[CERPEN] Tolong, Izinkan Aku Terbang

Dari bukit ini aku bersaksi bahwa aku akan terbang

Jatuh lagi ya. Kali ini batu yang menerima jatuhku jadi penuh dengan warna merah. Tubuhku sudah tidak bisa digerakkan sama sekali. Bahkan angin dan panas tidak bisa aku rasakan sekarang. Paruhku sedikit bengkok karena bertabrakan dengan batu lalu dahan dengan keras. Sudah berapa kali aku jatuh? Tidak terhitung hingga rasa sakit tidak terasa lagi. Bahkan bulu-bulu yang menempel tidak terlihat selayaknya milikku lagi.

Cacat, tidak normal, dan bodoh adalah aku. Semua yang aku temui pasti akan mengatakan semua itu. Semua tanpa terkecuali ayah dan ibu. Mereka menganggapku sebagai produk gagal sekaligus makhluk tidak berguna. Orangtuaku tidak memperlakukan aku sebagai seorang anak karena aku tidak seperti mereka. Pun memalukan bagi keluarga sendiri. Tidak ada yang menerimaku selayaknya makhluk sesama mereka. Hal itu karena aku tidak sama dengan mereka. Aku tidak memiliki kemampuan yang sama dengan sejenisku. Akibatnya aku dianggap sebagai terhina di kalanganku.

Aku lahir dengan normal. Diawali dengan berusaha keluar dari cangkang telur yang dikeluarkan oleh ibu dan hasil pembuahan ayahku. Sesaat setelah keluar ibu langsung memberikan dekapannya padaku juga kelima saudaraku. Masih membekas bagaimana hangatnya serta berisik suara dari kami. Tetapi ibu tetap sabar mendekap kami.

Apa yang salah denganku? Sayapku lengkap, buluku lebat, dan ekorku kuat. Saudaraku semua bisa melayang saat pertama kali melompat dari dahan. Mereka terbang mengikuti angin bersama kepakannya. Sedangkan aku langsung jatuh tersungkur seperti ditolak oleh langit. Angin sangat membenciku sehingga tidak mengizinkanku untuk menggunakannya.

"Kau anak bodoh. Memalukan keluarga. Cobalah seperti yang lain. Terus berusaha. Kau mau ayahmu ini terus malu saat keluar dari sarang? Kau mau keluarga kita dilihat dengan hina karena dirimu?"

Bayangan perkataan ayah muncul di antara darah yang membasahi wajahku. Aku mengerti bahwa kemampuanku jauh dibanding yang lain. Tidak, bahkan lebih parah lagi. Aku tidak bisa menjalani kodrat sebagai anakmu, yaitu terbang. 

Mataku menangkap beberapa kawanan menuju utara. Salah satu dari mereka berbalik menuju ke arahku. Ia bertengger tepat di atasku. Dahan tempatnya bertengger bergoyang seakan memperlihatkan seberapa kuat dia. Dia adalah salah satu saudaraku. Burung yang paling benci denganku karena aku tidak bisa terbang. Matanya tajam melihat sekujur tubuhku dengan paruhnya menunjuk-nunjuk tajam. Aku mengerti, aku akan berdiri sesaat lagi. Biarkan aku istirahat sejenak paling tidak sampai aku bisa merasakan rasa sakit lagi.

Dia tidak menghiraukan permintaan dalam diamku lalu menuju ke samping. Di sampingku ia mematuk tanah untuk menggemburkannya. Tanah itu ia pindah dengan kakinya ke atasku. Seakan-akan ia membuat upacara kematian padaku hanya karena melihatku tubuhku yang bersimbah darah.

"Apa kau ingin aku kubur di sini? Kau tidak berguna jadi mudah bagiku menghilangkanmu dari dunia ini. Dasar kau cacat."

Bisikan itu menandai kepergiannya. Ia pergi menuju kawanan lagi tanpa menengok ke belakang. Meninggalkanku yang telah terkubur separuh badan. Aku paham apa maksudnya. Ia hanya tidak ingin orangtua kami terus merasa hina. Kehadirankulah penyebab semua cercaan menuju ke arah keluargaku. Aku seekor burung tanpa kemampuan untuk menginjak langit.

Malam telah jatuh. Tubuhku kembali merasakan sakit. Syukurlah, itu berarti sendiku dapat digerakkan lagi. Aku bangkit dari kuburan buatan saudaraku lalu berjalan tertatih menuju sumber air. Sepanjang jalan, si pendiam saudaraku mengikuti dari atas. Ia satu-satunya keluargaku yang tidak pernah melontarkan komentarnya pada kondisiku.

Aku ambruk sesaat setelah sampai di sumber air. Gemertak dari tulang-tulangku terdengar jauh lebih keras kali ini. Jantung kecilku berdegup sangat kencang sampai hampir meledak rasanya. Langit bahkan terlihat gelap sekali. Si Pendiam, saudaraku, tampak menukik menuju diriku yang tergeletak tanpa daya. Apa dia akan menusukku? Semoga saja.

"Bangun, Kak. Bangunlah! jangan mati di depanku. Bukalah matamu. Aku di sampingmu, Kak!"

Suaranya menyentil kesadaranku. Ia berdiri di sampingku sembari memercikkan air. Beberapa cacing terlihat di cengkramannya yang menuju ke paruhku. Sedikit demi sedikit aku mematuk cacing itu lalu kumasukkan dalam perutku. Lucu sekali, aku kembali dari sekaratku beberapa saat. Mungkin benar aku kelaparan karena sudah 5 hari tidak menelan makanan.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Terimakasih, aku merepotkanmu ya. Maafkan aku. Lain kali aku akan menggantinya."

"Berhentilah kak. Aku tidak kuat lagi melihatmu menderita."

Kata-katanya terpatah karena tangisan membuat paruh mungil itu seperti air terjun. Dia terlihat sedih sekali atau aku salah mengartikan ekspresinya kali ini. Ini pertama kali aku melihat ada yang sedih karena aku. Dulu ibu juga pernah menangis sedih sebab ia tidak sanggup lagi dengan gunjingan tetangga tentangku. Saat itu tangisan ibu bercampur dengan umpatan. Aku juga sedih kala itu. Sedih akibat aku tidak dapat menghentikan tangisan ibuku dan hanya melihatnya terus meluapkan emosi serta menyasarkannya padaku. Tetapi sekarang tangisan Si Pendiam terasa berbeda. Aku merasa senang dengan tangisannya.

Aku mencoba untuk berdiri, tetapi Si Pendiam mencegahku dengan berdiri di atasku. Raut wajahnya terlihat marah. Hal yang selalu aku lihat tiap harinya dari orang lain. Wajar saja ia juga begitu. Bagaimana mungkin tidak? Maafkan aku, saudaraku. Takdir membuatku seperti ini. Layaknya makhluk hidup, sekarang aku sedang memacu diri untuk mengubah itu.

"Apa kau tidak mendengarku? Berhentilah! Hentikan semua yang kamu lakukan. Aku mengerti kau ingin mengganti takdirmu. Aku paham kau tidak tahan jika keluargamu menerima tiap cercaan. Lihatlah dirimu sendiri. Hancur semua! Sekarang kau tidak layak disebut gagak. Bukan karena tidak mampu terbang melainkan dirimu sendiri rusak luar dalam. Kak, dengarkan aku dan singkirkanlah pikiran khawatirmu pada takdir itu sebentar saja. Kau tidak akan bertahan lagi. Tolonglah, Kak."

Manis sekali dia. Perkataannya hangat berbalut dengan kekalutan. Aku mengerti adik kecilku. Aku paham kondisiku sekarang tidak akan memungkinkan untuk terus hidup lebih lama. Hanya saja tidak ada lagi yang bisa aku lakukan. Aku harus terbang. Aku harus sama dengan semuanya. Aku tidak mau keluarga kita terus terhimpit hanya karena aku.

Aku memaksakan dia untuk menyingkir. Secara perlahan cengkraman di atas mengendur. Ia berada di sisiku kembali terdiam.

"Aku akan berada di dekatmu," bisiknya. Lembut sekali.

Ketika aku mulai berjalan lagi menuju tebing, Si Pendiam terus menceritakan bagaimana keadaan keluarga. Si Pendiam menceritakan saudara tertuaku, yang kemarin menimbun diriku dengan tanah, telah lama berubah dan sangat merindukanku. Katanya ia sering mengomel sendiri karena khawatir akan kondisiku yang semakin memburuk. Ia tidak jarang melihatku berlatih terbang lalu jatuh. Ayah dan ibu juga sering menanyakan tentangku. Si Pendiam hanya menjawab agar mereka akan melihat anaknya terbang.

"Titip satu pesan, aku harap kamu mau mengabulkannya. Jika aku mati kali ini atau tidak bergerak sama sekali. Tolong kuburkan aku dengan layak."

======

Kakakku adalah burung paling kuat. Setiap hari setelah kematian kakak keduaku, ia terus melatih sayapnya untuk dapat bergerak. Tebing menjadi tempat sasarannya menantang angin beserta langit. Tetapi angin beserta langit terus menolaknya hingga ia terus jatuh tersungkur diterima batu ataupun kayu.

Lima hari sudah aku menonton drama percobaan bunuh dirinya. Apakah ia menyalahkan diri sendiri akibat tidak dapat menyelamatkan kakaknya sendiri dari kematian? Bukan salahnya kalau kakaknya mati. Kakaknya mati bukan karena keegoisannya untuk tidak melawan takdir dari awal agar ia bisa terbang.

Sekarang lihatlah. Tiap burung memegangimu. Ayah dan Ibumu berada di sisimu bersama langit yang telah menolakmu. Angin kini bertiup kencang seakan ia membalas kejahatannya padamu dulu. Kini kau terbang. Bukan hanya sekedar terbang sendiri melainkan bersama kami semua. Terimakasih kau masih mau bertahan hingga akhir menjemputmu. Kau memperlihatkan pada kami seperti apa dirimu. Istirahat dan nikmatilah kak.

Baca Juga: [CERPEN] Pigura Air Mata

aryasuta rajendra rahmatullah Photo Writer aryasuta rajendra rahmatullah

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya