaduk nasi di wajannya.

“Mank, aku ingin kembali. Aku ingin bertemu Puspa,” kataku saat itu pasrah. Mamank membawa dua piring nasi goreng panas di tangannya. Salah satu dijulurkan padaku, yang satunya ia makan sendiri. Aku sempat mengernyit karena ini pertama kali Mamank mau makan bersamaku.

Tunggu tiga bulan, kau akan bisa keluar dari kota ini. Saat ia mengucapkan itu, aku mematung. Sendok yang tadinya memungut nasi goreng jatuh. Aku terdiam dan mengatup bibirku erat-erat. Kututup kelopak mataku, menahan tangis yang akan pecah.

Esok aku sudah bisa keluar dari kota Malam, sayang. Untuk itu aku kirim surat ini. Aku ceritakan padamu proses. Juga tempat dimana aku berproses. Kota saat aku berkenalan dengan banyak orang.

Selama tiga bulan setelah perkataan Mamank, aku memutuskan untuk memotret setiap sudut kota. Jalanannya yang kumuh, orang-orangnya kasar, dan udaranya pengap. Termasuk juga gemerlap gedungnya, senyum dari kupu-kupu malam, dan salam dari para pemabuk. Aku ingin kamu melihat semuanya sembari menungguku kembali.

Puspa, sayangku, cintaku, aku akan kembali. Aku sudah pantas menghadapi segala kondisi nantinya. Ayahmu akan berkata bahwa aku sudah cocok untuk menyandingmu. Lalu, aku pastikan kamu tidak mengalami sedikitpun luka hati. Tunggu aku.***

aryasuta rajendra rahmatullah Photo Writer aryasuta rajendra rahmatullah

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya